Fresha seorang gadis lugu, kurang percaya diri yang viral mirip Sha Artis legend yang telah meninggal 20 tahun.
Setelah kacamata Fresha terlepas maka tanpa sadar Fresha jadi Sha, yang percayadiri , aura bintang dia mulai muncul.
Fresha bisa tahu masa lalu Sha Sangat Legenda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lingga Mn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arlano Membawa Luka Lama Terkuak.
Senja mulai merayap, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu yang hangat. Setelah hiruk pikuk jumpa fans yang melelahkan, namun membahagiakan, Fresha menghela napas lega saat kakinya menapak teras rumah Bunda Fatma. Aroma kopi robusta yang diseduh dengan tradisional menyambutnya, bercampur dengan wangi jajanan pasar yang menggugah selera, seolah merayakan kesuksesan hari ini.
Di teras yang sederhana namun penuh cinta itu, Gea dan Lidia duduk bersandar di kursi kayu, wajah mereka berseri-seri memancarkan kebanggaan. Akbar, dengan gitar akustiknya, memetik senar dengan riang, menciptakan melodi ceria yang menular. Zheshe ,seperti biasa, sibuk dengan ponselnya, mengunggah momen-momen terbaik dari jumpa fans ke media sosial, tak henti-hentinya tersenyum melihat komentar positif dari para penggemar.
Bunda Fatma, dengan senyum lebar di wajahnya, menyambut Fresha dengan pelukan hangat yang tulus. "Sini, Nak, istirahat dulu. Bunda bangga banget sama kamu! Acara tadi sukses besar!"
Arlano, dengan santai menyesap kopinya, menyapa Fresha dengan anggukan kepala dan senyum ramah. "Keren banget tadi acaranya, Fresha! Lo emang pantas jadi idola!"
Di atas meja kayu yang reyot, tersaji berbagai jajanan khas Desa C yang menggoda: getuk lindri yang manis legit, cenil yang kenyal dengan guyuran gula merah, dan pisang goreng dengan taburan meses yang renyah. Aroma makanan itu seolah mengajak untuk berbagi kebahagiaan bersama.
Fresha duduk di kursi kosong, merasakan kelelahan di tubuhnya perlahan menguap bersama hembusan angin senja. Suasana hangat dan penuh cinta di teras rumah Bunda Fatma adalah energi terbaik untuk mengisi kembali semangatnya. Di sini, di tengah orang-orang yang selalu mendukungnya, Fresha merasa benar-benar diterima dan dicintai.
Fresha menikmati getuk lindri yang manis legit, senyumnya mengembang saat merasakan tekstur kenyal cenil yang berlumuran gula merah. Namun, kebahagiaan itu sirna seketika saat sebuah suara menyapa telinganya.
"Masih ingat gue?" tanya Arlano. Nada suaranya tidak seperti dulu, tidak ada kesan tengil atau mengejek. Suaranya terdengar rendah dan berat, seolah menyimpan beban yang besar. Matanya menatap Fresha lekat-lekat, mencari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ingatan.
Senyum Fresha memudar. Ia mendengus sinis, namun ada getaran kecil dalam suaranya. "Gimana gue bisa lupa sama lo? Lo kan... lo kan selalu ada di setiap mimpi buruk gue."
Arlano tersentak mendengar jawaban itu. "Fresha..."
"Lo cowok cerewet yang kerjaannya ngadu. Untung aja lo anak Tante Cia, sahabat Mama," lanjut Fresha, suaranya semakin sinis. "Untung aja. Kalau enggak, mungkin gue udah ngilangin lo dari muka bumi ini."
Arlano menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. "Gue jahat sama lo? Lo yang jahat, Fresha! Lo gak pernah ngerti apa yang gue rasain!"
"Oh ya? Apa yang lo rasain? Kasihani diri sendiri karena gue gak suka sama lo? Karena gue gak mau jadi boneka lo?" Fresha bangkit berdiri, matanya berkilat marah. "Lo gak tau apa-apa, Arlano! Lo gak tau apa yang udah gue lewatin!"
"Gue tau! Gue tau lo benci sama gue! Gue tau lo nyalahin gue atas semua yang terjadi!" Arlano ikut berdiri, suaranya meninggi. "Tapi gue gak pernah nyuruh Mama lo buat..." Arlano berhenti bicara, menyadari kesalahannya.
Fresha terdiam, napasnya tercekat. Matanya membelalak, menatap Arlano dengan tatapan terluka. "Lo... lo tau?"
Arlano menundukkan kepalanya, menyesali kata-katanya. "Gue gak seharusnya ngomong itu. Maaf, Fresha."
"Jadi, lo tau?" Fresha mengulangi pertanyaannya, suaranya bergetar hebat. "Dan lo diem aja selama ini? Lo biarin gue hidup dengan semua kebencian ini?"
Arlano tidak menjawab. Dia tidak sanggup menatap mata Fresha yang penuh dengan rasa sakit dan pengkhianatan.
