Di Surabaya, berdiri Sebuah pesantren megah pesantren Al - Ikhlas, sebuah lembaga pendidikan Islam yg dikenal dgn tradisi kuat dan menghasilkan santri" yg berprestasi. cerita ini mengikuti perjalanan 5.285 santriwan dan santriwati pesantren Al - ikhlas. ada banyak santri yg berjuang meraih keinginan orang tua dan menggapai mimpi mimpinya. namun terkadang menimbulkan pro dan kontra akibat persaingan di balik semua perjuangan para santri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue_era, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Menggantikan Tugas, Kekhawatiran yang Jadi Kenyataan dan Kepanikan di Pesant
Sore itu, suasana di ndalem terasa lebih sibuk dari biasanya. Gus Arga dan Ning Azzahra bersiap-siap untuk mengajar kitab kuning, menggantikan Gus Hilman dan Gus Salman yang berhalangan hadir. Tugas ini merupakan amanah yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Namun, saat sedang bersiap-siap, Gus Arga menyadari ada sesuatu yang berbeda pada diri Ning Azzahra. Wajah istrinya terlihat lebih pucat dari biasanya, dan matanya tampak sayu. Gus Arga merasa khawatir dengan kondisi kesehatan Ning Azzahra.
"Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Gus Arga dengan nada khawatir. "Wajahmu pucat sekali. Apa kamu merasa tidak enak badan?"
"Aku baik-baik saja kok, Gus," jawab Ning Azzahra dengan senyum yang dipaksakan. "Mungkin cuma sedikit capek aja. Nggak usah khawatir."
"Tapi, aku lihat kamu nggak seperti biasanya," kata Gus Arga lagi. "Sebaiknya kamu istirahat saja di rumah. Biar aku saja yang mengajar kitab kuning."
"Nggak bisa, Gus," jawab Ning Azzahra dengan tegas. "Ini kan amanah yang harus kita jalankan bersama. Aku nggak mau mengecewakan para santri."
Gus Arga menghela napas. Ia tahu betul betapa keras kepalanya istrinya itu. Jika Ning Azzahra sudah berpendirian seperti itu, sulit baginya untuk membujuknya.
"Ya sudah, kalau itu maumu," kata Gus Arga akhirnya. "Tapi, janji ya, kalau kamu merasa tidak enak badan, kamu harus langsung bilang sama aku."
"Iya, Gus, janji," jawab Ning Azzahra dengan senyum manis.
Gus Arga dan Ning Azzahra pun berangkat menuju masjid untuk mengajar kitab kuning. Mereka mengajar dengan penuh semangat dan dedikasi, meskipun Ning Azzahra merasa sedikit pusing dan lemas.
Waktu terus berjalan, hingga akhirnya pukul 17.00 tiba. Ning Azzahra merasa semakin pusing dan lemas. Ia berusaha menahan rasa sakitnya agar tidak mengganggu proses belajar mengajar.
Beberapa saat sebelum adzan Maghrib berkumandang, seorang santriwan sedang mengetes mikrofon untuk keperluan adzan. Santriwan tersebut berusaha membenarkan posisi mikrofon agar suaranya terdengar jelas.
Saat santriwan tersebut sedang sibuk dengan mikrofon, Ning Azzahra tiba-tiba memanggilnya. "Nak, tolong panggilkan Gus Arga ke sini," pinta Ning Azzahra dengan suara lirih. "Kepala saya terasa sangat pusing."
Santriwan tersebut terkejut mendengar permintaan Ning Azzahra. Ia segera berlari keluar masjid untuk mencari Gus Arga.
"Gus, gawat! Ning Azzahra pusing dan minta dipanggil ke masjid sekarang!" seru santriwan tersebut dengan panik.
Gus Arga yang sedang berada di ndalem terkejut mendengar berita tersebut. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari menuju masjid.
Sesampainya di masjid, Gus Arga melihat Ning Azzahra sedang duduk lemas di kursi. Wajahnya pucat pasi dan keringat dingin membasahi dahinya.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Gus Arga dengan nada khawatir.
"Aku pusing banget, Gus," jawab Ning Azzahra dengan suara lirih.
