Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34.
Dalam sekejap mata, jin abdi Sang Ratu telah muncul di hadapan junjungan nya. Sosok itu menunduk dalam dalam di tengah cahaya temaram ruang perjamuan, tempat Sang Ratu sedang duduk anggun di antara para tamu kehormatan yang menikmati hidangan istimewa super lezat.
Di sisi kanan Sang Ratu, tampak Sang Pangeran Dewa Anum. Wajahnya tenang namun matanya teduh menyiratkan jarak. Ia tidak ikut bersantap, sebab tengah menjalani puasa penuh nya. Di dunia manusia, malam telah semakin larut ; namun di alam para jin, waktu masih sore yang panjang dan redup.
Kedatangan sang abdi membuat suasana perjamuan seketika berubah. Suara gelas beradu pelan, percakapan para tamu terhenti sesaat. Sang Ratu menoleh dengan tatapan tajam, sorot mata nya bagaikan kilat yang menembus dada siapa pun yang ditatap nya. Terutama jin abdi penjaga calon menantu nya.
“Ada apa kamu datang lagi?” suaranya tegas, penuh wibawa.
Sang jin segera bersujud rendah. “Ampun, Sang Ratu… calon mempelai wanita saat ini demam tinggi,” ucap nya dengan suara gemetar, menahan rasa takut yang mencekam. Takut mendapat murka besar dari Sang Ratu dan Sang Pangeran.
Kedua mata Sang Ratu langsung melebar. “Apa yang telah terjadi pada nya?” tanyanya cepat.
“Maaf, Sang Ratu… saya tidak tahu,” jawab jin itu lirih, menunduk semakin dalam, takut akan murka sang penguasa.
Di sisi lain meja, dada Pangeran Dewa Anum seolah tertusuk sembilu. Kabar itu menembus hati nya, mengguncang ketenangan yang selama ini dijaganya dengan disiplin seorang putra kerajaan. Ia memandang wajah Sang Ibunda dengan gelisah, jemari nya menggenggam erat tepi meja perjamuan terbuat dari batu marmer itu.
“Ibu… izinkan aku turun ke bumi. Aku ingin melihat keadaan calon istriku yang sakit,” ucap nya dengan suara bergetar, menahan rasa cemas yang hampir tak terbendung.
Tanpa menunggu jawaban, Pangeran Dewa Anum bangkit dari kursi nya. Namun suara Sang Ibunda segera menggelegar lembut namun tegas.
“Tidak, Putera ku. Duduklah kembali. Temani para tamu.”
Nada titah itu lembut namun tak bisa dibantah. Sang Ratu bangkit dari tempat duduk nya, sorot mata nya kini kembali tertuju pada jin sang abdi.
“Cepat, kembali ke tempat calon menantuku! Aku akan mengobatinya dari sini.”
“Baik, Sang Ratu.” Jin itu menunduk, dan dalam sekejap sosoknya lenyap, meninggalkan pusaran asap hitam samar di udara.
Keheningan sempat menyelimuti ruangan. Para tamu yang tad inya menikmati hidangan kini berhenti, saling berpandangan setelah mendengar kabar buruk tersebut. Sang Ratu menatap mereka dengan senyum tipis, meski hati nya tengah diguncang kekhawatiran.
“Silakan lanjutkan santapan perjamuan. Pangeran akan menemani Anda semua. Mohon maaf, saya pamit sejenak.”
Para tamu mengangguk hormat, kembali melanjutkan jamuan dengan sopan.
Sebelum melangkah pergi, Sang Ratu mendekati putra kesayangan nya. Dengan suara yang hanya bisa didengar oleh Pangeran Dewa Anum, ia berbisik lembut, “Putera ku, ingat, kamu masih berpuasa. Jangan makan dan minum.”
Dewa Anum mengangguk pelan. Suaranya keluar lirih, hampir tak terdengar, namun penuh beban batin. “Iya, Ibu… aku tahu. Mendengar kabar calon istri ku sakit… tak berpuasa pun aku tak kan sanggup makan dan minum.”
Tatapan mata nya sayu, menatap ke arah kosong. Ada kerinduan, ada ketakutan, dan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar cinta... rasa tak berdaya yang menusuk sampai ke sumsum.
Sang Ratu menatap putranya dengan iba, lalu mengusap punggungnya perlahan. “Tenanglah, Putera ku… jangan biarkan kesedihan menguasaimu.”
