Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Korban Rasa Iri
Sore itu, hujan baru saja reda. Yuna keluar dari ruangannya sambil merapikan tas. Rizal yang kebetulan berdiri di dekat lift langsung menghampirinya.
“Aku antar pulang, ya?” Tanyanya singkat, nada suaranya jelas-jelas bukan permintaan.
“Nggak usah, Pak Rizal. Saya masih ada keperluan sebentar, nanti pulangnya bisa naik taksi.” Yuna menoleh, sedikit canggung.
Pak lagi?Hmmm... sabar. Kamu yang setuju untuk menunggu dan mengijinkan Yuna tetap profesional. Tapi saat ini kita hanya berdua. Gerutu Rizal dalam hatinya.
“Lagipula nggak enak kalau merepotkan bapak terus.” Yuna kembali bersuara.
Rizal menatapnya beberapa detik, seolah ingin membantah, tapi akhirnya ia hanya mengangguk tipis.
“Terserah.”
Namun sorot matanya menunjukkan ia sama sekali tidak setuju.
Yuna masuk ke lift, meninggalkan Rizal yang kini memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Rahangnya mengeras.
Begitu masuk ke ruangannya, ia langsung memanggil Kevin, asisten pribadinya.
“Kevin!” Suaranya terdengar tegas, hampir membentak.
Kevin yang sedang membawa setumpuk dokumen langsung masuk dengan wajah heran.
“Iya, Pak?”
“Kenapa laporan ini belum ada di mejaku dari tadi pagi?!” Rizal menunjuk map di tangan Kevin, padahal Kevin baru saja mencetaknya dari printer.
“Baru selesai diproses, Pak, dan ...”
“Alasan! Kalau semua orang di sini kerja pakai alasan, perusahaan ini sudah tutup dari kemarin!” Rizal membanting map itu ke meja.
“Baik, Pak. Saya perbaiki lagi.” Kevin menelan ludah, mengangguk cepat.
“Keluar!” Rizal menghela napas kasar, menatap Kevin tajam.
Kevin keluar sambil menggeleng kecil.
Waduh… pasti gara-gara ditolak nganterin pulang tuh, pikirnya.
Rizal bersandar ke kursinya, menutup mata sebentar. Entah kenapa, rasa kesal itu menumpuk hanya karena Yuna menolak perhatiannya. Dia tidak suka. Sama sekali tidak suka.
*****
Malam sudah larut di kediaman keluarga Danantara. Lampu kamar utama temaram, menciptakan suasana hangat. Bram Danantara duduk di tepi ranjang sambil membuka kancing baju kerjanya, sementara Wika, istrinya, sudah bersandar pada tumpukan bantal sambil memegang ponsel.
Namun, tatapan Wika tidak benar-benar tertuju pada layar ponselnya itu. Ia meletakann ponselnya pelan, lalu menoleh ke suaminya.
“Pa…” Suaranya lembut, tapi penuh arti.
“Hm?” Bram mengangkat wajah.
“Mama rasa… Rizal itu benar-benar menyukai Yuna.” Ujarnya hati-hati.
“Bukan cuma karena perjodohan atau kesepakatan keluarga.”
Bram tersenyum tipis, sedikit mengangguk.
“Papa juga melihatnya begitu. Anak itu, kalau sudah menatap seseorang dengan cara seperti itu… berarti dia serius.”
“Kalau memang begitu, kapan kita mulai bersiap-siap untuk pesta pernikahan mereka? Apa menunggu sampai semua keluarga besar dikabari, atau kita langsung tentukan tanggal?” Wika menghela napas kecil, lalu tersenyum.
Bram berpikir sejenak, mengusap dagunya.
“Kita lihat dulu. Yuna anaknya tidak mudah dibujuk. Papa tidak mau memaksanya. Tapi kalau memang Rizal bisa meyakinkannya…” Bram menatap Wika sambil tersenyum.
“Mungkin pernikahan itu akan lebih cepat dari yang kita duga.”
“Mama cuma ingin mereka bahagia. Rasanya… Yuna cocok sekali untuk Rizal. Entah kenapa hati ini yakin.” Wika mengangguk, matanya berbinar.
“Kalau feeling mama sudah bilang begitu, biasanya memang benar.” Bram meraih tangan istrinya, menggenggam erat.
Wika memandang ke arah Bram, matanya menunjukkan sedikit keraguan.
“Pa… ada satu hal yang dari tadi mengganjal di pikiran mama.”
