Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Cahaya matahari menelusup lewat celah tirai, menyapu kamar dengan kehangatan lembut. Lira mengerjap perlahan, bulu matanya bergetar sebelum akhirnya membuka mata. Pandangannya langsung menangkap sosok Yash yang duduk di pinggir ranjang, menatapnya tanpa berkedip.
“Yash…” bisik Lira dengan suara serak.
“Iya,” jawab Yash lembut, matanya penuh perhatian. “Bagaimana kondisimu? Apa masih merasa lemas?”
Lira berusaha bangkit, tubuhnya masih berat, tapi Yash segera menopang punggungnya dengan tangan kuatnya. “Sedikit,” ucap Lira, berusaha tersenyum tipis meski jelas tubuhnya masih payah.
Yash menunduk sedikit, menatap wajahnya lekat. “Kau ingat sesuatu, Lira?” tanyanya hati-hati, suaranya nyaris berbisik.
Lira mengernyit, mencoba merangkai serpihan memori. “Aku… kemarin bangun, mencarimu… tapi kau tak ada. Lalu…” Ia terhenti sejenak, kedua tangannya menggenggam sprei erat, wajahnya memucat. “…aku mendengar suara nyanyian. Lembut… tapi dingin. Setelah itu… aku tak ingat apa-apa lagi.”
Jantung Yash terasa menegang. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan sorot matanya yang muram. Ratu arwah itu hampir berhasil merenggut jiwanya… pikirnya, rahangnya mengeras.
Lira menatapnya curiga. “Yash… apa yang terjadi?
“Kemarin ada roh masuk ke apartemen,” ucap Yash pelan, pandangannya menusuk jauh seolah masih mengingat pertempuran itu. “Tapi aku sudah mengusirnya. Kau aman.”
Lira terperanjat, wajahnya menegang. “Astaga… lagi?” Ia menarik napas cepat, lalu menatap Yash dengan sorot mata penuh desakan. “Yash, kau belum menjawab soal itu… soal kunci gerbang cahaya yang ada dalam diriku. Jelaskan semuanya sekarang.”
Yash terdiam. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di atas lutut. Lira bisa melihat keraguannya, seolah pria itu sedang berperang dengan dirinya sendiri.
“Yash…” suara Lira melembut, tapi sarat tuntutan. “Aku berhak tahu. Jangan perlakukan aku seolah aku hanya beban yang harus kau lindungi. Kalau aku memang memiliki sesuatu yang bahkan roh dan lelepah sepertimu inginkan… aku harus tahu, sekarang.”
Tatapan Yash akhirnya bertemu dengan matanya. Ada ketakutan di sana—bukan takut pada Lira, tapi pada kebenaran yang harus ia buka.
Yash menghela napas panjang, seolah setiap kata yang akan keluar dari bibirnya adalah pedang yang siap menusuk dirinya sendiri. Ia menunduk sebentar, lalu menatap Lira dengan sorot mata penuh beban.
“Perempuan yang ada di mimpimu… dia adalah Arum,” ucapnya lirih. “Dialah yang seharusnya mengunci gerbang itu selamanya. Cahaya dalam dirinya… sama seperti yang sekarang ada di dalammu.”
Lira menegang. Tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup keras di dalam dada. “Arum… yang selalu muncul di mimpiku? Yang wajahnya begitu akrab…?”
Yash mengangguk. “Ya. Tapi karena aku—” ia menghentikan kalimatnya, suaranya serak, penuh penyesalan. “Karena aku, gerbang itu belum pernah dikunci hingga sekarang. Dan akibatnya… makhluk-makhluk dari duniaku semakin berambisi menembus batas dan menguasai dunia manusia.”
Lira menelan ludah, matanya menajam, bibirnya bergetar menahan emosi. “Kamu… membunuhnya.” Suaranya dingin, hampir tanpa intonasi, tapi tajam seperti pisau.
Yash menutup mata sesaat, lalu mengangguk pelan. “Iya.”
