Aliya harus menelan pil pahit saat tunangannya ingin membatalkan pernikahan lalu menikahi Lisa yang tak lain adalah adik kandung Aliya sendiri. Demi mengobati rasa sedih dan kecewa, Aliya memutuskan merantau ke Kota, namun siapa sangka dirinya malah terjerat dengan pernikahan kontrak dengan suami majikannya sendiri. “Lahirkan anak untuk suamiku, setelahnya kamu bebas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shann29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34-Kepulangan Yang Menggores Luka
Suasana rumah yang dulu pernah menjadi tempat bertumbuh bagi Aliya kini terasa asing. Begitu kakinya menapak di teras, hatinya langsung diselimuti rasa getir. Cat dinding mulai kusam, debu menempel di jendela, dan halaman yang dulu rapi penuh bunga kini dipenuhi rumput liar. Semua tampak tak terurus. Ingatannya kembali ke masa lalu—saat ia setiap pagi menyapu halaman, menjemur pakaian, dan memastikan rumah selalu bersih. Sementara itu, adiknya, Lisa, hanya duduk bermalas-malasan di kamar sambil bermain gawai, dan ibunya, Dini, malah mendukung kebiasaan buruk itu.
Kini, semua kenyataan terpampang jelas di depan mata. Tanpa dirinya, rumah ini berubah menjadi tempat yang suram.
“Ayo kita masuk saja. Lebih baik kita duduk di ruang tamu.” Bimo menuntun Ayah Rudi yang duduk di kursi roda, lalu menoleh pada Aliya seakan memberi isyarat agar adiknya itu ikut masuk.
Aliya menghela napas panjang. Ia mengikuti langkah Bimo, sementara tangan Angkasa tak pernah lepas dari genggamannya. Suaminya itu seolah tahu betapa rapuh hati Aliya di detik ini.
Begitu memasuki ruang tamu, Aliya hampir tak percaya. Sofa yang dulu menjadi tempat keluarganya bercengkerama kini dipenuhi debu. Karpet tipis yang terbentang di lantai penuh noda, dan hiasan-hiasan dinding tampak kusam. Aliya merasakan sesak—bukan hanya karena kondisi rumah yang berantakan, tapi karena menyadari betapa berbeda kehidupannya kini dengan kehidupan yang pernah ia jalani di rumah ini.
“Maaf ya, Al. Rumahnya berantakan.” Suara lirih Ayah Rudi pecah di udara. Ada rasa bersalah di mata lelaki paruh baya itu.
Aliya tersenyum kecil, berusaha menahan air matanya. “Tidak apa-apa, Yah.” Namun sebelum ia sempat melanjutkan, Bimo menyelak dengan nada getir.
“Memang selalu berantakan, Yah. Sejak Aliya pergi, siapa lagi yang mengurus rumah ini? Lisa malas, Ibu pun selalu memanjakannya. Jadi ya beginilah.”
“Kak…” Aliya menoleh cepat, menatap Bimo dengan sorot mata yang memohon agar jangan memperkeruh suasana. Ia menggelengkan kepala pelan, memberikan peringatan halus.
Bimo mende-sah panjang, akhirnya memilih diam.
Mereka semua duduk di sofa yang berdebu itu. Angkasa duduk di sisi Aliya, sementara Ayah Rudi menatap mereka dengan wajah penuh tanda tanya. Pandangan lelaki tua itu terhenti pada perut Aliya yang membuncit.
“Al… kamu sedang hamil?” tanyanya dengan suara bergetar, antara terkejut dan tidak percaya.
Aliya mengangguk pelan. Senyum tipis tersungging di bibirnya. “Iya, Yah. Aliya sudah menikah. Dan ini…” Ia menggenggam tangan Angkasa. “Ini suami Aliya, Mas Angkasa.”
Angkasa segera menjabat tangan Ayah Rudi dengan sopan. “Ayah, panggil saya Kasa saja.”
“Jadi kalian sudah menikah?” Ayah Rudi menatap bergantian antara putrinya dan menantunya itu.
“Sudah, Yah. Delapan bulan yang lalu. Sekarang Aliya sudah mengandung lima bulan,” jawab Aliya dengan suara lembut.
