“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tak tau malu?
Pagi itu matahari sudah tinggi, tapi suasana di rumah Andi terasa suram dan penuh tekanan.
Angin pagi membawa bau tak sedap dari dapur yang kosong — tak ada aroma masakan, tak ada suara riuh seperti dulu.
Tiba-tiba suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Tiga pria berbadan besar turun, mengenakan jaket kulit dan kacamata hitam.
Salah satunya mengetuk pintu dengan keras.
“Tok! Tok! Tok! Andi! Cepet keluar! Ini kunjungan kedua, jangan bikin kami marah!”
Andi yang baru keluar dari kamar langsung pucat pasi. Bu Marni yang duduk di kursi rotan ikut menatap cemas.
“Siapa, Di?!” tanya Bu Marni dengan nada takut.
“Rentenir, Bu…,” jawab Andi lirih sambil menghela napas panjang.
Ia membuka pintu dengan wajah tegang.
“Ada apa lagi, Pak? Saya kan sudah bilang—”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, salah satu pria itu langsung menyodorkan kertas tagihan.
“Bilang-bilang apa?! Udah sebulan lewat! Ini tagihan atas nama Marni binti Warto, totalnya seratus empat puluh tujuh juta tujuh ratus ribu. Sekarang bayar sebagian kek, jangan cuma janji manis!”
Bu Marni langsung berdiri gemetar.
“Saya nggak pernah minjem uang, Pak! Saya bahkan nggak punya HP buat daftar pinjaman!” serunya panik.
Pria itu hanya tertawa kasar.
“Ibu mau ngelak juga percuma, semua datanya lengkap! KTP, KK, bahkan ada nomor rekening Andi ini yang dipakai buat transaksi. Nih, lihat!” katanya sambil menunjukkan layar ponsel.
Andi membeku, matanya menatap layar itu — benar, nomor rekening yang tertera adalah miliknya.
“Tapi saya… saya nggak pernah pakai buat pinjaman sebesar itu, Pak. Saya juga korban, saya nggak tahu siapa pelakunya.”
“Ah, alasan basi! Kami cuma tahu satu: bayar!” bentak pria yang lain, menatap Andi tajam.
“Kalau hari ini nggak setor, rumah ini bisa kami datangi tiap hari. Jangan salahin kami kalau tetangga tahu kalian maling uang pinjol.”
Andi menelan ludah, pelipisnya berkeringat.
Ia lalu masuk ke kamar, mengambil kaleng kecil dari lemari pakaian — satu-satunya tabungan yang ia miliki.
Dibukanya kaleng itu, hanya berisi beberapa lembar uang lusuh.
Ia menatap Bu Marni pasrah.
“Cuma ini yang aku punya, Bu… dua juta tujuh ratus ribu. Kalau nggak dikasih, bisa-bisa mereka bikin malu.”
Dengan wajah sedih, Andi menyerahkan uang itu kepada para rentenir.
Pria itu menghitung cepat, lalu mendengus.
“Cuma segini? Ya udah, anggap ini bunga bulan lalu. Tapi ingat, minggu depan kami balik lagi! Kalau nggak ada uangnya, siap-siap barang disita!”
Mereka pun pergi dengan tawa sinis, meninggalkan debu di depan rumah.
Andi terduduk di lantai, wajahnya pucat, napasnya berat.
“Dua juta tujuh ratus… itu semua yang aku punya,” gumamnya lirih.
Melati, adik kecilnya, mendekat dengan mata berkaca-kaca.
“Mas… aku lapar. Dari pagi belum makan…” rengeknya pelan.
Andi menatapnya sedih.
“Sabar ya, Dik… Mas nanti cari makan dulu.”
Tapi sebelum ia sempat berdiri, Bu Marni yang dari tadi diam tiba-tiba meledak marah.
“Kamu ini gimana sih, Di?! Masa kamu kasih semua uang ke orang nggak jelas itu?! Terus kita makan apa?! Kamu mau bikin emakmu mati kelaparan?!”
Andi bangkit, matanya merah karena emosi.
“Bu, itu uang terakhir! Kalau nggak aku kasih, mereka bakal ribut di depan rumah, malu sama tetangga!”
“Biarin! Mending aku malu daripada kelaparan begini! Kamu itu anak nggak berguna, Di! Nggak bisa kerja, nggak bisa nyari uang, sekarang malah buang-buang tabungan!” teriak Bu Marni sambil memukul meja.
Andi menatap ibunya tajam.
“Bu! Saya udah berusaha! Saya kerja serabutan tiap hari buat bayar utang yang bahkan bukan saya yang buat! Sekarang malah saya yang disalahin?!”
“Kalau bukan kamu, siapa lagi yang tanggung jawab?! Nama aku yang dipakai! Aku bisa dipenjara, Di!” bentak Bu Marni, wajahnya memerah.