Gus Arga segera memapah Ning Azzahra untuk dibawa kembali ke ndalem. Namun, belum sempat mereka melangkah keluar masjid, tiba-tiba Ning Azzahra pingsan.
"Azzahra!" teriak Gus Arga panik.
Para santriwan yang berada di masjid terkejut melihat Ning Azzahra pingsan. Mereka segera berkerumun untuk memberikan bantuan.
Kejadian mendadak itu menimbulkan kepanikan di antara para santriwan yang berada di masjid. Suara riuh rendah bercampur dengan seruan takbir menggema di seluruh ruangan. Mereka berusaha membantu Gus Arga mengangkat Ning Azzahra yang pingsan.
Dengan sigap, Gus Arga menggendong Ning Azzahra dan membawanya keluar dari masjid menuju ndalem. Para santriwan mengikuti dari belakang dengan raut wajah cemas. Mereka khawatir dengan kondisi Ning Azzahra yang tiba-tiba pingsan.
Sesampainya di ndalem, Gus Arga membaringkan Ning Azzahra di tempat tidur. Umi dan para Mbak Ndalem segera datang untuk membantu memberikan pertolongan pertama. Mereka mengompres dahi Ning Azzahra dengan air dingin dan memberikan minyak angin untuk meredakan pusingnya.
Gus Arga tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Ia terus memandangi wajah Ning Azzahra yang pucat pasi. Ia merasa bersalah karena telah membiarkan istrinya mengajar dalam kondisi yang tidak fit.
"Ya Allah, semoga Aza baik-baik saja," gumam Gus Arga dalam hati.
Umi mencoba menenangkan Gus Arga. "Sabar, Gus," kata Umi dengan lembut. "Kita serahkan semuanya kepada Allah. Insya Allah, Azzahra akan segera sadar."
Gus Arga mengangguk lemah. Ia berusaha menenangkan diri dan berdoa kepada Allah SWT agar memberikan kesembuhan kepada istrinya.
Sementara itu, para santriwan yang berada di luar ndalem terus memanjatkan doa. Mereka berharap agar Ning Azzahra segera sadar dan kembali sehat seperti sedia kala. Suara doa dan dzikir menggema di seluruh area pesantren, menciptakan suasana yang khusyuk dan penuh harapan.
Setelah beberapa saat, Ning Azzahra mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Ia membuka matanya perlahan dan mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Alhamdulillah," ucap Umi dengan lega. "Azzahra sudah sadar."
Gus Arga segera mendekat ke arah Ning Azzahra. "Sayang, kamu sudah sadar?" tanyanya dengan nada khawatir.
Ning Azzahra mengangguk lemah. "Aku di mana, Gus?" tanyanya dengan suara lirih.
"Kamu di ndalem, Sayang," jawab Gus Arga. "Kamu tadi pingsan di masjid."
Ning Azzahra mencoba mengingat kejadian yang menimpanya. Ia ingat bahwa ia merasa sangat pusing dan lemas saat sedang mengajar kitab kuning. Kemudian, ia tidak ingat apa-apa lagi.
"Maafkan aku, Gus," kata Ning Azzahra dengan nada menyesal. "Aku sudah membuatmu khawatir."
"Tidak apa-apa, Sayang," jawab Gus Arga sambil menggenggam tangan Ning Azzahra. "Yang penting sekarang kamu sudah sadar dan baik-baik saja."
Gus Arga kemudian memanggil dokter pesantren untuk memeriksa kondisi Ning Azzahra. Setelah diperiksa, dokter mengatakan bahwa Ning Azzahra hanya kelelahan dan kurang istirahat. Dokter menyarankan agar Ning Azzahra banyak istirahat dan minum vitamin agar kondisinya segera pulih.
Gus Arga merasa lega mendengar penjelasan dokter. Ia berjanji akan menjaga Ning Azzahra dengan baik dan memastikan bahwa istrinya mendapatkan istirahat yang cukup.
Malam itu, Gus Arga tidak meninggalkan sisi Ning Azzahra. Ia menemani istrinya beristirahat dan membacakan ayat-ayat Al-Qur'an untuk menenangkan hatinya.
Para santriwan pun merasa lega mendengar kabar bahwa Ning Azzahra sudah sadar dan