“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Turuti Keinginanmu
“Mas, Alex bilang Mas baru dari klinik dokter Jimmy?”
Alan yang masuk ke dalam kamar langsung diberondong pertanyaan oleh Lira yang tengah melihat-lihat beberapa tas barunya. Wanita itu berdiri di depan cermin besar, mencoba salah satu tas sambil menatap Alan dari pantulan cermin. “Mas sakit apa memangnya?”
Sambil melepaskan dasi, Alan duduk di tepi ranjang. “Lambung Mas sempat kambuh tadi. Tapi sekarang sudah baikan,” jawab Alan tenang, meskipun dalam pikirannya masih terngiang perdebatannya dengan Tara sebelum gadis itu turun dari mobilnya tadi. Gadis itu menolak keras keinginannya untuk membatalkan keputusan mutasinya ke kantor cabang.
Ia lalu menatap beberapa tas belanjaan Lira yang berjajar di atas kasur mereka. “Bagaimana? sudah dapat tas yang kamu suka?” lanjut Alan bertanya.
Lira tersenyum ceria dan langsung mengambil satu tas yang terbuat dari bahan kulit mahal, terlihat mewah dan gemerlap. Ia lalu menunjukkannya pada Alan dengan penuh kebanggaan.
“Bagaimana, Mas. Bagus kan?”
Alan mengangguk meski tidak benar-benar memperhatikan. Pikirannya masih berputar dengan percakapan yang belum selesai dengan Tara tadi. “Ya, bagus.”
“Mas tahu, tadi aku bertemu Susan di sana, dia pamer kalung berlian dari desainer China yang kubilang waktu itu.” Lira melanjutkan, dengan nada sedikit mencibir salah satu teman sosialitanya.
“Kalau kamu mau, kamu bisa membelinya,” sahut Alan sambil melepaskan kancing lengan kemejanya.
Lira manyun. “Malas ah, nanti dikira aku niru gayanya Susan lagi. Aku tidak ingin seperti itu, Mas.”
Alan mengangguk. “Terserah kamu saja kalau begitu.” Kamu bisa cari model dari desainer lain yang tak kalah terkenal dari desainer itu kan?”
Alan tahu betul sifat istrinya. Lira selalu ingin tampil beda dari teman-teman sosialitanya yang lain.
“Kalau kamu mau, kamu bisa cari model dari desainer lain yang tak kalah terkenal dari desainer itu kan?”.”
“Benar, Mas?”
Alan mengangguk. Baginya mau menghabiskan uang berapapun asal Lira bahagia, bukan masalah untuknya.
Lira pun langsung menghambur memeluk Alan. “Terima kasih, Mas. Mas memang yang terbaik.”
Alan membalas pelukan itu, memberikan kecupan di puncak kepala Lira tanpa banyak berpikir.
Namun, meskipun Lira berada di pelukannya, Alan merasakan kekosongan dalam dirinya. Satu-satunya hal yang menghantuinya adalah kegelisahan tentang Tara, tentang bagaimana gadis itu terang-terangan menentang keputusannya. Sikap keras kepala gadis itu sepertinya tidak akan pernah berubah.
“Apa aku terlalu keras padanya? pikir Alan.
“O iya Mas, akhir pekan ini Papa ulang tahun, bagaimana kalau besok atau lusa kita cari kado untuk papa?” Lira yang masih dalam pelukan Alan melanjutkan ucapannya, membuat perhatian pria itu kembali teralih padanya.
“Kamu atur saja. Nanti Mas usahakan temani.”
Lira tersenyum lebar, kembali mengeratkan pelukannya. “Thank you, Mas,” ujarnya manja.
Alan hanya tersenyum singkat. Perlahan ia melepaskan pelukannya dan beranjak. “Mas mandi dulu.”
Tanpa menunggu respon, pria itu melangkah pergi ke kamar mandi. Setelah mengunci pintu, ia berdiri di depan washtafel dan menatap pantulan wajahnya di cermin.
“Kenapa kau sulit sekali dimengerti, Tara?” bisiknya dalam hati.
*
Jam digital di atas meja kerja telah menunjukkan pukul 20.45 ketika Alan masih duduk gelisah di ruang kerjanya. Pria itu duduk bersandar di kursinya, matanya terpaku pada layar ponsel yang terpegang di tangannya.
Di kamar mereka, Lira sudah terlelap sejak beberapa waktu lalu, setelah mengeluh lelah seharian berbelanja bersama beberapa teman sosialita-nya.
Entah kenapa Alan merasa sangat gelisah. Aa sesuatu yang mengganjal dalam dirinya, terlebih setelah perdebatan dengan Tara yang belum tuntas di mobil tadi. Gadis itu buru-buru keluar setelah satpam kost menghampiri mobilnya dan bertanya.
Setelah beberapa waktu berpikir, ia akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Tara.