Melati mulai menangis ketakutan.
“Udah, jangan berantem… aku takut…”
Andi menatap adiknya, lalu menghela napas berat.
“Sudahlah, Bu. Mau saya gimana pun, tetap saya yang salah. Tapi tolong, berhenti nyalahin saya terus. Saya juga capek, Bu.”
Bu Marni masih menggerutu sambil menepuk dadanya, wajahnya kusut dan lelah.
Sementara Andi terduduk di lantai, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditutup para rentenir.
Beberapa saat berlalu sebelum Bu Marni akhirnya membuka suara dengan nada getir.
“Andai aja Rani masih di sini…,” ucapnya pelan tapi penuh nada menyindir.
Andi menoleh pelan, menatap ibunya dengan mata sayu.
“Maksud Ibu apa?” tanyanya lemah.
Bu Marni menatap Andi tajam, suaranya meninggi.
“Kalau Rani masih di rumah ini, kita nggak bakal segini susahnya! Dulu tiap bulan dia bawa pulang uang gajinya, beliin beras, bayarin listrik, air, semuanya beres! Sekarang? Lihat! Kita kelaparan, ditagih utang, dan kamu cuma bisa duduk ngeluh!”
Andi mengepalkan tangannya.
“Bu… jangan ngomong gitu. Rani udah nggak ada hubungannya sama kita lagi. Lagian yang bikin dia pergi juga karena kelakuan kita sendiri.”
Bu Marni berdiri dengan wajah merah padam, nadanya meninggi penuh amarah.
“Kelakuan kita?! Kamu pikir aku nyesel Rani pergi?! Yang aku seselin cuma satu, kenapa dulu nggak aku tahan dia lebih lama! Setidaknya kita masih bisa manfaatin gaji dia buat nutupin hutang ini!”
Melati menatap ibunya dengan bingung,
“Bu… masa Ibu ngomongnya gitu sih? Kak Rani udah banyak nolong kita…”
Tapi Bu Marni menatap anak bungsunya itu tajam.
“Kamu diam, Mel! Kamu nggak tahu apa-apa! Sekarang kita ini lagi butuh uang, bukan belas kasihan! Kalau Rani masih kerja, ya harusnya dia tanggung jawab juga sama keluarga mantannya!”
Andi berdiri, wajahnya memerah antara lelah dan marah.
“Bu! Rani udah bukan istri aku lagi! Dia udah bebas dari keluarga ini! Gimana Ibu bisa ngomong mau manfaatin dia lagi?!”
Bu Marni melipat tangan di dada, menatap Andi dengan pandangan dingin.
“Kalau kamu nggak berani, biar Ibu aja yang ngomong! Ibu yang bakal datang ke rumah Rani, minta uang langsung! Dia masih punya hati nurani kan? Masa iya tega liat mantan suami sama mantan ibu mertuanya kelaparan?!”
Andi menggeleng tak percaya.
“Bu, tolong jangan! Jangan bikin malu lagi, Bu! Rani udah cukup banyak menanggung penderitaan gara-gara kita!”
“Kamu pikir aku peduli sama harga diri?! Harga diri nggak bisa dimakan, Di! Hutang numpuk, perut lapar, listrik bentar lagi diputus, dan kamu masih mikirin gengsi?!” bentak Bu Marni keras, membuat Melati kembali terisak.
Andi menunduk, wajahnya tenggelam dalam keputusasaan.
Ia tahu ibunya sedang terdesak. Tapi mendengar niat Bu Marni untuk mendatangi Rani membuat dadanya sesak.
Rani sudah menderita cukup lama karena mereka… dan kini ibunya ingin menyeret wanita itu lagi ke dalam masalah yang bukan salahnya.
“Bu… tolong. Jangan cari Rani lagi,” kata Andi pelan, suaranya bergetar.
“Kalau Ibu masih punya sisa rasa malu… biarin dia tenang. Aku yang akan cari jalan keluar buat semua ini.”
Bu Marni menatapnya sinis, lalu mendengus keras.
“Jalan keluar?! Kamu bahkan nggak tahu besok mau makan apa! Udah lah, Di… kalau kamu nggak mau, Ibu yang bakal datang sendiri. Mau Rani suka atau nggak, dia tetap pernah jadi bagian dari keluarga ini, dan Ibu bakal minta bagian yang seharusnya jadi hak Ibu!”
Andi menatap ibunya dengan wajah kaget dan marah.
“Bu… jangan berani-berani, Bu! Kalau Ibu nekat ke rumah Rani, jangan salahin aku kalau aku nggak mau ikut campur lagi!”
Tapi Bu Marni hanya berjalan ke dalam kamar sambil menggerutu.
“Bodoh! Anak nggak tahu diri, nggak bisa mikir! Ibu sendiri yang bakal beresin semuanya!”
bukan ada apanya🤲🤲🤲