💔 Dikhianati & Dibangkitkan: Balas Dendam Sang Ibu
Natalie Ainsworth selalu percaya pada cinta. Keyakinan itu membuatnya buta, sampai suaminya, Aaron Whitmore, menusuknya dari belakang.
Bukan hanya selingkuh. Aaron dan seluruh keluarganya bersekongkol menghancurkannya, merampas rumah, nama baik, dan harga dirinya. Dalam semalam, Natalie kehilangan segalanya.
Dan tak seorang pun tahu... ia sedang mengandung.
Hancur, sendirian, dan nyaris mati — Natalie membawa rahasia terbesar itu pergi. Luka yang mereka torehkan menjadi bara api yang menumbuhkan kekuatan.
Bertahun-tahun kemudian, ia kembali.
Bukan sebagai perempuan lemah yang mereka kenal, melainkan sebagai sosok yang kuat, berani, dan siap menuntut keadilan.
Mampukah ia melindungi buah hatinya dari bayangan masa lalu?
Apakah cinta yang baru bisa menyembuhkan hati yang remuk?
Atau... akankah Natalie memilih untuk menghancurkan mereka, satu per satu, seperti mereka menghancurkannya dulu?
Ini kisah tentang kebangkitan wanit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Manifesto Tukang Kayu Jujur
Seminggu setelah krisis media dan konflik dengan ibunya, Natalie dan Arif sepakat bahwa mereka tidak bisa lagi membiarkan media gosip menentukan siapa diri mereka. Mereka memutuskan untuk tidak melawan headline gosip, melainkan mengubah fokusnya.
Arif, dengan bantuan tim komunikasi kecil yang dibentuk Natalie dan Hadiningrat, mengadakan acara di Bengkel Kayu Jujur. Ini bukan konferensi pers yang glamor, melainkan pertemuan informal dengan beberapa media bisnis terkemuka dan perwakilan komunitas UMKM, yang tertarik pada kisah sukses tender mereka.
Saat Natalie tiba, ia mengenakan pakaian santai namun elegan, berusaha keras untuk tidak terlalu mendominasi. Ia melihat Arif berdiri di tengah bengkel, di antara tumpukan kayu yang terorganisir, siap berbicara.
"Ini panggungmu, Rif," bisik Natalie, menggenggam tangannya erat.
Arif mengangguk, matanya menunjukkan ketegasan yang baru.
Arif memulai acara tanpa mikrofon mewah, suaranya lantang tetapi bersahaja.
"Selamat siang. Saya Arif, pemilik Bengkel Kayu Jujur. Saya bukan eksekutif, saya seorang tukang kayu. Saya berdiri di sini hari ini bukan untuk membela cinta saya, tetapi untuk membela pekerjaan saya," ujar Arif, tatapannya tenang.
Seorang reporter bisnis langsung bertanya, "Tuan Arif, media gosip menyebut Anda aset yang dibeli oleh Nyonya Ainsworth. Bagaimana Anda membuktikan bahwa hubungan Anda tidak melanggar etika dan Anda tidak diuntungkan secara ilegal?"
Arif tersenyum tipis. "Saya akan jawab dengan fakta bisnis, bukan gosip. Saya memenangkan tender Whitmore Group karena price-to-quality ratio produk saya 15% lebih baik. Dan saya akan jujur tentang keuangan saya."
Arif kemudian meluncurkan apa yang ia sebut "Manifesto Tukang Kayu Jujur".
"Bulan lalu, saya hampir menerima jaminan pinjaman dari Yayasan yang dikelola Nyonya Natalie Ainsworth. Saya menolaknya. Mengapa? Karena saya ingin membangun warisan yang murni milik saya. Saya ingin menunjukkan kepada UMKM lain bahwa integritas lebih kuat daripada koneksi."
Ia mengumumkan rencananya. "Hari ini, saya telah menandatangani perjanjian pinjaman dengan Bank Mandiri Syariah, pinjaman konvensional, yang didapatkan berdasarkan neraca keuangan dan potensi bisnis Bengkel Kayu Jujur, tanpa jaminan dari Nyonya Natalie Ainsworth atau Whitmore Group."
Arif menoleh pada Natalie. "Nyonya Natalie adalah inspirasi dan mitra saya dalam hidup. Tapi dalam bisnis, kami adalah mitra yang sejajar. Kontrak Whitmore adalah validasi kemampuan saya, bukan hadiah. Kami akan menggunakan pinjaman ini untuk memperluas bengkel dan menciptakan lapangan kerja baru, membuktikan bahwa UMKM kecil bisa bersaing dengan raksasa."
Aksi Arif memotong semua narasi media gosip yang tersisa. Dia tidak hanya membela dirinya; dia menempatkan dirinya sebagai pemimpin bisnis yang berintegritas, yang bahkan menolak kekayaan demi harga diri. Para reporter bisnis, yang tertarik pada kisah turnover dan ekspansi, kini mendominasi liputan.
