NovelToon NovelToon
HIJRAH RASA

HIJRAH RASA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Azzurry

Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?

Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.


Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hijrah Rasa -10

Mobil Pajero Sport hitam terparkir di depan gerbang Pemakaman Umum Jakarta Selatan. Udara dingin menyelimuti soreh hari, sisa-sisa hujan masih menempel di jalanan yang lengang. Gerbang besi pemakaman yang mulai berkarat tampak sepi.

Farah keluar dari mobil, hoodie hitam menutupi tubuhnya. Kacamata hitam menutupi matanya, Ia menarik napas dalam-dalam. Udara yang masih lembab menyusup ke alveolusnya, aroma tanah basah, langit masih kelabu, seakan menyesuaikan diri dengan isi hatinya.

Langkahnya pelan menyusuri jalan setapak menuju toko bunga langganannya. Hanya suara langkah kaki dan desiran angin yang terdengar.

Begitu masuk, aroma mawar dan melati menyambutnya. Udara di dalam toko lebih hangat dibandingkan di luar. Meja kayu sederhana di tengah ruangan penuh dengan bunga segar.

"Mbak Farah, baru ziarah lagi?" suara lembut seorang wanita paruh baya mengalihkan perhatiannya.

Farah mengangguk kecil. "Iya, Bu. Sibuk kemarin."

"Oh, mau bunga yang biasa ya?"

Farah hanya mengangguk lagi, lalu duduk di sudut toko sambil membuka ponselnya.

1 Pesan Masuk dari Azzam.

Azzam;

"Di mana? Tadi Mami bilang kamu keluar dari pagi, sampai sekarang belum pulang."

Farah mengetik balasan dengan malas.

Farah;

"Di makam."

Azzam membalas dengan cepat.

Azzam;

"Makam? Makam siapa?"

Farah;

"Makam kamu."

Azzam;

"Sialan... kamu pikir bakal bahagia kalau saya mati?"

Farah;

"Maybe."

Azzam;

"Sherlock, saya jemput."

Farah;

"Saya bawa mobil."

Azzam;

"Sherlock."

Farah mendengus kecil, lalu memasukkan ponselnya ke saku hoodie, tanpa membalas pesan suaminya.

"Mbak Farah..." suara si ibu penjual bunga membuyarkan lamunannya. "Sudah jadi."

Farah menerima buket mawar putih, lalu membayar lebih dari harga yang seharusnya.

"Ini kebanyakan, Mbak Farah..." Tolak ibu penjual bunga.

"Buat Uti aja, Bu." Farah melirik gadis kecil yang sedang bermain boneka di pojok toko.

Wanita itu akhirnya mengangguk, matanya sedikit berkaca-kaca. "Mbak Farah, terima kasih banyak. Semoga Allah selalu menjaga Mbak."

Farah hanya tersenyum kecil sebelum melangkah keluar.

Langit mendung semakin gelap. Seakan sebntar lagi akan kembali turun hujan.

Farah kembali menyusuri jalan setapak

Menuju dimana tempat peristirahatan terakhir sang kakak.

Setelah berjalan beberapa meter.

Kini Farah berdiri di depan nisan hitam bertuliskan Muhammad Al Fariz.

Rumput di sekitar makam rapi, ada seseorang yang rutin merawatnya. Farah berjongkok, meletakkan buket bunga dengan hati yang berat.

"Selamat ulang tahun, Bang," bisiknya. "Hari ini, andai Abang masih hidup, genap 29 tahun umur Abang."

Suara angin berhembus, seakan menjawab.

"Maafin Farah, Bang..." suara Farah bergetar. "Karena aku, Abang kecelakaan malam itu."

Air mata gadis itu jatuh satu per satu. Ia tidak menangis tersedu-sedu, tapi tangisnya lebih menyakitkan dari itu.

"Sekarang Mama dan Papa udah pisah, Bang... Sekarang aku sendiri,” ucapnya lirih

Hening.

Farah menarik napas dalam lalu berkata. "Dokumen S2 aku udah selesai, besok… aku berangkat ke Venezia bang, Setelah itu... mungkin Farah nggak bisa ziarah ke sini lagi."

