Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH SEMBILAN : KAKU DAN MEMBOSANKAN
“Sudah kuduga,” gumam Gita. “Kenapa kalian tidak bersedia menjelaskan apa pun padaku?”
“Tidak ada yang perlu kami jelaskan,” sahut Wira tenang.
“Itu merupakan jawaban terlucu yang Mas Wira berikan.”
Wira menatap lekat Gita. Dia tahu gadis itu kesal dengan jawabannya. “Mandala juga tidak mengatakan apa-apa. Itu berarti, dia menganggap kamu tak perlu mengetahui apa pun.”
“Ya, tapi kalian mengekangku.”
Wira tersenyum kalem. “Bukan mengekang. Itu hanya … um … apa namanya, ya?” Pengusaha tampan itu berlagak seolah tengah berpikir keras.
“Ayolah. Usiaku sudah 23 tahun.”
“Ya, dan kamu terlihat sangat menggemaskan,” goda Wira, diiringi tawa pelan. “Saya sudah menginjak kepala empat.”
“Apakah Mas Wira sudah menikah?”
“Saya ….” Belum sempat menjawab pertanyaan Gita, telepon genggam Wira berdering. “Maaf. Sebentar.” Pria itu langsung beranjak dari duduk, setelah melihat nama pemanggil. Dia menjauh dari tempat Gita berada.
Gita tidak merasa tersinggung. Dia tahu itu pasti pembicaraan pribadi yang tak harus diketahui orang lain. Namun, dalam kesendirian itu, Gita jadi memikirkan sesuatu tentang Wira dan Mandala.
Beberapa saat kemudian, Wira telah selesai berbicara di telepon. Dia kembali ke dekat Gita. “Tidurlah di sini,” ucapnya.
“Kenapa?”
“Kamar di sini pasti jauh lebih nyaman.”
Gita menautkan alis mendengar ucapan Wira.
“Saya harus pergi,” ucap Wira kemudian.
“Maksudnya?” tanya Gita tak mengerti.
“Saya harus pulang. Saya harap, kamu tidur di sini karena sekarang sudah terlalu malam.”
“Tapi ….”
“Tidak ada kata ‘tapi’.Besok pagi saya akan kemari. Jadi, tetaplah di sini.” Wira tersenyum kalem. Tanpa sungkan, dia mengecup kening, lalu mencium bibir Gita. Meski hanya sesaat, tapi cukup membuatnya merasa tenang.
“Sudah ada makanan di meja. Jika ingin yang lain, pesan saja lewat layanan kamar.”
Gita hanya tersenyum, tak tahu harus berkata apa. Meski sedikit bingung karena akan ditinggal sendiri di sana, tapi anehnya dia tak bisa menolak. Apakah Gita mulai memberikan harapan kepada Wira dan melupakan Mandala?
Kenyataannya, malam itu Gita tak dapat memejamkan mata. Padahal, dia berbaring di kasur empuk dengan bantal dan selimut berlapis bahan lembut. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.
Rupanya, tak hanya Gita yang merasakan kegelisahan. Mandala pun demikian. Pria berambut gondrong sebahu tersebut masih terjaga. Bukan karena suara dengkuran Arun yang sangat mengganggu, tetapi ada hal lain yang lebih dari itu.
Embusan napas berat meluncur dari bibir Mandala. Dia mencoba memejamkan mata. Namun, paras cantik Gita selalu saja hadir dan membuatnya kembali terjaga.
Lain Gita, lain Mandala. Lain juga dengan Wira. Dia termenung seorang diri di kamar bernuansa khas era kolonial yang elegan.Tatapan Wira tertuju pada seorang wanita yang terlelap di tempat tidur. Begitu tenang dan nyenyak, seakan tak ada beban apa-apa.
......................
Sepertinya, pagi datang terlalu cepat. Gita yang baru tertidur selama beberapa jam, dipaksa membuka mata karena cahaya mentari membuatnya silau. Semalam, dia lupa menutup tirai berhubung terlalu banyak memikirkan sesuatu yang tak ada ujungnya.
“Ah ….” Gita menguap cukup panjang. lalu memeriksa beberapa pesan yang salah satunya dari Ratih.
[Kamu di mana, Git? Mau pulang jam berapa?]
Di balik segala ketidaknyamanan dalam hidup Gita, setidaknya dia masih bisa bersyukur karena memiliki sahabat yang sangat perhatian seperti Ratih. Padahal, mereka baru kenal dari semenjak bekerja di warung nasi.
