NovelToon NovelToon
Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / CEO / Janda / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:10.9k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.

Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.

Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.

“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

34. Keluarga Kecil

Nyatanya, tak ada yang lebih membuat Daren tenang dan seolah semua baik-baik saja setelah ia pulang ke rumah dan melihat keluarga kecilnya.

---

Waktu berlalu begitu cepat. Kini kandungan Selena telah memasuki usia tujuh bulan. Perutnya kian membesar, menonjol lembut di balik bajunya. Ia mulai membatasi banyak aktivitas karena tubuhnya tak lagi sekuat dulu—setiap gerakan terasa lebih berat, membuatnya harus ekstra hati-hati dalam melakukan apa pun.

Malam itu, Daren baru pulang sekitar pukul sebelas. Suara air dari kamar mandi membuat Selena terbangun. Ia mengerjap pelan, lalu menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka dan Daren keluar dengan rambut basah.

“Mas…” panggilnya lirih.

Daren kaget kecil. “Oh, kamu bangun ya? Maaf… bikin kamu kebangun.”

“Kamu baru pulang?” tanya Selena, duduk perlahan sambil menahan perutnya.

“Iya, maaf. Ada meeting dadakan.” Daren menghampiri lalu merapikan selimut di sekitar istrinya. “Kamu tidur lagi aja. Aku masih ada kerjaan sedikit.”

Selena menghela napas perlahan. “Mas… nggak bisa besok aja? Kamu baru nyampe. Istirahat dulu, atau makan sesuatu dulu.”

Daren duduk di tepi ranjang. “Ini tinggal sedikit. Kalau aku selesaikan malam ini, besok bisa fokus yang lain.”

Selena menggeleng lemah. “Kamu harus tidur. Kalau cuma nemenin aku terus kamu kerja saat aku udah tidur… ya sama aja. Capeknya tetap.”

Daren tertawa kecil. “Iya, iya. Aku tidur. Bener. Nggak begadang.”

Selena menyipitkan mata. “Janji ya? Jangan bohong. Aku ngambek kalau Mas begadang lagi.”

“Iya,” jawab Daren sambil tersenyum. “Aku tidur. Tenang.”

Selena kemudian membaringkan tubuhnya perlahan, menghadap suaminya.

“Kamu udah makan belum?”

“Udah, sayang. Kamu jangan khawatir,” jawab Daren lembut.

“Arunika nyariin kamu terus, lho. Katanya: ‘Ayah ke mana? Kok nggak pernah main sama aku lagi?’”

Daren tersenyum tipis mendengar itu, tapi wajahnya tetap terlihat sedih.

“Maaf ya… akhir-akhir ini aku terlalu sibuk,” Daren menunduk.

Selena menggeleng, menepuk pelan tangan suaminya.

“Jangan minta maaf. Kamu sedang menjalankan kewajiban kamu. Tapi aku juga nggak mau kamu kerja terus sampai capek sendiri.”

Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan.

“Tapi, Mas… kamu tuh nggak pernah cerita apa-apa sama aku soal kantor. Ada apa? Ada masalah? Aku cuma pengin tahu, aku cuma mau jadi pendengar kamu.”

Daren tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan istrinya dan menciumnya.

“Aku tahu maksud kamu. Nanti aku cerita semuanya… di waktu yang pas. Aku cuma nggak mau bawa masalah kantor ke rumah. Aku nggak mau kamu kepikiran.”

Selena menatapnya lembut, meski jelas masih cemas.

“Selama ini kamu enggak pernah cerita pun aku nggak apa-apa, Mas. Aku cuma pengin kamu nggak nyimpen semuanya sendiri.”

Daren menatap mata istrinya lama, lalu menghela napas.

“Terima kasih… karena kamu selalu mau dengerin. Nanti aku cerita, ya. Janji.”

Setelah itu, ia mengelus perut Selena pelan.

“Dedek juga tidur ya… have a nice dream,” ucapnya lirih.

Ia lalu mencium kening istrinya penuh sayang.

Selena memejamkan mata.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa sedikit lebih tenang.

---

“Pokoknya Papa nggak mau tahu, Daren. Semuanya harus cepat selesai dan kamu harus dapat investor baru secepatnya,” ucap Arga dengan nada tegas penuh tekanan.

Daren menarik napas pelan, berusaha tetap tenang meski dadanya terasa sesak.

“Pa, aku bakal selesaikan semuanya. Papa tenang aja,” jawabnya sedatar mungkin.

“Tenang?” Arga mendengus kesal. “Gimana Papa bisa tenang? Perusahaan sedang mengalami kerugian signifikan beberapa bulan ini. Kita ini swasta, Ren. Kita nggak punya privilege untuk salah langkah begini.”