Langit yang mendung akhirnya menumpahkan isinya. Hujan turun, tapi Farah tidak bergerak.

Setetes. Dua tetes.

Tak lama, tubuhnya basah kuyup. Tapi dingin hujan tidak seberapa dibandingkan dengan dingin yang ia rasakan di dalam hatinya.

Farah menunduk, tangannya gemetar menyentuh nisan. Seolah mencoba merasakan kehadiran seseorang yang sudah lama pergi.

"Bang... aku minta maaf..." Ucap Farah lirih.

Sebuah mobil Audi hitam berhenti di depan pemakaman. Seorang pria bersetelan formal hitam keluar, membawa payung.

Azzam.

Dari kejauhan, matanya sudah menangkap sosok gadis berhoodie yang sedang berjongkok di depan nisan.Tangisnya terdengar bahkan sebelum ia sampai.Azzam melangkah lebih cepat.

Farah baru sadar ketika sebuah payung tiba-tiba menaunginya dari hujan.Ia mendongak. Azzam berdiri di sana, memayunginya.

Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Farah melihat pria itu tersenyum.

Bukan senyum sinis. Bukan tatapan dingin. Tapi sesuatu yang lain membuat hatinya hangat.

Farah buru-buru mengusap air matanya. Tapi percuma-wajahnya sudah basah.

Azzam berjongkok di sampingnya. Satu tangan memegang payung, satu lagi merangkul pundak gadis itu.

"Riz ... kamu nggak perlu khawatir. Farah aman sama saya. Kami sudah menikah."

Farah menoleh, terkejut. Kenapa tiba-tiba Azzam bicara seperti itu ke Fariz?

Seakan bisa membaca pikirannya, Azzam melanjutkan, "Saya sama Fariz udah kenal sejak lama."

Dunia Farah seakan berhenti. Kenapa aku nggak pernah tahu?

Apa mungkin ini salah satu alasan kenapa mereka dijodohkan?

Azzam menepuk bahu Farah pelan. "Pulang. Udah sore." Azzam berdiri dan mengulurkan tangan untuk gadis itu.

Farah menerima hingga berdiri dengan bantuan Azzam.Mereka berjalan beriringan di bawah satu payung. Tangan Azzam masih di pundaknya, mengarahkan langkahnya perlahan.

Sesampainya di mobil, Azzam tidak langsung masuk.Ia berjalan menghampiri Harris, yang masih menunggu di samping Audi hitamnya.

"Saya bawa mobil Farah.” Azzam menyerahkan kunci mobil Audi-nya sebelum pergi.

Harris mengangguk paham. “Baik. Hati-hati pak.”

Azzam mengangguk. “Hm …”

Lalu kembali menghampiri Farah, melepas jasnya dan menyampirkannya ke tubuh Farah.

"Lain kali, kalau mau hujan-hujanan, mikir dulu," gumamnya datar. "Ujung-ujungnya nyusahin orang."

Brak!

Farah menoleh, mendelik tajam. Baru saja dia melihat sisi lembut Azzam, dan sekarang pria itu kembali ke mode aslinya.

Pria itu menuntun Farah untuk masuk kedalam, setelah membuka pintu mobil.

Menyadari tatapan Farah lalu Azzam berucap."Kenapa marah?" tanya Azzam santai sambil menyetir keluar dari area pemakaman.

Farah mendengus. "Gue nggak minta kamu jemput."

"Jelas saya jemput. Kamu istri saya, tanggung jawab saya." Kalimat Azzam mengema di dalam mobil.

Farah terdiam. Untuk sesaat, ia hampir percaya bahwa Azzam benar-benar peduli.

Namun, dalam hitungan menit saja, pria itu kembali menunjukkan sifat aslinya.

Apakah Azzam hanya menganggapnya sebagai tanggung jawab?

Atau mungkin ia sekadar merasa kasihan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Lalu ia teringat lagi Pria itu tak pernah bersikap baik jika tidak ada sesuatu yang bisa menguntungkannya.

Kini mobil melaju, membawa mereka membela hujan Jakarta. Kini langit mulai gelap pertanda malam akan segera menyapa.