“Kau sudah tidur?”
Tidak ada nada serius dalam pesan itu. Alan hanya sekedar ingin memastikan Tara baik-baik saja setelah setelah apa yang terjadi di antara mereka tadi.
Ia menatap ponselnya untuk beberapa lama, menunggu jawaban dari Tara sebelum meletakkan ponselnya ke atas meja.
Detik demi detik berlalu. Alan mencoba kembali fokus dengan pekerjaannya, meski hatinya tetap terganggu. Berulang kali ia menatap layar ponselnya kembali, berharap mendapatkan notifikasi.
Satu jam pun berlalu, dan kesabarannya mulai terkikis. Alan merasa makin frustasi. Jangankan dibalas, pesan itu bahkan belum dibaca.
Dengan perasaan kesal Alan meraih ponselnya kembali. Sempat terbersit niat untuk menelpon gadis itu, tapi ia mengurungkannya dan hanya kembali mengirim pesan.
“Kenapa tak membalas pesanku, Tara? Kau masih marah?”
Namun bahkan setelah pesan kedua berhasil terkirim, masih tidak ada balasan dari Tara. Alan menghembuskan napas berat, hatinya semakin panas.
Ia lalu bangkit dari kursinya dengan gelisah, berjalan mondar-mandir di samping meja.
“Kenapa dia tidak menjawab sih?” gumam Alan pelan.
Waktu yang berlalu semakin menambah ketegangan dalam diri Alan. Ia sudah berusaha bersikap tenang, tapi selalu saja muncul perasaan cemas bercampur kesal di benaknya. Hanya karena satu nama, Tara. Kehadiran gadis itu berhasil mengobrak-abrik ketenangannya.
Alan kembali menatap ponselnya. Ketegangan masih tergambar jelas di wajahnya. Dengan perasaan ragu tapi penuh harap ia akhirnya mengirimkan pesan ketiga.
“Tara, kamu baik-baik saja, kan? Jika kamu tidur, balas pesan ini begitu kamu bangun. Aku menunggu.”
Dengan perasaan yang belum tenang, Alan meletakkan ponselnya di atas meja begitu pesan itu terkirim. Ia melangkah ke jendela ruang kerjanya, menatap suasana malam di luar sana yang terasa sepi dan sunyi.
Namun, pikirannya terus berputar-putra pada satu hal, Tara.
Kenapa gadis itu begitu sulit untk dihadapi? Apa yang harus ia lakukan agar bisa meyakinkan gadis itu untuk tetap di sisinya. Pikir Alan frustasi.
Ia menggeram pelan, merasakan amarah dan kebingungan yang campur aduk. Ia tahu ini memang salahnya sejak awal. Ia yang memulai semua dengan keputusan gegabah itu, mutasi ke kantor cabang.
Tapi kenapa, meskipun dirinya sudah minta maaf, menjelaskan segala alasannya, dan bahkan berniat membatalkan mutasi itu, Tara tetap tidak mau mengerti? Tidak adakah sedikit pun perasaan yang gadis itu miliki untuknya.
Alan mengepalkan tangan, dadanya terasa sesak. Ia juga tidak menginginkan perasaan seperti ini datang padanya, perasaan yang semakin kuat dan tak terkendali.
Ia sudah memiliki Lira, wanita yang sudah menjadi bagian dari hidupnya, dan pernikahan mereka seharusnya bisa bertahan. Namun kenyataannya, ia justru merasa seperti sekarang.
Entah sejak kapan perasaan ini muncul, ia bakan tidak tahu kapan tepatnya. Yang ia tahu, sekarang dia tidak ingin kehilangan Tara.
Ia ingin mempertahankan pernikahan mereka, pernikahan yang sejatinya hanya berlandaskan keterpaksaan semata itu, tanpa adanya cinta yang nyata.
Mungkin itulah anggapan mereka selama ini.
Keesokan paginya, Alan meninggalkan rumah dengan perasaan kesal. Pagi tadi ketika dirinya terbangun dan melihat kembali ponselnya, pesan balasan dari Tara tak satupun di terimanya, padahal status pesan itu telah terbaca.
Sambil menyetir dengan satu tangan, Alan memijit pelipis. Ia bahkan tidak benar-benar menyentuh sarapannya pagi ini.
“Kenapa dia tidak membalas?” gumamnya menggeram sembari menatap jalanan. Padahal ia mengirim pesan itu dengan niat yang baik, hanya ingin memastikan Tara baik-baik saja.
Tapi gadis itu? ia lebih memilih mendiamkannya.
Alan bahkan nekat menelponnya tadi pagi. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Tapi yang ia dapati hanya nada sambung yang kosong di ujung sana. Tidak ada jawaban.
“Kau ingin membuatku gila, Tara?” ucapnya frustasi.
“Oke... aku turuti keinginanmu.”