Setelah menenangkan putera nya, Sang Ratu pun melangkah anggun meninggalkan ruang perjamuan. Baju kebesarannya berayun lembut, namun langkahnya cepat.. seakan setiap hentakan kaki menyembunyikan doa dan mantera yang mulai ia bisikkan demi kesembuhan calon menantu nya.
🏡🏡🏡
Sementara itu di bumi, malam semakin larut. Di kamar calon mempelai wanita. Anisa terbaring di atas tempat tidur, dengan selimut tebal menutupi tubuhnya , dari ujung kaki hingga leher.
Bu Lastri duduk di kursi tak jauh dari kepala Anisa.. tangannya dengan penuh kasih sayang mengompres kening Anisa.. sedangkan bibirnya tak henti menggumamkan doa doa..
Meskipun hati Bu Lastri sangat cemas, tapi ia tak berani membangunkan Bu Hasto atau yang lainnya, karena malam sudah sedemikian larut.. Namun hati Bu Lastri semakin cemas karena suhu tubuh Anisa belum turun juga..
“Kalau demam Anisa tidak turun, aku pasti akan kena marah keluarga Hasto, kalau tidak memberi tahu..” gumam Bu Lastri di dalam hati yang mulai ragu dan bingung..
Sebelum bangkit berdiri, Bu Lastri menatap jam dinding, keraguan kembali merambat di hatinya..
“Tapi sudah sangat larut, pasti semua sudah tidur nyenyak agar bssok segar..” gumam nya pelan..
“Nis.. minum obat lagi ya Nak.. jangan terlalu banyak berpikir.. percaya Allah senantiasa menyertai hamba nya..” ucap Bu Lastri sambil menatap wajah Anisa yang agak merah karena demam.. Kedua mata Anisa terpejam rapat..
“Mama.. Papa... “ suara igauan dari mulut Anisa..
“Mas Hegar... “ suara lirih igauan Anisa lagi..
Mendengar Anisa yang mengigau dan kening Anisa yang berkerut kerut. Bu Lastri ssmakin cemas dan panik..
“Aku harus memberi tahu Bu Hasto sekarang.” Ucap Bu Lastri yang kini tak ada lagi pilihan lain..
Sedangkan di kamar lain nya, masih di Home stay yang sama. Pak Hasto belum juga bisa tidur, meskipun sudah minum obat tidur.
Pak Hasto yang merasa bersalah telah mengorbankan Anisa, gadis malang yang baik hati. Belum juga tenang hatinya.. Dia berjalan mondar mandir di dalam kamarnya..
“Pak Bharata dan Bu Bharata .. maafkan aku dan keluargaku.. Maafkan aku yang terlambat mengenali Puteri semata wayang mu.. “ gumam Pak Hasto di dalam hati.
Dia lalu menatap istrinya yang berbaring di atas tempat tidur. Meskipun kedua mata Bu Hasto, terpejam.. tetapi tubuh Bu Hasto terus bergerak gerak. Membolak balik menghadap ke kanan dan kiri. Ke kadang terlentang dan tengkurap. Mencari posisi agar bisa terlelap.. Rupanya Bu Hasto pun juga tidak bisa tidur dengan nyenyak..
Sesaat tedsmgar suara pintu diketuk ketuk dengan sangat pelan..
Tuk..
Tuk..
Tuk..
Bu Hasto langsung membuka kedua matanya. Pak Hasto langsung menoleh ke arah sumber suara..
Tuk...
Tuk...
Tuk...
Di saat Pak Hasto mulai melangkah ke arah pintu. Bu Hasto bangkit dari tidurnya sambil berseru, “ Pa.. jangan langsung buka, takutnya jin jin monyet itu menggoda kita.”
“Iya Ma..” ucap Pak Hasto dengan suara bergetar. Karena dalam hatinya , ia juga mengkhawatirkan hal yang sama..
Namun tidak lama kemudian terdengar suara di balik pintu...
“Pak.. Bu.. ini saya.. Anisa demam tinggi Bu.. mengigau memanggil Mama dan Papanya juga Mas Hegar..” suara Bu Lastri tidak keras namun jelas..
Pak Hasto segera melangkah menuju ke pintu. Bu Hasto pun cepat cepat merapikan rambutnya dan bangkit berdiri..
“Bu Lastri kenapa baru bilang sekarang? Kita bawa Anisa ke rumah sakit sekarang!” ucap Bu Hasto sangat cemas dan panik..
“Kenapa Anisa mengigau memanggil Hegar? Apa dia ingin bertemu Hegar.” Ucap Pak Hasto sambil membuka daun pintu...
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