***

Bandara Soekarno-Hatta.

Lampu-lampu bandara berpendar terang, memantul di lantai marmer yang mengkilap. Cahaya putihnya terasa dingin, menciptakan bayangan samar di antara kaki para penumpang yang berlalu-lalang. Di kejauhan, suara pengumuman keberangkatan terus menggema, bercampur dengan hiruk-pikuk langkah terburu dan perpisahan yang tak terelakkan.

Di tengah keramaian itu, Farah justru merasa kosong.Di depannya, Zira dan Rayyan berjalan beriringan, berbicara dengan nada santai. Seolah dunia ini tidak seberat yang Farah rasakan.

Farah sendiri berada di samping Retno, ibu mertuanya, sementara Azzam berada sedikit di belakang, berbicara dengan Danial dan Arman soal urusan perusahaan. Sesekali, tawa kecil mereka terdengar.

Lalu, suara Zira memecah lamunannya.

"Fa."

Farah menoleh, menatap Zira dengan mata yang tampak kosong. Seperti ada kabut tipis yang menghalangi pandangannya.

"Kamu udah kabarin Tante Rina kalau berangkat hari ini?"

Pertanyaan itu menggantung di udara. Sesaat, Farah terdiam.

Udara di sekitarnya terasa lebih berat. Ia akhirnya menggeleng pelan. "Nggak penting, Ra," suaranya hampir tak terdengar.

Zira tersenyum tipis, lalu tanpa berkata-kata,ia meraih tangan sahabatnya itu.

Mereka berjalan berdampingan, langkah mereka pelan. Keheningan yang justru berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Farah berhenti. Perlahan, ia merentangkan tangannya.Zira gadis berhijab hitam itu tersenyum tanpa ragu mereka saling berpelukan.

Bukan sekadar pelukan biasa, sebuah perpisahan yang terlalu berat untuk diucapkan, janji yang tidak perlu disuarakan.

"Aku berangkat dulu, ya," suara Farah terdengar pelan, bergetar. "Kamu jangan lama-lama nyusulnya."

Zira tersenyum kecil, meski matanya berkabut. "Iya, insya Allah aku berangkat bareng mas Ray."

Farah mengangkat alis, berusaha menggoda meski suaranya lemah. "Iya, Zira bucin."

Zira tertawa kecil, tapi tawa itu tidak menghilangkan kesenduan di wajahnya. Ia menepuk bahu Farah dengan lembut. "Hati-hati, ya. Jangan lupa kabarin aku."

Farah terdiam sejenak, lalu bertanya, "Ra, kamu beneran nggak bisa ikut sekarang?"

Ada jeda. Zira menatap Farah, lalu tersenyum kecil. "Aku sebenarnya mau ikut, Fa. Tapi ada urusan yang harus kuselesaikan dulu di sini."

Farah tahu maksudnya. Dua hari lalu, Zira berjanji akan berangkat bersamanya, tapi rencana itu batal. Sesuatu menahannya di Jakarta, membuatnya harus menunda keberangkatan selama satu minggu. Pendaftaran kuliah mereka memang masih satu bulan lagi, tapi ada hal yang tak bisa ia tinggalkan begitu saja.

Farah menghela napas. "Semoga nggak ada masalah, ya, Ra."

Zira tersenyum, mencoba menenangkan. "Nggak kok, cuma urusan keluarga. Aku pasti nyusul."

Azzam kini sudah berdiri di dekat mereka, diam, memperhatikan.

Zira menoleh padanya. "Aku titip Farah, Bang. Jagain dia, ya."

Azzam menatapnya sebentar sebelum mengangguk. "Hm.. "

Danial melangkah maju, menatap putrinya dalam-dalam sebelum merengkuhnya ke dalam pelukan erat.

"Nurut sama suamimu, ya, Sayang. Maaf, Papa nggak bisa temani kamu di sana."

Farah tersenyum tipis, meski matanya berkabut. "Nggak apa-apa, Pa. Papa sehat-sehat, ya." Lalu, dengan suara yang lebih pelan, "Jangan lupa sering jengukin Bang Fariz."

