Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maafkan Aku, Jingga.
Malam menjelang, misi Savero mengikuti Jingga kini bermuara di kawasan padat penduduk yang kumuh, dimana rumah kontrakan Jingga berada.
Savero turun dari mobil, menutup pintu perlahan. Gang menuju rumah Jingga begitu sempit, bahkan motor saja harus saling mengalah bila berpapasan. Ia melangkah pelan, bersembunyi di balik tembok rumah tetangga, matanya tajam menatap ke arah rumah reyot dengan cat mengelupas itu.
Dan di sana… pemandangan yang tak pernah ia bayangkan membuat dadanya berdegup keras.
Jingga baru saja turun dari motor tuanya. Ia membuka helmnya perlahan, wajah dan badannya terlihat letih. Namun, tiba-tiba helm itu dirampas paksa oleh seorang pria paruh baya yang Savero kenali sebagai ayah Jingga.
BUUUGG!!
Helm itu menghantam kepala Jingga. Tubuh Jingga terhuyung, hampir jatuh.
“Jingga…” Savero refleks melangkah maju, tapi buru-buru menahan diri di balik tembok ketika melihat Jingga kembali berdiri. Tatapan gadis itu kosong, tanpa ekspresi.
“Bajingan!” pekik sang ayah dengan suara serak bercampur bau alkohol. “Darimana saja kau, hah?! Melacur di mana kau?! Seharian aku tungguin kau bawa uang, tapi jam segini baru balik! Mana duitnya, mana?!”
Beberapa tetangga sempat melongok. Ada yang berhenti sejenak, ada yang bergumam lirih. Tapi setelah itu mereka sibuk lagi dengan urusannya, seolah pemandangan seperti ini sudah jadi rutinitas.
Dengan perlahan, Jingga merogoh tas kecilnya. Tangannya gemetar, wajahnya datar. Ia mengeluarkan buntelan uang recehan yang diikat dengan karet, hasilnya bersusah payah dua hariini, lalu menyodorkannya.
Sang ayah merampas uang itu kasar, memicingkan mata, lalu menghitung cepat. “Cuma segini?! Hah? Cuma segini hasil kau melacur?! Bodoh! Dasar tidak berguna!” ludahnya muncrat, matanya merah penuh amarah. “Nikah sama orang kaya tapi gak dapet apa-apa, sekarang melacur pun kau tak bisa?!”
Savero menggertakkan gigi, dadanya naik turun menahan emosi. Apa tadi dia bilang? Melacur? Savero bahkan berani bersumpah demi apa pun kalau Jingga bekerja halal memeras keringatnya.
Seorang wanita paruh baya, ibunya Jingga, yang sejak tadi berdiri kaku di teras, akhirnya maju dengan wajah pucat. “Sudah, Pak… sudah… Jingga kan sudah menjual semua mas kawinnya. Semua uang dari mertuanya juga Bapak yang pakai…”
Savero terperanjat. Semua mas kawin? Semua uang pemberian orangtuaku… dipakai ayahnya? Jadi Jingga tak mendapatkan apa pun?
Tangan Savero terkepal, urat-uratnya menonjol. “Bangsat…” gumamnya rendah, penuh geram.
Namun ayahnya Jingga itu justru melotot, berbalik marah pada istrinya. “Diam kau! Memang kau pikir itu sebanding dengan apa yang sudah kita keluarkan buat membesarkan anak sialan ini?! Hah?!” Ia menoleh kembali pada Jingga, matanya merah, urat lehernya menegang. “Anak adopsi ini bikin kita kehilangan harta, bikin bisnis kita hancur! Bahkan anak kandung kita mati! Semuanya gara-gara dia!”
Savero seperti disambar petir. Anak adopsi? Jingga… anak angkat?
Ayahnya Jingga menoyor kepala Jingga berkali-kali, kasar. Jingga hanya diam, matanya kosong, bibirnya bergetar tapi tak ada kata yang keluar. Gadis itu tak membela diri, tak juga sekedar menjelaskan.
“Tidak berguna! Sialan!” Seolah belum puas, kini tamparan keras mendarat di pipinya, sekali, dua kali, tiga kali. Hingga hidung Jingga mengeluarkan darah.
“Cukup!!” Savero tak tahan lagi. Ia maju selangkah, wajahnya tegang. Namun, ia urung ketika beberapa bapak\-bapak tetangga berlari menghampiri.
“Pak, sudah! Jangan begini! Kasihan anaknya,” ujar seorang pria setengah baya, menahan tangan si ayah.
“Lepas! Jangan ikut campur!” bentaknya, masih berusaha meraih Jingga, untuk menghajarnya lagi
“Pak, cukup! Malu dilihat orang sekampung!” timpal tetangga lain.
Ibu Jingga menangis lirih, berusaha menarik lengan suaminya. “Sudah, Pak… cukup…”
Savero berdiri kaku, bersembunyi di balik bayangan tembok. Genggaman tangannya semakin erat hingga kukunya menancap ke kulit. Napasnya berat, matanya merah menahan amarah.