Hening.
Lira mundur sedikit di ranjang, menjauh darinya, kedua tangannya meremas sprei erat-erat. “Kenapa…? Kenapa kau lakukan itu?!”
“Aku… dibutakan oleh perasaanku sendiri,” jawab Yash, nadanya rendah, penuh getir. “Arum… dia juga adalah cintaku. Tapi kakakku, Lysander, memanipulasiku. Dia meyakinkanku bahwa jika Arum pergi menutup gerbang… aku akan kehilangan dia selamanya. Dan dalam kebodohan itu, aku—” Yash menghentikan ucapannya, kepalan tangannya bergetar. “Aku membunuhnya dengan tanganku sendiri.”
Lira menatapnya, napasnya terengah, matanya berair tapi penuh amarah. “Jadi… semua ini, semua kengerian yang mengejarku sekarang… itu karena dirimu? Karena dosamu?”
“Lalu… aku adalah Arum di kehidupan sebelumnya?”
Yash menunduk, sorot matanya berat. “Iya.”
Tubuh Lira seketika menegang. Jari-jarinya yang menggenggam sprei semakin erat hingga buku-bukunya memutih. Ia mengangkat wajahnya, menatap Yash lurus tanpa berkedip, meski ada genangan air mata di sudut matanya.
“Kau juga…” Lira menarik napas dalam, suaranya bergetar tapi tegas. “Kau juga akan membunuhku?”
Pertanyaan itu bagai belati yang menembus dada Yash. Ia terdiam, wajahnya hancur oleh rasa bersalah. Perlahan ia menggeleng, kemudian bersuara dengan lirih namun tegas, “Tidak. Kali ini… tidak. Aku sudah bersumpah, Lira. Ratusan tahun aku menyesali perbuatanku, aku tidak akan mengulanginya lagi.”
Lira masih menatapnya tajam, seakan mencari celah kebohongan. “Tapi kau pernah mengatakannya juga pada Arum, kan? Kau mencintainya… tapi tetap kau bunuh.”
Yash terdiam, bibirnya bergetar tapi tak ada kata yang keluar. Bayangan darah masa lalu seakan kembali menodai matanya.
“Itu karena… aku dibutakan cinta.” Suara Yash nyaris berbisik, penuh sesal. “Aku terlalu mencintainya. Aku memilih menunggunya bereinkarnasi… meski harus menunggu ratusan tahun.”
Lira menatapnya tajam, matanya berkilat menahan amarah. “Itu bukan cinta, Yash. Itu obsesi.”
Yash menutup mata sejenak, menghela napas berat. “Iya. Aku tahu.” Ia membuka matanya lagi, tatapan gelapnya dipenuhi rasa bersalah. “Tapi, Lira… aku sudah bersumpah tidak akan melakukan kesalahan itu lagi. Aku tidak ingin mengulang tragedi itu. Aku ingin kamu… bisa menutup gerbang itu.”
Lira menggeleng cepat, hampir panik. “Bagaimana bisa? Aku manusia biasa, Yash!”
Yash maju selangkah, suaranya dalam, penuh keyakinan. “Tidak, kamu bukan manusia biasa, Lira. Ada cahaya dalam dirimu. Cahaya itu… sudah dihidupkan secara paksa setelah kejadian kamu di serang genderuwo. Dan itu alasan kenapa tubuhmu melemah akhir-akhir ini.”
Lira terdiam. Kata-kata itu seperti hantaman keras. Perlahan ia menyentuh dadanya sendiri, merasakan denyut tak wajar yang sering hadir belakangan ini.
“Jadi… semua ini, kelelahan, rasa lemas… itu karena cahaya itu?” bisiknya, nyaris tak percaya.
Yash menunduk, suaranya sendu. “Iya. Cahaya itu milikmu, tapi ia terbangun sebelum waktunya. Dan para makhluk dari duniaku bisa menciumnya dari jauh. Itu sebabnya… mereka terus memburumu.”
