NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 / THTM

Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah basah dan udara lembap yang menempel di kulit.

Ia baru saja sampai di rumah setelah seharian di rumah besar milik Elara dan Alaric. Badannya lelah, tapi pikirannya jauh lebih penat.

Ada sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan—tatapan Elara yang seolah tahu sesuatu, dan diam Alaric yang terlalu tenang… terlalu teratur untuk disebut alami.

Nayara menggantungkan jaketnya yang masih lembap, lalu menyalakan lampu ruang tamu. Cahaya kuning hangat mengisi ruangan kecil itu, menyingkirkan bayangan, tapi tidak menghapus rasa dingin di dadanya.

Ia menarik napas panjang, menatap meja belajarnya di sudut ruangan. Di sana masih tergeletak beberapa tumpukan buku, Tapi di antara tumpukan itu, ada sesuatu yang tidak semestinya ada.

Sebuah amplop putih polos.

Tidak besar, tidak terlalu tebal—tapi cukup mencolok karena diletakkan tepat di tengah meja.

Nayara mengerutkan kening. Ia yakin meja itu kosong saat ia pergi pagi tadi.

Tangannya gemetar kecil ketika ia mengambil amplop itu. Tidak ada nama, tidak ada tulisan, hanya sebuah lipatan rapi yang menunggu untuk dibuka.

Ia membukanya perlahan.

Dan di dalamnya—sebuah foto.

Jantung Nayara berhenti berdetak sejenak.

Foto itu menampilkan dirinya dan Elara, di kamar elara tadi. Duduk di sisi Elara yang tampak tersenyum. Tapi yang membuat tengkuknya kaku adalah bayangan di belakang mereka, terekam samar di pantulan kaca lemari.

Siluet seorang pria.

Siluet yang sangat ia kenal.

Alaric.

Tangannya refleks menjatuhkan foto itu ke meja. Nafasnya memburu. Ia menatap sekeliling ruangan—tidak ada siapa-siapa, tapi perasaan diawasi itu begitu nyata, seperti ada mata yang terus menatap dari balik dinding.

Ia menunduk lagi. Di belakang foto, ada tulisan tangan.

Tulisan yang rapi, sedikit miring ke kanan. Tulisan yang bahkan tanpa nama pun ia tahu milik siapa.

...“Kau terlalu dekat dengan nya.”...

Huruf-huruf itu menusuk dalam, seperti bisikan yang mengalun di telinganya sendiri.

Tangannya memegang foto itu erat, matanya mulai basah.

“Apa maksudnya,…” bisiknya pelan, meski ia tahu tidak akan ada jawaban.

Hening.

Hanya suara jarum jam yang berdetak pelan.

Detik demi detik terasa seperti cambuk yang menegaskan:

Ia tidak pernah benar-benar sendirian.

Malam semakin larut. Nayara duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding, foto itu masih di genggamannya.

Ia mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya terus berputar.

Bagaimana foto ini bisa sampai ke rumahnya? Siapa yang menaruhnya? Apakah… Alaric sendiri yang datang ke sini?

Pikirannya terlempar pada tatapan pria itu tadi.

Tenang. Dingin.

Tapi di baliknya, seperti ada sesuatu yang mendidih—sesuatu yang membuatnya ingin lari, tapi tak tahu ke mana.

Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Kenapa aku gak bisa pergi dari semua ini…”

Lelah. Takut. Dan… ada bagian dari dirinya yang masih anehnya—peduli.

Peduli pada Elara yang tampak semakin bingung, dan peduli pada Alaric yang… entah kenapa selalu berhasil membuatnya terjebak dalam diam yang menakutkan.

Hujan kembali turun lagi, kali ini lebih lembut.

Nayara akhirnya bangkit, berjalan ke dapur untuk mengambil air. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat bayangan di bawah pintu depan.

Seseorang berdiri di luar.

Bayangan itu tidak bergerak lama—hanya berdiri, lalu perlahan menghilang.

Deg.

Ia menelan ludah, lalu mendekati pintu dengan langkah gemetar. Tidak ada suara. Tidak ada ketukan.

Tapi ketika ia membuka pintu, udara dingin malam menyambutnya… dan di depan rumah, ada amplop kedua, lebih kecil dari yang pertama.

Nayara memungutnya dengan tangan bergetar.

Di dalamnya hanya selembar kertas kecil, dan satu kalimat yang membuat tubuhnya lemas:

^^^“Jangan mencari, Elara. Kau tak akan suka jawabannya.”^^^

Dunia seolah berhenti berputar sesaat.

Ia tahu tulisan itu bukan untuknya. Itu untuk Elara.

Tapi mengapa surat itu dikirim ke rumahnya?

Apakah ini peringatan… atau ancaman?

Nayara duduk di lantai, menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah.

Ia ingin menelepon Elara, tapi takut.

Ingin membuang kertas itu, tapi sesuatu dalam dirinya menolak—mungkin naluri bahwa ini penting, bahwa ia perlu menyimpannya, meski menakutkan.

