NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pengorbanan dan Keseimbangan

...Chapter 34...

Ia menyerahkan tanggung jawab kepada Ilux untuk menghentikan pertarungan di antara Aldraya dan Erietta, dua kekuatan besar yang kini terjebak dalam konflik yang tak lagi bisa disebut sekadar perseteruan.

Dalam pandangan Theo, keseimbangan dunia Flo Viva Mythology selalu menuntut pengorbanan tertentu, dan kali ini, pengorbanan itu mungkin harus datang dari dirinya sendiri.

Ilux, di sisi lain, tidak mengerti.

Tatapannya memantulkan kebingungan dan ketidakpastian, menandakan ia belum bisa memahami mengapa Theo memilih diam di belakang, mengapa seorang yang seharusnya ikut menenangkan konflik justru lebih senang berperan sebagai penonton.

Hatinya bergolak di antara rasa curiga dan rasa percaya, di antara amarah nan nyaris muncul dan simpati yang menahan langkahnya.

Namun ketika ia menoleh sekilas dan melihat mata Theo yang tetap tenang, nyaris dingin bagai batu yang tak mengenal waktu, Ilux menahan niat untuk bertanya.

Ia tahu, dalam keadaan seperti ini, setiap pertanyaan bisa menjadi percikan api nan membakar fokus mereka berdua.

Lalu mereka kembali diam, melangkah dengan beban yang hanya mereka pahami masing-masing.

"Hindari perbuatan ceroboh selama kau berada di sini.

Secepat mungkin akan kudekati Aldraya dan Erietta, memastikan mereka tidak saling membunuh.”

Buuuk - buuuk!

Fuuuuuh!

‘Syukurlah, aku masih bernyawa.

Tepatnya setelah semua kekacauan tadi—skenario yang berantakan karena campur tangan salah satu Administrator, yakni Cru.

Walaupun hanya manifestasinya yang memasuki game ini, efeknya hampir membuatku tewas di tempat.

Tsuuuuf!

‘Bahu dan lengan kiriku masih terasa menyala-nyala.

Beruntung, segala pencapaian Ilux, juga merembes ke dalam diriku. Termasuk kemampuan pemulihan super cepat dari sel robotiknya.’

Waaannng!

‘Dengan ini, aku hanya perlu waktu sesaat sebelum jaringan dan ototku sembuh total.

Tak perlu susah pergi ke rumah sakit akademi, tak perlu dengar dokter berceramah mengenai istirahat satu bulan penuh.'

Setelah Ilux melangkah pergi, meninggalkan jejak langkah yang perlahan lenyap di antara bayangan pepohonan, Theo bersandar pada batang pohon yang telah ia pilih sebelumnya.

Hembusan napasnya terdengar berat, bak suara dunia yang baru saja selamat dari kehancuran kecil, namun masih bergema dengan sisa kekacauan.

Di antara desir angin dan aroma tanah basah, Theo tundukkan kepala, merasakan denyut pelan dari lengan kirinya nan masih bergetar akibat benturan dan luka dalam yang belum pulih sepenuhnya.

Ia tahu betapa tipis jarak antara keberhasilan dan kehancuran, terlebih ketika yang dilawannya bukan sekadar musuh fisik, melainkan struktur permainan yang telah disabotase oleh tangan-tangan tak kasatmata dari para Administrator.

Theo menyadari betul bahwa keberadaannya di titik ini bukan karena keberuntungan semata.

Ia telah melewati dua ujian yang seharusnya mustahil.

Skenario yang berantakan akibat intervensi Administrator, serta tangan kejam Cru yang nyaris mengubah tubuhnya menjadi reruntuhan berdarah.

Lengan kirinya terasa bagai beban.

Dingin dan lemas, seakan otot-otot di dalamnya tak sudi menerima fakta bahwa nyawa masih ada di sana.

Namun di balik rasa sakit itu, ada denyut kekuatan baru yang mulai bersemi, sebuah perasaan samar bahwa regenerasi sel robot nan dimiliki Ilux mulai bekerja dalam dirinya.

Bisa ia rasakan proses pemulihan tersebut, pelan namun pasti, menyerupai mesin yang kembali berdetak setelah lama terdiam.

Perpaduan antara tubuh manusia dan daya mekanis kini bersemayam di dalamnya, menjadikan Theo anomali di dunia Flo Viva Mythology.

Ia bukan lagi sekadar penulis yang terjebak dalam dunia gamenya sendiri, melainkan entitas yang terus beradaptasi, menyerap kemampuan dari tokoh utama yang seharusnya berdiri di garis depan.

Theo menyadari bahwa setiap pencapaian dan skill baru yang didapatkan Ilux secara otomatis juga mengalir ke dirinya, menyerupai dua sistem yang berbagi napas dan denyut yang sama.