[Aku akan pulang sebentar lagi.]
Tak menunggu balasan dari Ratih, Gita bergegas turun dari tempat tidur. Setelah merapikan selimut dan bantal. dia langsung masuk ke kamar mandi.
Walaupun Wira mengatakan akan datang lagi ke sana, tetapi pria itu tak juga terlihat batang hidungnya. Entah lupa atau ada alasan lain yang membuatnya tak menepati ucapan semalam.
Gita tidak ingin membuang waktu dengan terus berdiam diri. Dia memutuskan pergi dari sana. Selain itu, Gita juga harus memastikan keadaan Mandala yang masih memerlukan perhatian lebih dalam masa penyembuhan.
Tak peduli dengan aturan yang berlaku. Lagi pula, Rais tengah mendekam di sel tahanan. Di sana tak ada lagi mandor yang merasa berkuasa atas semua orang.
Gita melangkah penuh percaya diri membawa kresek di tangan kanan. Tanpa memedulikan sekeliling, gadis itu langsung menuju bedeng tempat Mandala berada.
“Mas,” panggil Gita, seraya mengetuk pintu.
Tanpa harus menunggu lama, Mandala segera membukanya.
“Selamat pagi menuju siang,” sapa Gita hangat, disertai senyum manis.
“Hai,” balas Mandala biasa saja. Dia membuka pintu cukup lebar, mempersilakan Gita masuk.
“Apa pendapat para pekerja tentang kondisi Mas Maman sekarang?” tanya Gita, setelah meletakkan barang bawaannya di lantai.
“Entahlah. Mungkin mereka senang karena Rais tidak ada di sini,” jawab Mandala seenaknya.
“Mas Maman bukan tumbal, kan?” kelakar Gita.
“Kamu pikir, manusia penuh dosa sepertiku bisa dijadikan sebagai tumbal?” Mandala menatap aneh. Nada bicaranya pun terdengar serius.
Gita yang awalnya hendak mengajak bercanda, seketika tersadar. “Mas Maman terlalu serius dalam segala hal. Apakah itu tidak melelahkan?”
“Aku sudah terbiasa seperti ini.”
“Ya, tapi …. Kata orang, banyak tersenyum dan tertawa akan membuat kita awet muda.”
“Seperti apa? Seperti ini?” Mandala memaksakan tersenyum. Terlihat benar-benar kaku dan aneh.
“Ya, sudah. Jangan dipaksakan.” Gita menggeleng pelan, lalu mengalihkan perhatian pada kresek berisi makanan yang dibawanya. “Sarapan dulu, Mas,” ucap gadis itu, seraya mengeluarkan isi dari kresek tadi.
Namun, Mandala tidak menanggapi. Dia hanya menatap lekat Gita. Entah apa yang membuat pria itu betah berlama-lama memperhatikan gadis yang selalu ditolak, sekaligus diharapkan olehnya.
“Kenapa?” tanya Gita, setelah menyadari bahwa Mandala tengah memperhatikannya.
“Tidak ada,” jawab Mandala, seraya mengalihkan perhatian pada makanan yang disajikan Gita. “Kamu tidak perlu merepotkan diri seperti ini,” ucapnya datar.
“Aku tidak mendengar apa yang Mas Maman katakan,” balas Gita, sok bersikap tak acuh.
“Baiklah. Aku bicara pada nasi kuning ini,” ujar Mandala, seraya mengambil sendok, lalu makan.
Gita hanya mengu.lum senyum mendengar ucapan konyol Mandala. Mungkin seperti itulah cara bercanda pria tampan tersebut, yang kaku dan selalu terlihat serius.
“Rasanya sangat membosankan,” ucap Mandala, setelah selesai makan dan minum obat.
“Tak lama lagi, Mas Maman akan segera pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa. Sabar saja dulu.”
“Jangan menyebutkan kata ‘sabar’ padaku. Aku pernah berada di situasi yang jauh lebih membosankan dari ini.”
“Mas Maman selalu membuatku serba salah. Apakah seperti itu caramu dalam berinteraksi dengan orang lain?”
“Seperti apa? Kamu merasa tertekan?”
“Tidak nyaman.”
“Itulah kekurangan yang belum bisa kuperbaiki. Omong-omong, maukah menemaniku ke suatu tempat?”
“Ke mana?” tanya Gita penasaran.