Ia menyembunyikan dua amplop itu di bawah laci mejanya, lalu menatap ke luar jendela.

Hujan masih turun. Di balik tirai air itu, ia seperti melihat bayangan seseorang yang berdiri jauh di ujung gang—diam, tidak bergerak, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar keras.

Bayangan itu tinggi, tegap… Tidak seperti Alaric.

Tapi setiap kali ia berkedip, bayangan itu menghilang, seperti tak pernah ada.

Malam itu, Nayara tidak tidur.

Ia duduk menatap lampu kecil di meja, sementara pikirannya terus memutar ulang setiap kejadian.

Ia menulis sesuatu di buku catatannya:

...“Jika sesuatu terjadi pada Elara, maka aku tahu siapa yang harus disalahkan.”...

Tangannya gemetar, tapi garis tulisan itu tegas.

Ia menutup buku itu, memeluk lutut, dan menatap jendela yang perlahan mulai terang oleh sinar subuh.

Hujan telah berhenti.

Tapi badai di dalam dirinya masih menyala.

...----------------...

Pagi datang dengan sinar matahari pucat yang menembus tirai tipis.

Nayara belum tidur. Lingkaran gelap di bawah matanya menjadi saksi malam panjang yang dihabiskan bersama rasa takut dan pertanyaan yang tak berujung.

Ia menatap cermin kecil di kamarnya — wajahnya terlihat kusut, pucat, dan kosong.

Hening.

Bahkan burung yang biasanya berkicau di genteng rumah kini tak bersuara.

Tangannya meraih dua amplop yang tadi malam ia sembunyikan di bawah laci.

Masih di sana.

Masih dengan tulisan yang sama.

...“Kau terlalu dekat dengan nya.”...

...“Jangan mencari, Elara. Kau tak akan suka jawabannya.”...

Kertas itu dingin di tangannya, tapi hawa dingin itu tak sebanding dengan getar yang menjalar dari dada ke ujung jari.

Ia tahu satu hal — ia tidak boleh menunjukkan ini pada siapa pun.

Terutama Elara.

“Jika dia tahu…” gumam Nayara lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam napas gugup.

“…semuanya akan hancur.”

Ia memasukkan kembali amplop itu ke dalam tas, tepat di balik lapisan kain yang jarang disentuh orang. Lalu menatap jam.

07.10. Terlambat.

Ia belum siap, tapi tetap harus ke sekolah.

Kehidupan harus terus berjalan, meski dunia batinnya sudah hampir runtuh.

Hujan tadi malam menyisakan genangan kecil di jalan. Sepanjang perjalanan ke sekolah, langkah Nayara terasa berat.

Kepalanya berdenyut, tapi bukan karena demam — melainkan karena tekanan yang menumpuk di dada.

Sesampainya di halaman sekolah, suara ramai siswa menyambut seperti biasa. Tapi baginya, semuanya terasa jauh, kabur, dan tidak nyata.

Ia melangkah pelan menuju kelas, berharap tidak ada yang menyadari wajahnya yang murung.

Namun, harapannya terlalu tinggi.

Karena begitu ia duduk, suara lembut namun tajam menyapanya.

“Kau nggak kelihatan tidur semalaman, Nayara.”

Elara.

Suara itu membuat tubuh Nayara menegang. Ia memaksa tersenyum, berusaha menampilkan wajah ceria seperti biasa.

“H-hehe, aku cuma… belajar setelah pulang dari rumah mu, Ra.”

Elara menatapnya beberapa detik lebih lama dari biasanya. Tatapannya lembut, tapi ada sesuatu yang bersembunyi di balik mata itu — sesuatu yang membuat Nayara ingin berpaling.

Namun sebelum sempat bicara lebih jauh, Elara tertawa kecil dan menepuk bahunya.

“Kau ini, jangan terlalu memaksakan diri. Nanti malah sakit beneran, loh.”

Nada suaranya ringan. Tapi bagi Nayara, ada getaran samar yang membuat jantungnya mencelos.

Elara tahu sesuatu.

Atau setidaknya, mencurigai sesuatu.

Jam pelajaran berjalan lambat. Setiap menit terasa seperti satu jam.

Ketika bel istirahat berbunyi, Nayara cepat-cepat mengemas bukunya dan melangkah keluar — tapi belum sempat jauh, Elara sudah muncul di sampingnya.

“Ayo makan bareng, aku traktir hari ini,” katanya, dengan senyum hangat yang terlihat terlalu manis untuk disebut tulus.

Nayara terdiam. Ia ingin menolak, tapi tahu kalau menolak akan membuatnya terlihat aneh.

“Boleh,” jawabnya singkat.

Mereka berjalan berdampingan menuju kantin. Tapi Nayara bisa merasakan, Elara tidak benar-benar fokus pada percakapan.