Dengan regenerasi yang kian cepat, luka di bahu kirinya perlahan tertutup, jaringan otot menyatu kembali, dan rasa nyeri nan sempat menusuk berganti menjadi kehangatan samar yang menjalar hingga ke ujung jari.

Ia tahu, tanpa kemampuan itu, mungkin ia sudah lama tak lagi bernapas di dunia ini.

Theo menatap langit, mengucap syukur dalam diam yang lembut.

‘Mulai terasa. Regenerasinya bekerja.

Serabut otot di bahu kiri mulai nyambung, tulangnya juga perlahan-lahan menyatu.

Gila, efeknya benar-benar sinting. Kalau bukan karena sinkronisasi skill dengan Ilux, mungkin aku udah pingsan permanen di sini.

Fuuuuh!

'Sambil nunggu prosesnya selesai, waktunya kerja.

Harus kuperbarui catatan skenario sebelum semuanya jadi berantakan.

Yang sudah terjadi,yang akan terjadi, dan yang belum, semuanya harus tertulis.

Kalau tidak, aku bakal kehilangan arah ketika alur game ini berubah lagi.’

Di bawah kulit Theo yang retak dan robek, cahaya keperakan menari, menjahit serpihan jaringan dengan ritme mekanis nan lembut namun mengerikan.

Lengan kirinya perlahan menutup, menumbuhkan kembali sel dan organ yang rusak dengan presisi yang mustahil dimiliki manusia biasa.

Sekitar delapan puluh persen luka telah pulih, meninggalkan pola samar seperti akar bercahaya yang merayap di bawah permukaan kulit.

Udara di sekitar tubuhnya bergetar halus, memancarkan panas samar nan menandakan sistem dalam dirinya sedang bekerja di luar kapasitas wajar.

Setiap detik, suara renyah dari sel yang menyatu kembali terdengar bak bisikan mesin yang berdoa pada sunyi.

Theo menatap hasil kerja itu dengan perasaan campur antara kagum dan ngeri.

Ia tahu bahwa regenerasi itu bukan sekadar anugerah, melainkan pengingat bahwa dirinya tak sepenuhnya manusia lagi.

Di dalam tubuhnya kini hidup sebagian kecil keabadian yang tak pernah ia minta.

Dapat ia rasakan denyut listrik mengalir dari bahu ke ujung jari, menandakan bahwa sistem penyembuhan otomatis Ilux masih bekerja melalui jalinan kode yang mereka bagi.

Di antara denyut itu, Theo merasakan perih samar.

Bukan karena rasa sakit, tapi karena kesadaran bahwa tubuhnya kini hanyalah salinan dari sesuatu nan lebih besar, sesuatu yang bukan miliknya sendiri.

Setelah memastikan bahwa luka-lukanya hampir tertutup sempurna, Theo menggerakkan tangan kanannya ke saku.

Gerakan itu pelan namun pasti, seolah setiap inci udara di sekitarnya menahan napas.

Dari sana ia mengeluarkan buku catatan kecil yang tepinya telah mulai kusam, benda nan menjadi saksi dari perjalanan panjangnya di dunia yang terinspirasi oleh pikirannya sendiri.

Ia membuka halaman kosong, lalu membiarkan pena menyentuh kertas.

Ia mulai menulis, menconteng, menandai, dan menebak kembali setiap alur—yang sudah terjadi, yang akan terjadi, dan yang mungkin belum sempat ditulis oleh siapa pun.

Setiap goresan tinta terasa bagai perintah kecil pada takdir, seperti upaya memulihkan kendali atas dunia yang semakin tak mengenalnya.

Di kondisi seperti itu, di bawah sinar samar yang menembus dedaunan, Theo menulis tanpa suara, sementara regenerasi terus bekerja tanpa henti di dalam diri.

‘Skenario ketiga telah usai.

Sungguh menggelikan—konflik yang seharusnya baru muncul di arc pertama episode tujuh, justru terjadi sekarang di pertengahan episode lima.

Entah disebut percepatan plot atau kesalahan sistem, yang pasti hasilnya sama.

Bibit perseteruan antara Aldraya dan Erietta telah bertumbuh, berkembang, bahkan membusuk sempurna.’

Suuuuhhh!

'Paling tidak, tujuan akhirnya tercapai.

Meski demikian, ini bukan rangkaian peristiwa yang seharusnya.

Bila ada yang bertanya siapa dalangnya, jawabannya pasti—Cru.

Dengan gegabah Dia menghadang, menghalau hanya karena aku mencoba mendamaikan mereka.

Bisa dimaklumi. Toh menurut naskah asli, tugas itu seharusnya menjadi tanggung jawab Ilux sendiri.

Tetapi tetap saja menyebalkannya.’

Huuuuuf!

'Sekarang aku bingung harus bersikap bagaimana.

Tertawa, karena plot tetap berjalan meski dengan cara yang kacau? Atau bersedih, karena menyadari betapa tak berdayanya diriku di dunia ini?’

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!