Ayah Rudi terdiam lama. Ada segurat kesedihan di wajahnya—kesedihan karena ia tidak hadir menyaksikan putrinya menikah, karena ia tidak memberikan restu secara langsung. Namun lebih dari itu, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan. Anaknya yang dulu dipaksa menelan pahitnya pengkhianatan, kini berdiri tegak dengan suami yang terlihat begitu mencintainya.
“Maafkan aku, Yah…” suara Aliya bergetar. “Maafkan karena aku menikah tanpa meminta restu dulu. Aku pergi dengan keadaan hati hancur, aku bahkan tak sempat pamit dengan benar.”
Ayah Rudi mengulurkan tangannya yang gemetar. “Tidak apa-apa, Aliya. Yang terpenting, kamu bahagia sekarang. Ayah senang melihatmu tersenyum lagi.”
Air mata Aliya jatuh, namun senyum tetap terukir di wajahnya. “Ayah jangan khawatir, aku bahagia sekali, Yah. Mas Angkasa sangat baik padaku.”
Mereka sempat tenggelam dalam percakapan penuh kehangatan, namun suara sinis dari arah pintu tiba-tiba memecah suasana.
“Ayah langsung sembuh, ya, kalau lihat anak kesayangan Ayah pulang.”
Semua menoleh. Lisa berdiri di ambang pintu dengan wajah sinis. Ia bersedekap, matanya menelusuri sosok Aliya dari kepala hingga perut yang membuncit. Senyum sinisnya semakin mengeras.
Aliya berdiri, menampilkan sikap anggun meski hatinya teriris. Perutnya yang membuncit jelas terlihat di balik gaun sederhana namun elegan. Pemandangan itu membuat Lisa semakin iri. Hingga kini, meski sudah menikah dengan Haris, ia belum juga dikaruniai anak.
“Lisa,” suara Aliya terdengar tegas, berbeda dari nada lembut biasanya. “Sopanlah pada Ayah.”
Lisa mendengus, lalu melipat tangannya di dada. “Ayah itu merepotkan, Kak. Kalau Kakak begitu sayang sama Ayah, ya sudah, bawa saja Ayah pergi. Kami juga jadi tidak terbebani.”
Bimo yang sejak tadi menahan diri akhirnya ikut berdiri. “Kamu pikir gampang bicara begitu, Lis? Apa maksudmu menyuruh Aliya membawa Ayah? Biar kamu bisa menjual rumah ini lalu uangnya dihabiskan oleh suamimu yang tak tahu diri itu?”
Wajah Lisa memerah. “Suamiku bukan parasit, Kak! Mas Haris sedang membangun usahanya. Kalau usahanya berhasil, Ayah juga akan ikut menikmati hasilnya.”
“Usaha?!” Bimo hampir tertawa sarkastis. “Usaha apa yang kamu maksud? Usaha ternak sapi yang sudah mapan saja bangkrut karena ulah Haris. Tanah kita sudah berapa banyak yang dijualnya? Mana hasilnya? Satu sen pun tidak ada yang kembali!”
Ketegangan semakin memanas, hingga sebuah suara parau terdengar dari arah pintu. “Sudah.”
Semua menoleh. Ibu Dini baru saja masuk, pulang dari arisan. Matanya segera menangkap sosok Aliya yang berdiri anggun bersama pria asing yang tampak berwibawa.
“Aliya…” ucapnya lirih, seolah tak percaya.
Aliya segera menghampiri ibunya, menunduk dan mencium tangannya. “Aku pulang, Bu.”
“Bersama suamimu?” Mata Ibu Dini menatap Angkasa penuh rasa ingin tahu.
Aliya mengangguk, lalu menoleh pada Angkasa. Suaminya itu berdiri dan melangkah maju, menunduk sopan pada mertuanya.
Namun belum sempat Ibu Dini berkata banyak, Lisa kembali menyela dengan suara penuh racun. “Jangan-jangan hamil duluan, ya? Baru setahun pergi sudah tiba-tiba menikah.”
“Lisa!” bentak Ayah Rudi. “Jaga ucapanmu!”
Aliya menatap adiknya dengan mata berkaca-kaca, tapi ia memilih diam. Angkasa meremas tangannya lembut, memberi kekuatan.
Lisa hanya mendengus, wajahnya penuh rasa iri. Hatinya membara melihat Aliya kini memiliki suami tampan, mapan, dan sedang hamil pula. Semua hal yang ia dambakan justru dimiliki oleh kakaknya.
Ketegangan makin menjadi ketika Haris muncul dari kamar. Wajahnya sempat terperangah begitu melihat Aliya. Ia tertegun, matanya tak lepas dari sosok yang pernah ia khianati. Aliya tampak lebih cantik dari terakhir kali ia lihat. Bahkan kehamilan justru menambah aura keibuan yang membuat Haris semakin menyesal.
“Aliya… kamu pulang?” ucapnya, mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan senyum basa-basi.
Aliya mengacuhkannya, memilih tidak menjawab. Ia tidak ingin membuka percakapan dengan pria yang pernah menghancurkan hidupnya. Hatinya sudah milik Angkasa sepenuhnya, dan masa lalu hanya layak dikenang sebagai luka.
Lisa melihat interaksi itu dan hatinya semakin terbakar. Tanpa pikir panjang, ia menarik lengan Haris kasar lalu menyeretnya kembali ke kamar. Suara pintu dibanting keras menggema di rumah itu.
Ayah Rudi hanya bisa mengusap dada, berusaha menahan stres yang menumpuk. “Aliya… maafkan keluarga kita. Harusnya kepulanganmu membawa sukacita, bukan keributan seperti ini.”
Aliya duduk kembali di samping ayahnya, menggenggam tangan lelaki itu dengan lembut. “Jangan minta maaf, Yah. Aku pulang justru untuk menemani Ayah. Aku ingin Ayah tahu, aku tidak pernah benar-benar pergi. Hatiku selalu ada di sini.”
Ibu Dini akhirnya membuka suara. “Ibu akan menyiapkan kamarmu. Apa kamu menginap malam ini?”
Aliya menoleh cepat. “Tidak usah repot, Bu. Mas Kasa sudah menyewa villa dekat sini. Tapi aku ingin mengajak Ayah, Ibu, juga Kak Bimo ikut menginap bersama kami. Di sana lebih nyaman, Ayah juga bisa istirahat lebih baik.”
Angkasa memang menyiapkan sebuah vila, itu karena Angkasa tidak ingin Aliya tinggal seatap apa lagi sampai berinteraksi dengan mantan pacarnya. Angkasa melakukan hal itu katena cemburu namun Angkasa mengatakan jika alasannya karena sekalian berlibur.
Namun Ibu Dini langsung menggeleng. “Tidak bisa, Aliya.”
Aliya terkejut. “Kenapa, Bu?”
“Ibumu pasti memikirkan Lisa dan Haris,” sahut Ayah Rudi dengan nada getir. “Kalau Ibumu pergi, siapa yang akan memasakkan makan malam untuk mereka.”
Aliya menunduk, hatinya perih. “Bu… Lisa sudah berumah tangga. Biarkan ia mengurus dirinya sendiri. Bukankah tugas Ibu adalah mendampingi Ayah? Kenapa Ibu masih juga membela Lisa?”
Namun wajah Ibu Dini tetap kaku.
“Percuma, Al,” potong Bimo kesal. “Ibu tidak akan berubah. Lebih baik kamu bawa Ayah bersamamu ke villa. Biar Ayah tidak stres terus di rumah ini.”
Aliya terdiam, air mata menggenang. Ia menoleh pada Angkasa, dan suaminya mengangguk mantap. Dukungan itu membuat hatinya sedikit lebih tenang.
Ia tahu, jalan pulangnya kali ini bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga perjalanan hati—untuk kembali merajut yang retak, meski belum tentu semua bisa kembali utuh.
dapatkan dulu restu Daddy Angkasa,
nikahi Elara,baru bisa cap cip cup sepuasnya
Cemen...blom apa2 udah parno duluan
Jangan keburu lari klo masalahnya aja blom tentu pasti..
hadapi bersama sama
kurang kek nya hukuman kemaren