Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Lagi Yuk...
Dengan cepat pagi pun menjelang. Sang surya sudah bertahta di atas langit sana, memunculkan sinarnya yang hangat di ufuk, menciptakan seberkas sinar cahaya yang menerobos masuk melalui cela-cela gorden jendela yang tak tertutupi dengan sempurna.
Kemudian seberkas cahaya itu jatuh tepat di kelopak mata Armand, yang perlahan mulai tampak bergerak, sebelum akhirnya membuka dan menampilkan sepasang netra tajam yang langsung terarah ke langit-langit kamar.
Armand sudah ingin bergerak bangun, hendak membersihkan diri seperti rutinitas sehari-harinya yang selama ini memang tidak pernah bangun siang. Namun, baru saja hendak menyibak selimut yang menutup dari pinggang ke sampai ke kakinya, Armand merasakan ada yang menindih tangan kanannya, hingga membuatnya sedikit kesulitan untuk bergerak.
Begitu menoleh, senyum seketika merekah lebar di bibirnya kala melihat seorang gadis...
Ah salah, bukan gadis lagi, tapi kini sudah menjadi wanita seutuhnya setelah kemarin sore hingga tengah malam kemarin mereka habiskan dalam percintaan yang begitu menggelora, kini wanitanya itu berbaring meringkuk dalam pelukan, wajah yang sedikit ditutupi beberapa helai rambutnya yang panjang itu menempep erat di dadanya.
Bahagia sudah tak terkira lagi Armand rasakan. Hembusan napas wanitanya itu di dadanya, tidur Nissa yang tampak begitu pulas, serta wajah imut nan begitu cantik tanpa polesan make up, ditambah bibir yang terlihat jelas sedikit membengkak, entah mengapa malah justru membuat Armand merasakan kebahagiaan yang tak mampu dijabarkannya dengan kata-kata.
Kebahagiaan yang terus membuncah dalam dada itu membuat Armand dengan iseng menyibak perlahan selimut yang menutupi polos mereka.
Dan kemudian, saat tubuh polos nan molek yang terdapat bercak-bercak merah di beberapa bagiannya itu terpampang nyata di depan mata, Armand meneguk ludah kala merasakan hasr4tnya langsung terbangun saat itu juga.
Tanpa disadarinya, tangan Armand bergerak sendiri menuju pinggul ramping milik wanitanya yang masih tertidur pulas. Jemari telunjuknya dengan nakal bergulir, membelai lekukan yang membuat jagoan kecilnya bereaksi, berdiri tegak dan siap bertempur lagi.
"Aihhh... dasar mesum kamu tuh, junior. Sabar dikit napa sih. Kasian 'kan istri gemas masih tidur karena kecapek'an."
Tak sejalan dengan isi pikirannya yang memintanya untuk bersabar, jemari Armand kini malah bergulir ke arah perut. Kemudian, sambil memandangi wajah cantik nan menggemaskan, yang keningnya mengernyit karena terganggu dengan keusilan tangannya, Armand kembali menggerakkan jari telunjuk tangan kanannya hingga tepat berada di depan 'goa' kenikmat4n yang telah dijelajahinya sampai tengah malam kemarin.
"Eunghhh... " Nissa melenguh tanpa sadar dengan mata masih terpejam saat merasakan ada sesuatu yang perlahan menyeruak masuk ke dalam dirinya. Kepala istri Armand Rizaldi itu bergerak gelisah saat kembali merasakan area pangkal pahanya kini terasa penuh.
Dipaksa bangun dari tidur lelapnya membuat Nissa setidaknya ingin mengomeli siapapun yang sudah mengusik tidurnya. Tetapi, meski kedua matanya masih sayup dan kesadaran belum sepenuhnya ia dapatkan, saat menatap dada bidang tepat di depan matanya, Nissa bisa langsung mengingat akan kejadian tak terlupakan yang dialaminya.
Napasnya terhela berat saat perlahan Nissa mendongak untuk menatap pria yang menunduk dan menatapnya dengan sorot mata sama seperti kemarin, saat pria yang berstatus sebagai suaminya itu meminta untuk menyatukan kembali tubuh mereka.
"Mas... " lidah Nissa terasa keluh. Tatapan penuh hasrat tersebut membuat Nissa kembali teringat area sensitifnya di bawah sana yang terasa penuh. Malahan benda yang memenuhi dirinya itu bergerak keluar masuk dan membuatnya tak dapat menahan "Enghhh... "
Erangan yang keluar begitu saja dari bibir Nissa tersebut tak ayal menerbitkan senyum lebar di bibir Armand.
Tak mau membuang waktu, Armand segera bergerak, mendorong pelan bahu istrinya, membuatnya kini berbaring telentang, kemudian Armand memposisikan dirinya di atas tubuh mungil yang sangat menggoda itu.