Gadis itu beberapa kali menatapnya dengan pandangan yang tidak biasa — bukan curiga, tapi mengamati, meneliti, seperti seseorang yang sedang mengumpulkan potongan teka-teki.

Sore harinya, sepulang sekolah, Nayara baru sampai di depan rumah saat ponselnya bergetar.

Nomor yang sangat di kenali nya di layar membuat darahnya berhenti mengalir sesaat.

Kak Alaric.

Ia menatap layar itu lama. Jari-jarinya kaku. Napasnya pendek.

Namun, ia tahu… tak menjawab bukan pilihan yang aman.

Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol hijau.

“Kak…?”

Suara di seberang terdengar tenang. Terlalu tenang.

“Kau tidak tidur semalam?”

“A—apa maksud Kak?”

“Kau terlihat lelah. Aku lihat dari jauh, pagi tadi.”

Nayara mematung.

Dari jauh?

Berarti… Alaric ada di sekitar sekolah tadi pagi?

“Kau mengikuti aku?”

“Aku hanya memastikan sesuatu,” jawabnya datar. “Elara tidak curiga apa pun padamu, kan?”

Nayara menelan ludah. “Tidak, Kak. Aku… aku tidak bilang apa pun.”

“Bagus.”

“Tapi… Kak, kenapa—”

“Kau tidak perlu tahu kenapa. Cukup bersikap biasa saja.”

Lalu sambungan terputus.

Nada sambung panjang menggema di telinganya, membuat lututnya lemas. Ia terjatuh duduk di lantai teras, ponsel masih di tangannya.

Tangannya gemetar begitu hebat hingga ponsel hampir jatuh.

Suara itu — tenang tapi berbahaya, seperti ular yang berbisik di telinganya.

Malam itu, Elara kembali menghubungi Nayara.

Suaranya lembut, tapi terdengar lebih serius dari biasanya.

“Besok sore datang ke rumah, ya? Aku… kembali merasa agak pusing, dan aku mau nya di temenin sama kamu kayak dulu.” manja Elara.

Nayara nyaris ingin menolak. Tapi suara Elara membuat hatinya mengerut.

Mungkin Elara benar-benar sakit. Mungkin tidak. Tapi dalam keadaan apa pun, ia tidak bisa menolak gadis yang sudah menganggapnya sahabat itu terlebih lagi jika suara Elara sangat memohon dengan suara manja nya itu.

“Baik, aku datang.”

Namun di dalam hatinya, ada rasa takut lain yang tumbuh —

takut jika Alaric juga akan berada di sana.

Keesokan harinya, langit kembali mendung.

Nayara tiba di rumah besar itu dengan langkah hati-hati. Rumah itu tampak tenang dari luar, tapi setiap langkah di dalamnya membuat udara seolah menebal.

Di ruang tamu, Elara duduk berselimut, tersenyum kecil.

“Nayara, akhirnya datang juga.”

Namun sebelum Nayara sempat menjawab, langkah berat terdengar dari tangga atas.

Langkah yang terlalu familiar.

Alaric.

Ia turun dengan kemeja hitam dan wajah tanpa ekspresi, namun matanya menatap langsung pada Nayara — dingin, menghitung, mengancam.

Tapi di hadapan Elara, ia berperan sempurna sebagai kakak penyayang.

“Kau datang membantu Elara lagi, Nayara? Terima kasih.”

Nada suaranya sopan, hangat, bahkan terdengar tulus bagi orang yang tidak tahu siapa dia sebenarnya.

Namun bagi Nayara, setiap kata terasa seperti pisau tumpul yang digosok perlahan ke kulitnya.

Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan tas. “I—iya, Kak… sama-sama.”

Tatapan mereka bertemu sepersekian detik — cukup lama untuk membuat tubuh Nayara menegang, tapi terlalu singkat untuk disadari Elara.

Lalu Alaric menepuk pundak adiknya pelan.

“Jangan terlalu memaksakan diri, Elara. Aku pergi dulu ke ruang kerja.”

“Baik, Kak.”

Langkah Alaric menjauh. Tapi bahkan setelah pintu ruang kerjanya tertutup, Nayara masih merasakan tatapan itu.

Dan Elara… kini berada di tengah pusaran rahasia yang semakin berbahaya.

Malam menjelang.

Elara tertidur di ranjang, tubuhnya kembali lemah karena demam yang ia buat sendiri.

Nayara duduk di sisi ranjang, menggenggam kain basah yang menetes di tangannya. Hening, hanya terdengar napas pelan Elara dan suara detik jam di dinding.

Namun dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, ada bayangan berdiri.

Diam, menatap, lalu perlahan menghilang ke kegelapan koridor.

Nayara menatap ke arah pintu itu, tahu siapa yang baru saja berdiri di sana.

Dan di dalam hatinya, ia berjanji:

Jika Elara benar-benar tahu semua ini, maka semuanya akan berakhir.

Untuk mereka bertiga —

tidak akan ada yang sama lagi.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!