Di depan matanya, Jingga hanya berdiri tergugu. Darah menetes dari hidung, pipinya bengkak, tapi ia tetap diam. Tak ada air mata, tak ada protes, tak ada permohonan. Hanya tatapan kosong yang membuat dada Savero serasa diremas.
Untuk pertama kalinya, Savero merasa dirinya tak lebih dari pecundang.
Sebagai suami… ia gagal.
Sebagai manusia… ia merasa tak berguna.
Jingga… dengan segala tawa, canda, dan kecerobohannya, ternyata menyimpan luka yang begitu dalam.
Savero menunduk, suara rendahnya pecah. “Ternyata aku… yang paling bodoh. Aku yang tidak bisa melihat penderitaan di balik tingkah konyolmu, Jingga.” Ucapnya lirih.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Para warga sudah bubar, orang tua Jingga pun sudah menutup rapat pintu rumahnya. Langkah kaki Jingga terdengar berat di gang sempit itu. Motor bututnya sudah ia dorong ke teras rumah, helm digantung seadanya di stang, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal, pipinya masih merah lebam, hidungnya masih ada sisa darah, dan matanya masih menatap kosong.
Savero berjalan beberapa meter di belakang, pelan dan terukur agar langkahnya tak terdengar. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena takut ketahuan, tapi karena amarah dan iba yang bercampur di dadanya.
Jingga berjalan pelan, seakan setiap tapak kakinya menanggung beban berton-ton. Hingga ia berbelok, masuk ke jalan setapak yang lebih sunyi, menuju area rumah kosong dengan tembok tinggi menjulang. Tak ada siapa pun di sana.
Dan di situlah, tubuh mungil itu tiba-tiba melorot.
Jingga duduk berselonjor di tanah berdebu, punggungnya bersandar ke tembok. Tangannya menutupi wajah, bahunya terguncang hebat. Tangis yang berusaha ia tahan sekuat tenaga tadi akhirnya pecah, berubah menjadi isakan pilu dan lirih.
“Aaahh… aku capek… aku capek banget…” suaranya pecah di sela tangis. “Kenapa aku harus mengalami ini? Kenapa aku nggak boleh bahagia kayak orang lain?”
Savero berdiri kaku di balik pohon besar di dekat situ. Tenggorokannya tercekat, matanya panas. Ia ingin sekali keluar, berlari menghampiri, memeluk Jingga, menghapus air matanya. Tapi kakinya seakan terpaku ke tanah.
Jingga terus menangis, menendang tanah dengan kakinya, pelan tapi penuh putus asa. “Kenapa… kenapa aku harus membawa bencana buat mereka? Kenapa bukan aku yang mati saja? Kenapa harus anak mereka?” ujar Jingga setengah berteriak.
Savero meninju pohon itu berkali-kali, menahan diri agar tidak berteriak. Di dadanya, perih itu begitu menyesakkan.
“Jingga…” bisiknya lirih, meski ia tahu gadis itu tak bisa mendengar.
Jingga menurunkan tangannya, memperlihatkan wajah yang penuh air mata, bercampur darah kering di bawah hidung. Ia menatap kosong ke depan, lalu tertawa getir di sela isakannya.
“Lucu banget ya… sudahlah aku bawa sial buat orang tuaku, terus aku dinikahi tapi tak pernah diperlakukan seperti seorang istri, kenapa Tuhan benci sekali padaku? Apa salahku? Apa?!” Ucapnya penuh emosi, tapi lalu ia tersadar minta ampun banyak-banyak pada Tuhannya, “Astagfirullah… maaf Tuhan, maaf… aku cuma…. capek.”
Bahunya bergetar lagi, tangisnya pecah semakin keras. “Aku… nggak kuat. Aku pengen hilang aja…”
Savero menutup mata, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Aku di sini, Jingga… aku di sini…” suaranya tercekat, tekadnya sudah bulat untuk menampakkan diri.
Langkahnya terhenti setengah jalan ketika hampir maju mendekat.
“Aku benci kamu Savero! Sumpah aku benci banget! Seandainya kau tidak memperkosaku, pasti Mahesa sudah menikahiku, menyelamatkanku, membawaku pergi jauh. Tapi gara\-gara kau… semuanya kacau, semuanya berantakan!” Desis Jingga, tangannya bergetar hebat, mencengkeram ujung kaos gombrangnya sendiri, seolah mencari pegangan hidup.
Savero tertegun, mundur kembali ke tempat persembunyiannya. Hatinya mencelos, kata-kata Jingga menamparnya dengan hebat. Ia baru sadar, pernikahan itu bukan jadi solusi dari kesalahan fatal yang ia lakukan pada Jingga. Tidak, pernikahan itu hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Sementara gadis itu, masih harus menanggung semua bebannya sendiri, tak ada yang berubah.
Untuk pertama kali setelah sekian lama, ia mengucap, “Maafkan aku, Jingga.”.
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya