NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33: Antara Jejak Tanah Liat dan Kabut Pegunungan

​Raka keluar dari guest house, jaket kulitnya terlempar ke kursi mobil. Ia tidak lagi peduli dengan penampilan; ia hanya peduli dengan kontrol yang hilang. Wajahnya mengeras, napasnya memburu. Ia telah dipermalukan.

​"Dia tidak akan lari ke kota. Dia akan lari ke tempat yang lebih sulit dicari," gumam Raka, otaknya bekerja cepat. Luna meninggalkan jejak di belakang guest house, menuju gerbang belakang. Itu mengarah langsung ke jalan setapak menuju lembah dan hutan pinus.

​Raka mengejar. Ia bukan pelari yang hebat, tetapi adrenalin dan amarah membuatnya bergerak cepat. Ia melihat jejak kaki di tanah basah—jejak sepatu kets Luna, kecil, berjarak cepat.

Kamu pikir kamu bisa menggunakan alam, Luna? Alam adalah musuhmu. Alam butuh kepastian. Dan kamu, kamu sendirian, hanya mengandalkan emosi. Aku akan menemukanmu.

​Raka menyadari bahwa setiap langkah Luna adalah penegasan diri, dan setiap langkahnya sendiri adalah penegasan kekuasaan. Ini bukan lagi tentang hasrat, ini tentang siapa yang berhak mendefinisikan realitas mereka.

​Ia berhenti di persimpangan jalan setapak. Satu mengarah ke atas, ke bukit yang terbuka; yang lain turun, ke jurang hutan pinus yang gelap dan berkabut.

​Raka melihat ke bawah. Di lumpur yang licin, ia melihat goresan yang sangat samar—sisa tanah liat kering. Itu pasti dari kantong yang Luna bawa saat melarikan diri, atau sisa-sisa yang menempel di hoodie-nya. Bau tanah liat, alibi mereka, kini menjadi jejak yang mengkhianati Luna.

​"Bodoh," desis Raka, namun ada rasa kagum yang pahit. Luna gagal membersihkan alibi terakhirnya.

​Raka memilih jalur hutan pinus.

​Sementara itu, Luna sudah jauh di dalam hutan pinus. Udara pegunungan yang dingin dan lembap menusuk tulang. Ia tidak punya jaket tebal, hanya hoodie hitamnya. Ia tahu ia tidak bisa berlari terlalu jauh, staminanya terbatas.

​Tujuan Luna adalah sebuah gua kecil yang dulu ia dan Naira temukan saat mereka mendaki bertahun-tahun lalu—tempat yang tersembunyi, terlindungi dari angin.

​Saat berlari, ia merasakan ranselnya yang ringan—ia hanya membawa lukisannya dan beberapa barang kecil—sebagai penghiburan. Beratnya hanya membuktikan bahwa ia benar-benar meninggalkan segala keterikatan material Raka.

​Namun, hutan itu tidak ramah. Cabang-cabang pohon menjulur, lumpur menahan langkahnya. Ia terpeleset, jatuh, dan lututnya tergores. Rasa sakit itu nyata, dan itu mengingatkannya bahwa ia adalah manusia biasa, bukan karakter strategis Raka.

​Ia berhenti di bawah pohon pinus tua, mencoba mengatur napas. Kabut tebal mulai turun, menelan pepohonan dan mengurangi jarak pandang menjadi hanya beberapa meter. Sempurna. Kabut adalah pelindungnya.

Aku harus menggunakan kabut ini. Aku harus menghilang. Raka adalah api, dan aku harus menjadi air.

​Ia meraba-raba ranselnya. Ia mengeluarkan salah satu lukisan abstraknya, yang penuh dengan campuran warna hitam dan merah yang kasar. Lukisan itu terasa seperti cermin jiwanya. Ia menyembunyikan lukisan itu di balik celah batu besar, menjaganya tetap kering. Ini adalah cadangan, jika ia tertangkap.

​Ia menoleh ke belakang, matanya menembus kabut. Ia mendengar suara samar—patahan ranting, diikuti oleh keheningan yang terlalu teratur.

​Itu bukan suara binatang. Itu adalah suara Raka yang bergerak dengan perhitungan.

​Raka bergerak perlahan, matanya yang tajam menyisir tanah. Jejak tanah liat itu terputus, tetapi kini ia mengikuti nalurinya. Kabut adalah musuhnya, tetapi Raka tahu: di tengah ketidakpastian, manusia selalu mencari struktur. Luna akan menuju tempat yang memberinya rasa aman.

​Raka tiba di pohon pinus besar tempat Luna baru saja berhenti. Ia melihat sepatu kets Luna yang meninggalkan pola yang lebih dalam karena Luna tergelincir.

​Ia melihat ke belakang pohon. Di sana, ia menemukan goresan kecil pada batu, seperti gesekan kertas dan kayu. Raka mengambil senter dari tas kerjanya, menyinarinya.

​Di balik batu, terselip sebuah lukisan abstrak, yang didominasi oleh warna hitam yang menguasai merah yang berjuang. Lukisan itu penuh dengan gejolak emosi.

​Raka mengambil lukisan itu. Ia tidak merobeknya. Ia menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat apa yang Luna rasakan: kemarahan yang terperangkap.

​"Kamu meninggalkanku, tapi kamu meninggalkan petunjuk, Luna," bisik Raka, nadanya tidak lagi marah, tetapi penuh kemenangan dingin. "Kamu ingin aku mengejarmu. Kamu masih mencari konfirmasi, bahkan di tengah hutan."

​Raka tahu, dengan meninggalkan lukisan itu, Luna sedang menguji dirinya, menguji sejauh mana ia akan mengejarnya. Lukisan itu adalah pesan terakhir mereka.

​Raka menyimpan lukisan itu di tas kerjanya. Ia menoleh ke arah depan. Di sanalah jejak kabur menuju formasi batu besar. Gua.

​Raka tersenyum tipis. "Gua, tempat berlindung. Ide yang klise, Luna."

​Raka bergerak lebih cepat. Kali ini, ia tidak menyembunyikan langkahnya. Ia membiarkan suaranya—suara ranting yang patah, suara napasnya yang berat—menembus kabut.

​Ia ingin Luna tahu bahwa perburuan telah berakhir. Ia berada di belakangnya, dan kebebasan itu hanyalah ilusi.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!