“Aku masih nggak percaya…” suara Lira bergetar, tangannya mengepal di atas selimut. “Tapi aku melihatnya sendiri. Ini… ini nggak masuk akal.”
Yash menatapnya lama, matanya suram namun penuh kelembutan. “Aku tahu sulit menerima semua ini. Tapi kenyataannya, Lira… kau sudah berada di tengah pusaran takdir itu. Bahkan kalau kau lari sejauh apa pun, mereka tetap akan menemukanmu.”
Lira menoleh cepat, suaranya meninggi, penuh penolakan. “Kenapa harus aku?! Dari sekian banyak orang di dunia ini, kenapa aku yang harus menanggung semua ini?”
“Karena cahaya itu memilihmu,” jawab Yash tegas, suaranya dalam dan bergetar. “Kau adalah reinkarnasi Arum, dan hanya kaulah yang bisa menutup gerbang itu. Tidak ada orang lain.”
Lira tercekat, bibirnya terbuka tapi tak ada kata keluar. Dadanya sesak, pikirannya berputar cepat.
“Kalau aku menutup gerbang itu…” ia menelan ludah, menatap Yash dengan mata berkaca-kaca. “Apa artinya… aku juga akan kehilangan hidupku?”
“Tidak, kamu tidak akan kehilangan hidupmu, selama kamu bisa mengendalikan cahaya itu.”
Suara Yash tenang, tapi sorot matanya penuh beban.
“Jadi aku bisa hidup normal lagi?” tanya Lira cepat, seolah mencari secercah harapan.
“Iya.”
Lira menghela napas lega lalu tersenyum tipis. “Oke, kalau begitu bantu aku mengendalikan cahaya ini dan mengunci gerbang itu.” Nada suaranya bersemangat, penuh tekad.
Namun Yash hanya menatapnya dengan wajah heran. “Aku… nggak bisa bantu.”
Lira membelalakkan mata. “Loh, terus gimana dong? Aku udah muak dengan makhluk-makhluk yang mengejarku. Jadi kita harus cepat-cepat menutup gerbang!”
“Tidak semudah itu, Lira.” Yash berdiri, berjalan ke arah jendela, menatap langit yang perlahan berubah jingga. “Bahkan dulu… Arum berlatih hingga bertahun-tahun.”
“Jadi kau meragukanku?” Lira berdiri, mendekat. “Aku ini detektif, Yash. Aku terbiasa menghadapi penjahat. Tubuhku tak selemah itu. Jadi katakan saja—apa yang bisa kulakukan sekarang?”
Yash memalingkan wajahnya, seolah menimbang, sebelum akhirnya berkata pelan, “Yang tahu hanya satu orang… Pak Merta. Dia roh pohon penyeimbang. Satu-satunya yang tahu cara menutup gerbang.”
Lira terdiam, matanya menyipit penasaran. “Roh pohon penyeimbang?”
Yash mengangguk. “Dia bukan makhluk biasa. Hidupnya sudah ratusan tahun menjaga keseimbangan dunia manusia dan dunia bayangan. Kalau ada yang bisa mengajarimu, hanya dia.”
“Baiklah, besok kita bersiap ke pulau itu lagi. Eh, tapi tunggu… gimana kalau aku diburu roh-roh lagi?” tanya Lira ragu.
“Aku tak akan membiarkan itu terjadi,” jawab Yash mantap.
“Bagus, kalau begitu aku akan bersiap-siap.” Lira berbalik, hendak melangkah menjauh.
Namun tiba-tiba sebuah tangan dingin menahan lengannya. Yash menariknya mendekat, menghapus jarak di antara mereka. Tatapan matanya tajam, penuh sesuatu yang sulit ditebak.
“Lira…” suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. “Bukankah tadi aku sudah bilang kalau aku menunggumu ratusan tahun? Kau pikir aku akan membiarkanmu menutup gerbang itu begitu cepat?”