"Main lagi yuk, Dek." ucap Armand seraya menarik sebelah kaki Nissa dan melingkarkannya di pinggangnya. "Pedang Mas yang tumpul tapi bisa bikin kamu enak, pengen masuk ke dalam 'sarungnya' lagi." imbuhnya dengan tatapan lapar mengarah ke sepasang bukit kembar, yang terdapat beberapa karya indah dari bibirnya di sana.
"Udah si... siang, Mas." Nissa mencoba mencari alasan untuk mengelak. Bukan karena tidak mau kembali mengarungi laut kenikmat4n bersama suaminya. Hanya saja area sensitifnya itu terasa nyeri, mungkin karena percintaan mereka yang berlangsung beberapa ronde.
"Masih sakit 'ininya'? tanya Armand tampak santai menyentuh bagian terluar dari goa kenikmat4n miliknya itu. Begitu melihat Nissa mengangguk dengan wajah bersemu merah, Armand terkekeh kecil dan dengan sengaja malah memasukkan jari telunjuknya ke sana. " Junior Mas harus sering-sering masuk ke dalam sini, sayang, supaya kamu terbiasa dan nggak lagi ngerasa sakit."
"Mas... " rengek Nissa malu dan tanpa sadar menepuk pelan lengan suaminya yang berada di dekat pinggul sebelah kirinya. "Jangan ngomong blak-blakan gitu, saya belum terbiasa." kini tak hanya wajah, semu merah juga menjalar ke seluruh tubuh wanita muda yang tampak begitu mungil berada di bawah tindihan suaminya itu.
"Harus dibiasakan, sayang." suara Armand terdengar serak. Pria yang nafsunya semakin sulit ditahan itu bahkan memasukkan satu jari lagi ke dalam lembah yang mulai terasa basah itu. "Oh iya, mulai sekarang, jangan guna'in lagi kata saya. Mas nggak suka dengar istri mas ngomongnya kayak ada batasnya begitu."
"Tapi... "
"Nggak ada tapi-tapi." Armand langsung memotong dengan sorot mata tak ingin dibantah. "Ini perintah dari suami kamu, jadi kamu harus nurut." tambahnya lagi dengan nada ngotot.
Nissa menghembuskan napas pasrah. Sejenak tadi ia sempat melupakan ada benda yang keluar masuk ke dalam dirinya karena teralihkan dengan percakapan mereka. Namun, kala merasakan adanya 'benda' keras dan besar perlahan mulai memenuhi dirinya, suara erangan Nissa kembali terdengar.
Lalu, setelah kedua tubuh berlainan jenis itu telah benar-benar menyatu, terikat erat dan tak ada jarak lagi yang memisahkan, suara erang4n saling bersahutan terdengar memenuhi kamar utama milik pengantin baru tersebut.
Tidak ada yang ditahan. Suara desah4n serta erang4n mengalun merdu, laksana musik yang menghipnotis, yang mengiringi tiap hentakkan, yang semula pelan hingga akhirnya menjadi cepat dan semakin cepat.
Armand sendiri bagaikan musafir yang baru saja menemukan sumber mata air yang bisa menghilangkan dahaganya.
Sesuai inginnya, Armand ingin mereka terus berada di atas tempat tidur dengan tubuh yang menempel, tak terpisahkan. Akan tetapi, keinginan tersebut sepertinya harus Armand tunda saat mendengar suara pintu rumahnya digedor, dan juga suara teriakkan dari seseorang yang sangat Armand hafal siapa orangnya.
*****
"Yaelah, Man, masam banget tuh muka. Calon adek ipar datang itu harusnya disuguhin senyum manis kek, air putih kek, atau ap... "
Bughhh...
Tinjuan yang cukup keras di bahu kirinya tersebut membuat apa yang hendak diucapkan Fandy terhenti. Bibirnya menyengir lebar saat melihat wajah sewot milik gadis yang membawa nampan kecil yang di atasnya terdapat segelas air putih.
"Enak aja main bilang calon adek ipar." Lala mendengus sambil meletakkan segelas air putih tersebut ke atas meja, tepat di depan pria yang sejak perjalanan mereka subuh tadi, terus saja melontarkan rayuan padanya. "Jangan ngasal deh kalau ngomong, Bang. Aku nggak mau ya, kalau sampai dicakar sama pacar-pacar Abang yang bejibun itu." tambahnya lagi seraya berdiri dengan niat ingin ke kamarnya untuk beristirahat sejenak.
"Ampun dah, La, jangan judes-judes begitu." Fandy seakan lupa ada sepasang mata yang menatapnya kesal. "Sama calon suami nggak boleh galak-galak, dosa nanti. Lagian, mana ada Abang pacarnya bejibun. Teman tidur banyak, tapi nggak ada yang bikin Abang sampe pengen nikahin dia, kayak niat Abang ke kamu." ujarnya dengan menaik turunkan kedua alisnya.