Ia menatap putranya tajam.

“Kamu harus bisa manage pengeluaran lebih baik. Dan soal peraturan internal itu—kamu nggak bisa terus-terusan terlalu lunak pada karyawan. Ini bisnis, bukan panti sosial.”

Daren mengatupkan rahang.

“Aku ngerti, Pa. Tapi aku nggak mau ambil keputusan gegabah yang justru bikin suasana makin kacau.”

Arga mencondongkan tubuh, suaranya makin keras.

“Kamu terlalu banyak mikir! Sementara kompetitor kita jalan cepat. Kalau kamu tidak bergerak lebih agresif, kita bisa collapse dalam waktu dekat.”

Daren terdiam sejenak. Matanya menatap berkas laporan di meja rapat, lalu kembali ke ayahnya.

“Pa… aku lagi usahain. Semua titik kerugian sedang aku audit ulang. Bagian operasional dan pemasaran juga sedang aku koreksi. Aku nggak diem, Pa.”

Arga menghela napas panjang, namun ketegangan masih terlihat jelas.

“Kamu sibuk, iya. Tapi sibuk bukan berarti efektif. Papa butuh hasil, bukan alasan.”

Daren mengepalkan tangan di bawah meja.

“Give me time. Aku butuh sedikit waktu.”

“Waktu? Kita justru kehabisan waktu!”

Hening beberapa detik.

Suasana ruang kerja terasa menekan.

Akhirnya Arga bersandar, nada suaranya mereda tapi tetap keras.

“Daren… kamu punya keluarga. Kamu punya istri yang lagi hamil. Kamu harus sadar posisi kamu. Perusahaan ini bukan cuma warisan Papa, tapi masa depan kalian.”

Daren menatap lantai.

Ia tahu itu. Ia tahu semuanya.

Bahkan mungkin lebih tahu daripada siapapun.

“Aku tahu, Pa… makanya aku lagi berusaha keras.”

Suara Daren terdengar serak, lelah, tapi tetap menjaga harga dirinya.

Arga memijat pelipisnya.

“Baik. Minggu depan Papa mau lihat progres besar. Kita nggak punya kesempatan kedua.”

Daren mengangguk pelan.

“Siap, Pa.”

Saat Arga keluar, pintu menutup dengan keras, meninggalkan Daren sendirian di ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi.

Daren menunduk.

Tangannya gemetar.

Bahunya tegang.

Napasnya berat.

Masalah kantor semakin besar.

Tuntutan semakin menumpuk.

Dan di rumah, Selena sedang hamil tujuh bulan.

Beban itu terasa seperti karung batu di punggungnya.

Namun ia tahu satu hal:

Ia harus kuat.

Untuk perusahaannya.

Untuk Arga.

Untuk Selena.

Untuk Arunika.

Untuk bayi yang sedang tumbuh di rahim istrinya.

Dan untuk dirinya sendiri—meski ia sudah hampir kehabisan tenaga.

---

Daren baru saja memasuki rumah ketika aroma khas lavender dari diffuser ruang keluarga menyambutnya. Namun langkahnya terhenti begitu melihat pemandangan di sofa—Selena duduk diam, menunduk, kedua tangannya bergerak seperti sedang meremas sesuatu. Entah apa yang tengah ia lakukan, tapi ada yang aneh… Selena jarang sesenyap itu.

Dengan cepat Daren menghampiri, menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan duduk berhadapan dengan istrinya. Nafasnya masih terasa berat oleh kecemasan dari kantor, namun wajahnya ia paksa tetap tersenyum.

“Lagi buat apa kamu?” tanyanya pelan, berusaha terdengar ringan. Senyum lebar mengembang di wajahnya, seolah dunia tidak sedang berantakan. Padahal di balik senyum itu, pikirannya sibuk memikirkan kerugian perusahaan, tekanan Arga, dan waktu yang terus menghimpit.

Di depan istri dan anaknya, ia selalu begitu—tersenyum, menenangkan, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Selena mengangkat wajah, sedikit terkejut. Di pangkuannya ada boneka kain kecil setengah jadi, dengan benang masih menjuntai.

“Aku… lagi nyoba bikin boneka untuk Aru,” jawab Selena sambil tersenyum tipis. “Katanya di sekolah besok ada kegiatan ‘bawa barang kesayangan’. Dia pengen sesuatu buatan Mama.”

Daren menatap boneka itu. Bentuknya belum jelas, tapi terlihat penuh usaha. Jari-jari Selena tampak memerah karena jahitan yang diulang berkali-kali.

“Kok kamu enggak bilang? Aku bantu,” ucap Daren sambil memegang tangan istrinya. Hangat. Lelah. Bergetar sedikit.

Selena menggeleng. “Kamu capek dari kantor. Aku lihat dari cara kamu buka pintu aja udah kelihatan kamu banyak pikiran. Kamu enggak harus pura-pura senyum, Mas.”

Perlahan senyum Daren meredup.

“Kok kamu bisa tahu?” gumamnya.

“Karena aku istrimu,” jawab Selena lembut. “Dan kamu kalau lagi banyak pikiran pasti selalu merapikan rambutmu—barusan kamu lakukan tiga kali dalam satu menit.”

Daren menghela napas panjang, seakan sejak pagi baru bisa bernapas lega sekarang.

“Papa marah lagi ya?” tanya Selena pelan.

Daren tertawa tipis, tapi hambar. “Ya… Papa ingin semuanya cepat selesai. Perusahaan turun beberapa bulan ini, dan dia takut kita kehilangan investor besar. Aku juga takut, Sel.”

Selena menatapnya… lalu memegang pipi suaminya.

“Mas, kamu enggak sendirian.”

Daren menutup mata sejenak. Sentuhan itu seperti obat penenang.

“Aku cuma… enggak mau kamu khawatir,” ucapnya lirih.

“Terlambat,” bisik Selena. “Aku sudah khawatir sejak kamu mulai pulang makin malam.”

Daren menunduk. “Maaf…”

Selena menggeleng. “Kamu enggak salah. Kamu berusaha. Tapi pulang ke rumah bukan tempat untuk sembunyi dari beban kamu, Mas. Di sini kamu boleh cerita. Boleh takut. Boleh lelah.”

Air mata hampir turun dari mata Daren, tapi ia menahannya. Ia menarik Selena ke dalam pelukan—hangat, erat, penuh rasa lega yang ia simpan berhari-hari.

“Terima kasih,” bisiknya. “Kalau bukan karena kamu… aku enggak tahu aku bisa bertahan atau enggak.”

Selena tersenyum di bahunya. “Aku istrimu. Tempat pulangmu. Jangan lupa itu.”

Daren hanya mengangguk, memejamkan mata dalam pelukan itu, akhirnya membiarkan dirinya merasa rapuh, walau hanya sebentar.

“Sekarang,” ucap Selena sambil melepaskan pelukan, “bantuin aku jahit boneka ini. Aru pasti seneng kalau Ayahnya ikut.”

Daren tertawa kecil. “Jahit? Aku?Nay, aku menjahit kancing baju aja miring satu kilometer.”

Selena ikut tertawa. “Ya enggak apa. Yang penting usaha.”

Daren mengambil boneka itu, menatapnya lama.

“Untuk Aru… apa aja aku mau.”

Selena tersenyum hangat—lebih hangat daripada lampu rumah mana pun. “Gitu dong.”

Di tengah tawa kecil mereka, suara langkah kecil terdengar dari arah tangga.

“Aru mau tidur sama Ayah Mama!” pekik gadis kecil itu sambil berlari memeluk keduanya.

Dan untuk pertama kalinya hari itu, Daren merasa benar-benar bernapas.

---

Gimana bab hari ini? Seru?

1
Favmatcha_girl
Seru💪
Favmatcha_girl
Excited banget kamu
Favmatcha_girl
Lucu banget si kamu Aru
Favmatcha_girl
Daren😍
Favmatcha_girl
bagus thor 😍
Favmatcha_girl
apapun akan daren lakukan untuk kamu Sel🤭
Favmatcha_girl
ngidam mu gak susah ya😊
Favmatcha_girl
hahaha ketahuan kamu Daren
Favmatcha_girl
so sweet amat
Favmatcha_girl
lanjutkan thor 💪
Favmatcha_girl
sksd banget ya🤭
Favmatcha_girl
Ganggu banget nih orang
kalea rizuky
istri g punya basic bisnis yg g bs bantu apapun bisanya diem. aja di rmh dih
Itz_zara: punya dong, kan dia punya butik🫠
total 1 replies
kalea rizuky
klo selingkuh buang aja nay
Itz_zara: 🤭daren ijo neon kak
total 1 replies
kalea rizuky
abis ne keguguran karena g jujur halahh
Favmatcha_girl
jendela nya gue gembok Ray🤭
Favmatcha_girl
yah kasihan nggak diterima 🤭
Favmatcha_girl
ternyata ada udang di balik batu🤭
Favmatcha_girl
ada bau-bau aneh nihh
Favmatcha_girl
waduh🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!