Bram menoleh sambil merapikan selimut.
“Tentang apa?”
“Ziva.” Wika menarik napas panjang.
“Orang tuanya kan pemilik saham minor di perusahaan kita. Waktu itu… mereka sempat datang ke rumah, ingat? Mereka minta Rizal dijodohkan dengan Ziva karena katanya anaknya terus merengek.”
“Papa ingat.” Bram mengangguk pelan, ekspresinya tetap tenang.
“Mama jadi nggak enak hati, Pa. Kita memang nggak pernah janji, tapi mereka datang duluan. Kalau ingat tatapan Bu Ratna waktu itu… rasanya seperti mama menolak mentah-mentah.” Kata Wika sambil memeluk bantal di depannya.
Bram tersenyum tipis, lalu meraih tangan istrinya.
“Ma, dengar. Sebelum keluarga Ziva datang, papa sudah lebih dulu menjodohkan Rizal dengan Yuna. Keputusan itu sudah matang, bukan sesuatu yang bisa kita ubah hanya karena ada permintaan baru.”
“Tapi Pa…”
“Kalau papa mengubah keputusan hanya karena tekanan atau rasa sungkan, itu sama saja papa mempermainkan masa depan anak. Rizal punya hak untuk memilih dan papa yakin dia akan memilih Yuna. Lagipula…” Bram menatap Wika serius.
“Hubungan kerja kita dengan keluarga Ziva nggak akan rusak hanya karena ini. Kalau mereka benar-benar profesional, mereka akan mengerti.”
“Mama cuma takut Ziva makin keras kepala. Apalagi dia sudah terang-terangan menunjukkan kalau dia nggak suka Yuna.” Wika menunduk, masih bimbang.
Bram menghela napas.
“Kalau dia mengganggu Yuna di kantor, Papa sendiri yang akan turun tangan. Tapi soal perjodohan… itu sudah final.”
Wika mengangguk pelan, meski hatinya masih ada sisa cemas.
“Semoga saja semua berjalan lancar, Pa. mama nggak mau Yuna jadi korban rasa iri orang.”
“Selama papa ada, nggak akan papa biarkan itu terjadi.” Bram menggenggam tangannya erat.
*****
Pagi itu, di ruang makan keluarga Danantara, aroma kopi hitam dan roti panggang memenuhi udara. Bram duduk di ujung meja, memegang tablet yang biasa dia gunakan untuk bekerja, sementara Wika menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri.
Rizal turun dari tangga dengan wajah kusut, rambutnya sedikit berantakan seperti orang yang tidur gelisah semalaman. Dia langsung duduk tanpa banyak bicara, hanya menyendok bubur ayam yang sudah disiapkan oleh Mbok Sari.
“Mukamu itu… kayak orang habis kalah taruhan.” Bram melirik sekilas.
“Nggak ada yang kalah taruhan, Pah.” Rizal mendengus pendek.
“Ini soal Yuna, ya?” Wika ikut duduk, menatap anaknya lekat-lekat.
Rizal tidak langsung menjawab, hanya memainkan sendoknya di mangkuk. Tebakan Wika tepat sekali.
“Dia nolak diantar pulang semalam. Pesanku nggak dibalas sama sekali.”
Bram menaruh tabletnya di meja.
“Lalu?”
“Menurut orang yang aku suruh untuk pastikan… dia udah sampai rumah. Cuma sempat mampir ke apotek dulu.” Suara Rizal terdengar kesal sekaligus khawatir.
“Apotek? Dia sakit?” Wika menaikkan alis.
“Kemarin sempat kena tumpahan kopi panas. Aku belum sempat mengobatinya, karna Yuna terus menghindar. Dan itu yang bikin aku makin kepikiran.” Rizal menghela napas berat.
"Kamu itu gimana sih, Zal...?"
“Aku cuma nggak suka dia ngejauh kayak gini, apalagi setelah semuanya udah jelas, ma.”
"Terus kamu mau diem aja kayak gini?" Kesal Wika.
Bram tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana.
“Kalau memang kamu mau dia terbuka, jangan kejar dengan marah. Perempuan itu… kalau sedang menjaga jarak, biasanya ada alasannya. Cari tahu pelan-pelan.”
Rizal menatap ayahnya sejenak, lalu mengangguk pelan. Tapi raut mukanya tetap tegang, jelas, pikirannya masih sepenuhnya tertuju pada Yuna.