"Auh ah, malas ngomong sama Abang." timpal Lala yang sudah memutar badan, ingin menuju kamarnya. Namun, saat teringat keberadaan sang abang angkat yang duduk di sofa tunggal tak jauh darinya, Lala pun mengarahkan pandangannya ke arah pria yang sejak tadi wajahnya mengerut kesal itu seraya menanyakan, "Oh iya, Abang Juragan, dedek gemas kemana? Kok dari tadi nggak keliatan? Nggak biasanya dia bangun saat mataharinya udah tinggi begini."
"Masih tidur dia, kecape'an. Jadi jangan ganggu."
Jawaban yang terbilang singkat tersebut sontak saja mendapat siulan dari si usil Fandy. Sedangkan Lala, gadis itu langsung ngacir menuju kamarnya dan tak ingin lagi mendengarkan apapun pembicaraan antar lelaki atau kata-kata tanpa filter yang diucapkan oleh pria yang tak sadar usia itu.
"Wuihhh, Man, udah jebol gawang ternyata." Fandy tersenyum lebar melihat tatapan kesal dari sahabatnya yang baru saja menanggalkan status dudanya itu. "Gimana rasanya, Man? Rapet nggak? Bikin nagih dan pengen nambah terus dong, ya?"
Armand berdecak kesal. Untung saja saat ini hanya tinggal mereka berdua saja di ruang tamunya yang luas itu.
"Tadi sebelum kami datang, kalian pasti lagi tindih-tindihan, kan? Genj0tnya jangan terlalu keras, Man, soalnya masih pemula itu."
"Bisa ditutup nggak itu mulutmu, Fan? Atau mau aku yang nutupin pake vas bunga di sampingmu itu?" Armand berucap kesal. Meladeni mulut ember sahabatnya yang satu ini memang selalu berhasil mengikis kesabarannya.
"Nggak usah deh, Man, nggak tertarik soalnya sama benda mati." Fandy malah menimpali dengan niat bercanda. "Aku masih suka bibir atas sama bibir bawah yang rasanya kenyal-kenyal menghanyutkan. Apa lagi kalau bisa dapat peraw4n macam adek angkatmu itu, beuh pasti bahagia lah aku." imbuhnya lagi sambil membayangkan seraut wajah cantik yang selalu judes saat berbicara dengannya itu.
"Jangan suka asal kalau ngomong deh, Fan." Armand menggelengkan kepala, lelah melihat Fandy yang sepertinya memang memiliki ketertarikan terhadap adik angkatnya. "Memangnya kau yakin bisa hidup dengan cuma satu perempuan aja? Yakin kau bisa setia sama Lala?"
Pertanyaan di akhir yang diucapkan dengan nada serius serta tatapan tajam tersebut membuat Fandy untuk beberapa saat lamanya tak bersuara.
Dalam diamnya itu, Fandy mencoba mencari jawaban atas pertanyaan tersebut dalam hatinya.
Setelah merasa cukup yakin dengan jawaban dari isi hatinya, yang mana sudah dipikirkannya sedari Armand menanyakan pertanyaan serupa sewaktu mereka masih di desa, Fandy menatap sahabat yang telah menegakkan punggungnya itu.
"Aku memang nggak bisa menghapus jejak kelam kehidupan bebasku di masa lalu, Man. Aku juga nggak bisa menjamin kalau masa laluku itu nggak akan menyakiti Lala. Aku juga nggak bisa berjanji semuanya akan baik-baik aja jika seandainya dia bersedia menikah denganku." Fandy menghela napas guna menenangkan debaran jantungnya yang membuatnya kesulitan bernapas. "Tapi, yang bisa aku janjikan adalah, aku benar-benar mencintai adek angkatmu itu. Demi dia, aku akan berusaha memperbaiki diri agar pantas disebut sebagai suaminya."
Mendengar ketulusan serta tanpa keraguan dari setiap kata yang sahabatnya itu ucapkan, Armand akhirnya hanya bisa menghembuskan napas berat. Sembari menatap tepat ke sepasang mata Fandy, si usil yang katanya mau berubah, Armand berkata, "Kalau kau memang udah yakin, maka lakukanlah.Tapi aku nggak bersedia untuk menjadi mak comblang untuk kisah cinta kalian. Berusahalah untuk mengambil hatinya. Dan jika Lala akhirnya setuju menerimamu menjadi pendampingnya, maka aku juga akan merestui kalian."
Hembusan napas Fandy terdengar lega usai mendapat lampu hijau dari sahabatnya yang dari ekspresi wajahnya terlihat jelas sedang berbunga-bunga hatinya itu.
Sambil terus memikirkan langkah seperti apa agar dirinya bisa membuat si gadis incaran mau menerima cintanya, Fandy berharap, berdoa dalam hati, memohon agar jalannya untuk menggapai cinta dari sang pujaan hati berjalan lancar dan tanpa ada halangan yang berarti.