Natalie, yang berdiri di sudut, merasa bangga. Arif telah merebut kembali narasinya, membuktikan kepada dunia, dan yang lebih penting, kepada dirinya sendiri, bahwa ia adalah pria yang layak berdiri di sisinya.
Setelah kemenangan kecilnya, Natalie tahu ada jembatan lain yang lebih penting yang harus dibangun: antara Arif dan Kenzo.
Natalie mengatur pertemuan yang sangat santai di rumahnya, di halaman belakang, menjauhi kebisingan media.
"Kenzo, ini Tuan Arif. Tuan Arif, ini Kenzo," perkenal Natalie, berusaha menjaga agar semuanya tetap ringan.
Kenzo, putranya yang berusia tujuh tahun, adalah anak yang cerdas tetapi sensitif. Ia telah mendengar bisik-bisik pengasuh dan melihat headline koran. Ia menatap Arif dengan rasa ingin tahu bercampur kecanggungan.
"Hai," kata Kenzo pelan.
"Hai, Kenzo. Aku dengar kamu suka pesawat?" tanya Arif, berlutut agar tinggi mereka sejajar.
Kenzo mengangguk ragu. "Tapi yang aku punya dari plastik."
"Aku punya ide," kata Arif, mengeluarkan beberapa potong kayu kecil dan alat ukir saku. "Aku akan tunjukkan cara membuat pesawat yang akan bertahan lama. Pesawat dari Kayu Jujur."
Natalie mengamati dari jauh. Arif tidak mencoba mengambil peran ayah; dia hanya menjadi dirinya sendiri: sabar, jujur, dan terampil. Ia menunjukkan kepada Kenzo bagaimana mengamplas sudut-sudut kayu dengan lembut, bagaimana membuat keseimbangan sayap.
"Kenapa namanya Kayu Jujur?" tanya Kenzo, tertarik.
"Karena kita harus jujur pada kayu," jawab Arif. "Kita harus tahu kekuatannya, kelemahannya, dan kita tidak bisa memaksanya menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Sama seperti kita, Nak. Kita harus jujur pada diri sendiri."
Saat Kenzo sibuk memoles kayu dengan wajah penuh konsentrasi, ia melupakan status sosial, uang, dan headline yang mengganggu ibunya. Ia hanya melihat seorang pria yang mahir dan sabar.
Matahari mulai terbenam, memberikan cahaya oranye lembut di halaman. Pesawat kayu kecil Kenzo sudah jadi.
"Terima kasih, Tuan Arif," kata Kenzo, matanya bersinar bangga.
"Sama-sama, Kenzo. Jaga dia baik-baik," jawab Arif.
Ketika Kenzo masuk untuk makan malam, Natalie berjalan ke arah Arif.
"Dia menyukaimu," bisik Natalie, suaranya dipenuhi emosi. "Dia tidak pernah mau membuang waktu dengan mainan yang dibuat orang lain. Kamu memberinya kepercayaan diri."
"Dia anak yang baik, Nat," kata Arif. "Dia hanya butuh seseorang yang tidak mengajaknya bermain, tapi mengajarinya cara menciptakan sesuatu."
Natalie memeluk Arif, pelukan kali ini terasa berbeda. Ini bukan pelukan lelah setelah pertarungan korporat; ini adalah pelukan penuh janji tentang masa depan. Kemenangan Arif di bengkel adalah penting, tetapi kemenangannya di hati Kenzo adalah segalanya bagi Natalie.
"Dunia ibuku mungkin mencibir, tapi di sinilah kemenangan yang sebenarnya," kata Natalie. "Kamu telah membuktikan bahwa kamu layak, Rif. Tidak hanya untuk perusahaan, tapi untuk kami."
Tiba-tiba, ponsel Natalie berdering. Itu Tuan Hadiningrat, menelepon di luar jam kerja.
"Nyonya, ini sudah pasti," kata Hadiningrat, nadanya terdengar serius namun lega. "Jaksa telah mengeluarkan surat perintah. Aaron Whitmore telah ditahan. Mereka menemukan bukti transfer dana ilegal yang sangat jelas dari rekening offshore miliknya, yang kami berikan. Dia tidak akan mendapatkan jaminan."
Natalie menutup mata, merasakan gelombang emosi. Aaron—trauma terbesarnya, pengkhianat yang hampir menghancurkannya—kini telah dinetralkan, secara hukum.
Ia menoleh pada Arif. Ia tidak perlu mengatakan apa-apa. Senyum Natalie, yang kini murni tanpa beban masa lalu, sudah menjelaskan semuanya.
"Masa lalu sudah selesai, Rif," bisik Natalie, menggenggam tangan Arif. "Dan masa depan, adalah kita."