Harusnya, dia menjadi kakak iparku. Tapi, malam itu aku merenggut kesuciannya dan aku tak dapat melakukan apapun selain setuju harus menikah dengannya.
Pernikahan kami terjadi karena kesalah fahaman, dan ujian yang datang bertubi-tubi membuat hubungan kami semakin renggang.
Ini lebih rumit dari apa yang kuperkirakan, namun kemudian Takdir memberiku satu benang yang aku berharap bisa menghubungkan ku dengannya!
Aku sudah mati sejak malam itu. Sejak, apa yang paling berharga dalam hidupku direnggut paksa oleh tunanganku sendiri.
Aku dinikahkan dengan bajingan itu, dibenci oleh keluargaku sendiri.
Dan tidak hanya itu, aku difitnah kemudian dikurung dalam penjara hingga tujuh tahun lamanya.
Didunia ini, tak satupun orang yang benar-benar ku benci, selain dia penyebab kesalahan malam itu.~ Anja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atuusalimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 5, part 4
Reka mengangkat kepala dan melihat wanita yang tubuhnya kaku itu gugup, masih beberapa jam yang lalu saat ia diingatkan untuk tidak bertemu dengan Anja, tapi sekarang dia sedang berdiri dengan jarak tiga meter dari tempatnya kini.
Hatinya merasa was-was, akan kah gadis itu berteriak lagi?
Matanya yang bengkak memperhatikannya dengan dalam diam. Dia menangis seharian? Hatinya perih, mengingat kenyataan itu. Kalau saja ada kejuaraan tentang suami tak berguna didunia ini, barang kali dia akan jadi pemenagnya.
"A-aku maaf, emhh... aku tidak bermaksud..." Ia mencoba menjelaskan, namun otaknya bergerak lambat sehingga ia tak mampu untuk menyelesaikan kalimat yang ingin diucapkannya. Hasilnya, ia hanya bisa mematung sambil meremas wadah yang dipegangnya.
Anja berbalik tak peduli, mengambil sendok setelah berhasil menguasai diri.
Tangannya beralih pada bungkusan bakso yang sudah dipanaskan dalam panci kemudian menuangkannya pada mangkok yang sudah diambilnya tadi. Dia tak mengatakan apa-apa, namun aura permusuhannya dikibarkan lewat wajahnya yang dingin. Pada gadis itu, jelas ada dinding pembatas yang menjulang tinggi, sehingga jika seseorang memaksa masuk jelas akan terluka.
Reka masih mematung ditempatnya saat Anja membuang kantong plastik pada tempat sampah dibawah wastafel, melewati tubuhnya dan menghampiri meja makan. Suara kursi yang berderit terdengar nyaring, dari sudut matanya dia dapat melihat wanita itu duduk lalu mulai menikmati makanannya dengan santai, seolah ia tak melihat keberadaannya sama sekali.
Sebenarnya tadi juga Reka sudah berniat pergi, tapi setelah menit berlalu dan Anja tak memprotes keberadaannya diruangan itu, dia mulai berani mengambil langkah. Ia memberi perhitungan pada dirinya sendiri, jika Anja mulai menunjukan tanda-tanda penolakan ia akan pergi.
"Sebenarnya aku sudah pulang tadi, tapi mbak Erna nelpon mengatakan Kezia demam. Dia kelelahan, jadi tak bisa menjaganya. Mami juga darah tingginya suka kumat kalau misal kebanyakan begadang. Ja- jadi maaf kalau keberadaan ku membuatmu tak nyaman!"
Anja menghentikan suapannya sejenak, apa pria itu sedang berbicara kepadanya?
Dengan jarak yang lumayan jauh, sepertinya ia berhalusinasi, pikirnya dalam hati.
Wanita itu memasukan makanannya kedalam mulut kemudian mengunyahnya dengan hambar. Rasa laparnya benar-benar hilang semenjak tadi ia bertemu dengan pria itu.
"A-aku butuh air hangat buat kompres!"tambahnya masih juga terdengar gugup. Ia mencoba menjelaskan, takut kalau Anja menganggapnya sedang mencari perhatian walau sebenarnya hal itu termasuk karena memang dia berniat untuk mencoba berada disisi Anja dalam batas aman.
Menyadari suara itu nyata, mata Anja yang bengkak memperhatikan punggung pria yang kini sedang menadah air dari wastafel kedalam panci. Dia begitu hati-hati, seolah tubuhnya berada dalam situasi paling berbahaya. Tentu saja, pria dengan bahu lebar itu berpikir Anja bisa secara tiba-tiba meledak dan meneriakinya, jadi sedari tadi dia hanya menunduk tak berani walau hanya untuk sekedar menatap wajahnya.
Keberadaannya disini juga bertemu dengan Anja bukan disengaja, tapi memang situasinya mendesak dan ia tak punya pilihan selain mengambil resiko itu.
Suara kerucukan air membelah keheningan,
Kezia sakit? Anja membatin, lalu suara kompor yang dinyalakan terdengar. Reka sedang memanaskan air.
Menit berlalu dalam suara napas Reka yang ditahan, sampai suara serak milik Kezia memanggil.
"Papa!"
Anja mendongak, memperhatikan Kezia yang berdiri lemas di pintu ruang makan yang menyatu dengan ruang keluarga. Wajahnya pucat, sementara matanya tak lepas memperhatikan dirinya kini dengan berbagai macam emosi.
semangat kak author 😍