MOHON MAAF
TAHAP REVISI
Pernikahan siri antara Nirmala Wongso dan juga Seno Aji Prakoso membuahkan hasil seorang anak laki-laki yang tidak pernah diakui oleh Seno, karena ia takut keluarga besarnya akan tahu tentang aibnya yang diam-diam menikahi gadis pelayan di club malam.
Setelah dinyatakan hamil oleh dokter Seno mulai berubah dan menyuruh Nirmala untuk menggugurkan kandungannya jika masih tetap ingin menjadi istrinya.
Namun Nirmala memilih jalan untuk mempertahankan buah hati dan meninggalkan kemewahannya bersama dengan Seno.
Penasaran?? ikuti jalan kisah Nirmala yang penuh dengan lika-liku kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Alaska berlari cepat mendorong, brangkar bersama dengan para perawat, matanya merah padam menahan amarah, sorot lampu di koridor klinik menyilaukan, langkah mereka cepat membawa tubuh Airin yang sedang kritis.
"Cepat siapkan ruang operasi darurat!" suara Airin terdengar cukup tegas.
Pintu yang bertuliskan Ruang Operasi terbuka dengan cepat, memperlihatkan ruangan putih terang, dengan meja besi steril di tengahnya, lampu-lampu operasi menggantung keatas, bau antiseptik terasa begitu menyengat, membuat orang yang tak biasa menjadi pening.
Alula diletakkan di meja operasi, darah masih mengalir dari lengannya. Monitor tanda vital dipasang di dada dan jari, menghasilkan bunyi beep… beep… yang tidak stabil.
“Tekanan darah turun, cepat pasang infus kedua!” seru Airin sambil meraih sarung tangan steril.
Seorang perawat memakaikan baju operasi pada Airin dengan cekatan. Masker menutup wajahnya, hanya mata tegas itu yang terlihat penuh konsentrasi. Alaska berdiri kaku di sudut ruangan, tangan terkepal, wajahnya pucat melihat adiknya berjuang antara hidup dan mati.
“Alaska, kau harus keluar. Biarkan kami bekerja,” ucap Airin cepat, tanpa menoleh.
“Tapi ....,” suaranya pecah.
“Keluar!” tegas Airin. “Dia butuh dokter, bukan panikmu!” cetus Airin yang berusaha bersikap profesional.
Alaska mengeratkan rahangnya tatapannya begitu tajam, sejenak matanya menengok adik sedarahnya itu, ada guratan kesedihan dan penyesalan di wajahnya, lalu ia melangkah berat menuju koridor.
Di koridor, Nirmala terduduk di kursi besi dingin, wajahnya basah dipenuhi air mata, dari sorot matanya wanita itu jelas sekali merasa cemas dan khawatir dengan keadaan Alula, jemarinya terus bergerak, mengikuti irama bibirnya yang berbisik lirih dalam dzikir.
"Ya Allah sembuhkan dia," pintanya lirih.
Sementara Nadira menatapnya dengan tatapan sinis penuh dengan tuduhan dan kebencian. "Semua ini gara-gara kamu, dari dulu kau memang pembawa sial!" cetus Nadira dengan nada yang sedikit meninggi.
Dengan cepat Nirmala menggelengkan kepalanya, ia berusaha untuk membela diri di tengah-tengah tuduhan Nadira. "Tidak ... aku bukan pembawa sial seperti yang Mbak Nadira tuduhkan, anak Mbak datang sendiri ke tempatku, dan dia memang tahu rencana Mbak yang ingin mencelakaiku," sahut Nirmala.
Nadira semakin terpancing, sorot matanya melebar penuh dengan amarah. "Apa kau bilang ...." Nadira segera mengangkat tangan kanannya tapi dengan sigap Seno mencekal menahan tangannya.
Alaska selangkah lebih maju, melindungi ibunya dari amukan wanita dihadapannya itu. "Jangan coba-coba kasar dengan ibukku, dia bukan mainanmu nyonya Nadira, ibukku berbicara fakta, karena dia mendengar sendiri dari mulut anak anda!" cetus Alaska dengan tatapan sinis.
Kemudian Alaska beralih menatap Seno, seorang pria yang membuatnya hadir di dunia ini, namun untuk kali ini tatapan Alaska bukan seperti tatapan anak kepada ayahnya melainkan seperti seorang musuh bebuyutan.
"Dan anda ... dimana tugas anda sebagai suami," desis Alaskan dengan tatapan yang menusuk.
"Diam Alaska! Kau tidak berhak ikut campur dengan masalah pribadiku!" tegas Seno dengan nada tingginya.
Alaska menunduk, seketika hatinya bergetar, uluh hatinya terasa sakit, untuk pertama kalinya ia dibentak oleh seseorang yang seharusnya ia panggil dengan sebutan ayah.
"Oh ya, aku memang tidak berhak ikut campur terhadap masalah anda, tapi setidaknya, tuntun dia ke jalan yang benar, agar tidak menelan banyak korban," kata Alaska dengan senyum yang mengejek.
Suasana hening sejenak, Seno berusaha untuk menahan diri agar tidak terpancing dengan ucapan Alaska, ada rasa bersalah ketika ia membentak anak itu, anak yang besar dengan sendirinya tanpa sentuhan tangannya, Seno hanya bisa tersenyum getir meratapi ketidakberdayaannya.
Sementara Nirmala mengelus pelan lengan sang anak agar tidak terpancing amarah. "Sudah, jangan mudah terpancing, lebih baik kita berdoa yang terbaik untuk kesembuhan Alula.
Dan di balik ketegangan ini, dari dalam ruang operasi terdengar bunyi. beep ... beep ... beep ... begitu jelas, mengingatkan bahwa seseorang di dalam sana tengah berjuang melawan sakitnya.
☘️☘️☘️☘️☘️
Lampu operasi menyinari tubuh Alula yang pucat. Airin bekerja cepat, tangannya cekatan membersihkan luka dengan kassa steril. Monitor menunjukkan detak jantung yang melemah.
“Tekanan darah terus turun…! Kita butuh transfusi sekarang!” suara Airin lantang, penuh ketegasan.
Seorang perawat segera berlari ke luar membuka pintu ruang operasi. "Keluarga pasien siapa yang bisa transfusi darah golongan O."
Seno tercengang tak berdaya, ia memang memiliki darah yang sama dengan Alula namun karena sebuah riwayat penyakit yang pernah di deritanya pria itu tidak berani mengajukan diri. "Aku ayahnya Sus, dan darah kami sama," sahut Seno dengan lemas.
"Oh ya sudah Pak, kalau begitu kita ke ruang donor," ucap perawat itu dengan cepat.
Seno menggeleng dengan cepat. "Tidak bisa saya memiliki riwayat penyakit Hepatitis B," sahut Seno.
Perawat itu langsung menimpali. "Oh tidak bisa Pak."
Nirmala tercengang menutup mulutnya, pikirannya terus dihantui dengan rasa khawatir terhadap Alula. Sementara Nadira, terpaku lemas, ia tidak tahu harus berbuat apa di saat darah dibutuhkan dalam keadaan yang mendesak.
"Sus, tolong lakukan yang terbaik untuk anakku, apa tidak ada stok darah di klinik ini?" tanya Nadira dengan panik.
"Kebetulan stok darah golongan O di klinik kami sedang habis," sahut suster itu.
Alaska melangkah maju, dengan tegas ia mengatakan. "Saya mempunyai darah yang sama yaitu O positif."
Seketika suasana mencair, ketika Alaska bersedia mendonorkan darahnya untuk Alula, Seno tambah merasa bersalah, dengan keputusan Alaska yang begitu besar menyelamatkan nyawa anaknya.
"Nak ...," ucap Seno, nadanya sedikit tercekat.
Alaska sedikit menoleh, lalu ia membuang pandangan lagi. "Makasih ya," ucap Seno kembali.
Alaska hanya diam, ada guratan kesedihan di saat suara Seno memanggil namanya, hatinya tidak mudah menerima kesakitan yang dibuat oleh ayahnya sendiri.
"Sus ayo bawa aku ke ruang donor," ucap Alaska.
"Baik Lettu," sahut suster itu.
Alaska menoleh sekali lagi ke pintu ruang operasi yang tertutup rapat. “Bertahanlah, Dik… aku di sini.” Tatapannya penuh tekad, seolah rela menyerahkan apa pun demi Alula.
Sementara Seno terduduk lemas di kursi besi, wajahnya menutupi kedua telapak tangan. Untuk pertama kalinya ia merasa begitu tak berdaya sebagai seorang ayah, dan rasa bersalahnya terhadap anak pertamanya.
'Alaska maafkan Papi Nak ... Kamu benar Papi memang tidak becus menjadi seorang ayah, hanya demi jabatan yang mentereng, Papi rela melindungi istri yang tidak biasa itu,' ucapnya di dalam hati.
Sementara Nadira menatap sekilas ke arah suaminya, tatapannya sinis, seolah ia tahu dengan perubahan sikap suaminya. "Jangan pernah kau luluh hanya karena ia menyumbangkan darah untuk anak kita," bisik Nadira dengan lirih, namun mampu membuat hati Seno berkeping-keping.
"Jaga ucapan mu Nadira!" sentak Seno. "Kali ini aku tidak akan membiarkanmu, karena sikapmu yang seperti ini, hampir saja anakmu sendiri yang menjadi korban!" desis Seno tepat di telinga Nadira.
Kali ini Nadira terdiam, ada rasa takut, disaat hal yang tak terduga terjadi, seperti sekarang putri kesayangannya berada di ruang operasi gara-gara ulah liciknya sendiri.
Bersambung ....
Pagi Kakak ... Semoga suka