Fresha tertawa hambar, air mata mulai mengalir deras di pipinya. "Lo sama aja kayak mereka. Lo semua sama aja."
Fresha berbalik dan berlari meninggalkan teras, meninggalkan Arlano yang terpaku di tempatnya, menyesali kata-kata yang telah menghancurkan segalanya. Suasana senja yang tadinya hangat dan penuh cinta kini terasa dingin dan mencekam, diwarnai oleh luka lama yang kembali menganga.
Suasana senja yang tadinya hangat dan penuh cinta kini terasa dingin dan mencekam, diwarnai oleh luka lama yang kembali menganga.
Senja yang tadinya indah, kini terasa menyesakkan. Fresha berlari, meninggalkan teras rumah Bunda Fatma yang mendadak menjadi medan perang.
Lidia terhuyung, nyaris jatuh jika Gea tidak sigap menahannya. Wajah Lidia pucat pasi, matanya nanar menatap kepergian putrinya. "Fresha..." lirihnya, suara yang nyaris tak terdengar di antara desiran angin senja. Hatinya hancur melihat putrinya terluka, namun ia tak tahu bagaimana cara menghentikan itu.
Arlano membeku, kata-kata Fresha menghantamnya bagai palu godam. Rasa bersalah dan penyesalan menyesakkan dadanya. Dia ingin mengejar Fresha, tapi kakinya terasa terpaku di tanah. Ia tahu, ia telah melakukan kesalahan besar.
Akbar mengepalkan tinjunya, amarah membara di matanya. Tanpa sepatah kata pun, dia menghampiri Arlano, menatapnya dengan tatapan membunuh. "Kalau lo berani nyakitin Fresha lagi," desisnya rendah, "gue gak akan segan-segan bikin perhitungan sama lo." Setelah mengucapkan ancaman itu, Akbar berbalik dan bergegas menyusul Fresha. Ia harus memastikan Fresha baik-baik saja, dan ia bersumpah akan melindungi Fresha dari siapapun yang berani menyakitinya.
Zheshe terisak, air mata membasahi pipinya. Dia tidak menyangka pertengkaran kecil bisa berujung pada luka yang begitu dalam. Dia memeluk Gea erat, mencari di tengah kekacauan emosi yang melanda. Ia merasa bersalah karena tidak bisa mencegah pertengkaran itu, dan ia takut luka ini akan menghancurkan hubungan mereka.
Bunda Fatma menghela napas panjang, wajahnya dipenuhi kerutan kekhawatiran. Dia mendekati Arlano dan menepuk pundaknya pelan. "Sudah, Nak," ujarnya lembut, "semua orang pernah melakukan kesalahan. Sekarang, yang penting adalah bagaimana kamu memperbaikinya." Kemudian, dia menghampiri Lidia, merangkulnya dengan penuh kasih. "Lidia, sabar ya, Nak. Fresha kuat. Dia pasti bisa melewati ini. Kita semua akan membantunya." Ia berharap, kekuatan cinta dan kebersamaan bisa menyembuhkan luka-luka ini.
Di teras itu, senja semakin kelam. Luka lama telah terbuka, mengancam untuk menelan semua kebahagiaan yang ada. Masing-masing dari mereka terdiam, larut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Pertanyaan besar menggantung di udara: Bisakah mereka menyembuhkan luka ini? Bisakah mereka menyelamatkan Fresha dari yang menghantuinya? Atau, apakah senja ini adalah awal dari akhir segalanya?
Senja telah berlalu, meninggalkan langit yang berdarah dan hati yang terluka. Arlano menyeret langkahnya kembali ke rumah sewaan tetangga Bunda Fatma, setiap langkahnya terasa seperti tusukan belati di ulu hati. Kata-kata Fresha adalah hantu yang terus mengejarnya, menghukumnya atas dosa masa lalu yang tak bisa diubah.
Di dalam rumah, Fresha meringkuk di pojok kamar Zheshe, tubuhnya bergetar hebat seperti daun yang diterpa badai. Zheshe berusaha memeluknya, namun Fresha menolak, merasa jijik pada dirinya sendiri. "Jangan sentuh gue," bisiknya parau, "gue kotor... gue penuh dengan kebencian..."
Di dapur, Lidia dan Gea berusaha menyiapkan makan malam, namun pisau di tangan Lidia bergetar hebat, nyaris melukai dirinya sendiri. Gea menatapnya dengan cemas, tahu bahwa Lidia sedang berperang dengan iblis dalam dirinya. Aroma masakan yang biasanya menghangatkan hati kini terasa seperti racun yang siap membunuh kebahagiaan mereka.
Di ruang tamu, Akbar menyambut para tamu dari luar kota dengan senyum palsu yang menyakitkan. Mereka datang membawa tentang Sha yang telah tiada, sementara di dalam rumah ini, Sha yang baru sedang berjuang untuk menemukan jati dirinya. Akbar merasa seperti seorang penipu, menyembunyikan kebenaran di balik topeng kesopanan.