Danial mengangguk, menelan sesuatu di tenggorokannya. "InsyaAllah, Sayang. Kabarin Papa terus, Hm."

Farah hanya mengangguk sembari mengusap air matanya.Saat pelukan itu lepas, Danial menatap Azzam Ada keheningan sesaat sebelum akhirnya ia menepuk bahu menantunya.

"Papa titip Farah, ya, Nak."

Azzam mengulas senyum tipis, anggukan pelan menjadi jawabannya. "InsyaAllah, Pa. Farah aman sama saya."

Danial tidak langsung melepaskan genggamannya. Sebaliknya, ia menarik Azzam ke dalam pelukan, lalu berbisik di dekat telinganya.

"Papa percaya sama kamu, Nak."

Azzam diam. Tidak menjawab. Tapi sorot mata Pria itu seketika berubah.

Kini giliran Retno. Wanita itu melangkah mendekat, menatap Farah dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Kemudian, dengan gerakan cepat, ia menarik menantunya ke dalam pelukan.

"Kalian baik-baik di sana, ya. Kalau Azzam jahat sama kamu, bilang sama Mami." Farah terkekeh kecil, tapi tidak menjawab.

Pelukan mereka merenggang. Kini Retno beralih ke Azzam, ekspresinya berubah lebih serius.

"Hati-hati di sana. Jagain istri kamu." Sejenak ia ragu sebelum menambahkan, "Kalian akur-akur, ya jangan suka berantem dan satu lagi Jangan suka jahat-jahat sama istri sendiri."

Farah menahan tawa, sementara Zira sudah lebih dulu terkekeh di belakang.

Azzam mendesah, memutar bola matanya. "Iya, Mi. Iya. Nggak mungkin Azzam jahat sama Farah, dia Istri Azzam."

Retno tergelak sembari menarik putranya dan memeluknya.

“Belajar buka hati untuk istrimu Nak.” Bisik Retno.

“Mami nggak usah mikirin itu, biar jadi urusan Azzam,” Ucap Azzam sembari melepas pelukannya dai sang Mami dan kembali berucap.

“Mami sehat-sehat ya, Jangan capek-capek.”

Arman mendekat merangkul istrinya.” Kamu tenang saja Nak, Mami aman dengan Papi.”

Azzam mengangguk lalu memeluk pria Paruh baya itu. “ Kami berangkat ya Pi,”

Setelah berpamitan dengan semua keluarga, akhirnya mereka benar-benar bersiap.

Farah dan Azzam melangkah menuju pintu keberangkatan internasional.

Setiap langkah terasa berat. Seperti ada beban yang mengikuti mereka, semakin bertambah seiring jarak yang semakin menjauh.

Sebelum benar-benar menghilang, Farah menoleh sekali lagi.

Di sana, Zira, Rayyan, Papa, dan mertuanya berdiri. Mereka melambaikan tangan, tersenyum. Tapi Farah bisa melihat dengan jelas, senyum itu menyembunyikan sesuatu.

Mata Zira berkabut, gerakan bibir seolah berucap.

"InsyaAllah, kamu bisa, Fa."

Farah tidak menjawab. Hanya mengulas senyum samar sebelum akhirnya melangkah masuk, membiarkan pintu keberangkatan menutup di belakangnya.

Di belakang, Retno menoleh pada Danial, suaranya lirih.

"Semoga Azzam bisa membantu Farah kembali, ya, Mas."

Danial terdiam. Ada sesuatu dalam sorot matanya sebuah beban yang tak tersampaikan.

Lalu, dalam hatinya, ia berbisik.

“Maafkan Papa, Nak. Suatu hari kamu akan mengerti kenapa Papa lalukan ini.”

***

Hola ...

Cuma mau bilang makasih sudah membaca karyaku yang banyak kurangnya ini.

Jangan lupa, Like, Komen, dan Subscribe agar kalian ga ketinggalan kalau aku update.

Jangan lupa Follow Authornya juga Ya.

Kamshammida.

1
Wilana aira
keren ceritanya, bisa belajar sejarah Islam di Italia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!