Nadin sangat mencintai Andrian. Seorang Dokter tampan yang memiliki sejuta pesona. Namun, ia juga tahu. Bahwa Andrian adalah seorang duda beranak satu.
— Adult 18+
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon auzuzah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 34
...Nadin point of view....
Aku memasuki sebuah rumah makan, yang sering kali aku kunjungi ketika sedang berada disini. Rumah makannya sangat nyaman dan tidak terlalu ramai. Hingga bisa membuat diriku tenang disaat-saat waktu menulis ku. Mereka semua sudah sangat mengenalku, begitupun hal nya dengan menu favorit yang sudah terhidang kan di atas meja.
Cuaca di New York memang sangat dingin. Hingga diriku memilih untuk menggunakan baju double bersama jaket tebal milikku. Beruntung, jalanan sedang tidak macet atau padat sekarang. Memudahkanku, untuk mengayuh sepeda sampai pada tujuan.
Setelah sampai di tempat tujuan. Langsung saja tanganku meraih gagang pintu untuk ku masuki. Ketika sepatu both ku sudah menginjak lantai ber gambaran kayu ini. Buru-buru langsung ku tutup pintu kembali dan ku kunci rapat.
Lalu ku lempar tas, beserta baju tebal yang ku kenakkan. Aku berseru senang, disaat notif panggilan video lewat macbook milikku berbunyi nyaring. Sejenak aku menggantikan bajuku dengan sebuah piyama tipis. Langsung ku tarik diriku untuk berada di atas kasur, beserta macbook yang berada di atas pangkuanku.
Terpampanglah wajah orang yang paling ku cintai selama ini. Dia adalah alasan ku untuk kuat berada di New York. Orang yang paling ku rindukan, juga yang paling ku dambakan sentuhannya. Mas Andrian.
“Selamat siang sayang. ”
Pipiku tersipu malu, dikala wajah tampan suami ku menyambut siang hari ini dengan begitu damai. Aku tersenyum lembut membalas sapaan nya, tanganku melayang dengan gerakan melambai.
“Selamat siang jugaa, mas Iaann.”
Balasku manja, dengan mata menyipit, karena senyuman yang ku utarakan begitu lebar. Dia terkekeh senang. Aku menyeringitkan dahiku, disaat-saat bocah cilik yang seringkali berada di sisinya, tak terlihat.
“Mas, Azka dimana? ” tanyaku bingung. Dia tampak tercengang walau sekilas. Perasaanku menjadi tak enak, disaat-saat mas Andrian menjawab.
“Azka lagi demam sayang. ” jawabnya tersenyum tipis. Aku yakin, mas Andrian sedang dalam kondisi tidak baik sekarang. Aku saja yang disini langsung khawatir, bagaimana dia yang disana.
“Azka ko bisa demam sih mas? Nadin mau ngomong sama Azka... ” cicitku cemas.
“Azka sedang tidur sayang. Nanti kalau Azka udah bangun, mas langsung hubungin kamu lagi. ” jelasnya mencoba memberi pengertian. Aku mengangguk walau terasa janggal karena Azka yang sedang sakit.
“Mas udah makan belum? ” tanyaku memandang wajahnya yang semakin tegas. Terlihat sekali, lewat rahangnya yang semakin memancarkan ke kokohan. Bibir tipis merahnya sangat ingin ku kecup sedalam mungkin.
“Mas udah makan, tadi mama bawain bekel ke apartment, padahal dia udah tau kalo mas jarang banget makan makanan rumah, ternyata masakan mama makin enak yang.. ” jelasnya bercerita. Aku menanggapi nya selalu dengan balasan yang panjang. Topik memang selalu mengalir diantara kami, walau sudah tiga tahun lamanya. Hubungan kita tidak pernah miss komunikasi.
“Yang.. Mas gerah. ”
Mas Andrian membuka dua kancing kemeja putihnya dengan ringisan kecil di wajahnya. Aku menggigit bibirku salah tingkah, saat mas Andrian. Ingin memulai sebuah kebiasaan yang sering kita lakukan.
“Tapi kan masih siang mas...” aku membuka kedua belah bibirku sambil memperhatikan keadaan sekitar.
“Kamu lagi di kamar kan? tutup pintu sama hordeng yang.. ” dia tidak menggubris ucapanku yang tadi. Aku mengangguk kecil sebagai jawaban, lalu ku taruh macbook milikku di atas kasur. Aku pun melangkah turun dari kasur, untuk menutup hordeng dan mengunci pintu. Walau sebenarnya, tidak akan ada yang melihat juga.
“Mas... Nadin gugup. ” aku tersipu sembari menunduk. Disaat mas Andrian mulai membuka kemeja nya.
“Hahaha, kita sering melakukan ini sayang. Bahkan mas udah hapal bentuk tubuh kamu. Walaupun belum sepenuhnya mas milikin kamu.. ” mas Andrian tertawa geli. Ia berucap dengan begitu santai, dengan pandangan yang semakin membuat pipiku memerah sempurna.
“Buka sayang.. ” pinta mas Andrian dengan mata menggelap. Pandangan ku jatuh mengikuti arah pandang mas Andrian, yang sedang menatap dua buah payudaraku.
“Mas matanya biasa aja ih! Nanti Nadin colok nih! ” aku mencoba menetralkan bibirku agar tidak gugup saat berbicara dengan mas Andrian. Lagi-lagi ia terkekeh ringan mendapati ucapanku, yang sebenarnya tidak lucu sama sekali.
“Mau dong, di colok sama istri mas. ”
Balasnya malah menggodaku. Aku mulai membuka kancing piyama ku, hingga terlepas. Menyisahkan Bra pink yang ku kenakkan. Namun akhirnya ku lepaskan semua pakaian yang menutupi diriku. Mataku fokus menatap, jakun mas Andrian yang tampak naik turun. Posisiku sekarang pindah berbaring di atas kasur dengan miring. Sedangkan macbook ku, berada di hadapan dada ku beberapa sentimeter dari jarak ku saat ini.
“Yang....”
Obrolan kami tergantikan oleh obrolan yang sangat dewasa. Hanya boleh di ketahui oleh aku dan Mas Andrian saja. Hingga akhirnya desahanku keluar tanpa aku sadari.
Jangan bertanya bagaimana bisa seperti ini, karena aku sendiri sedari awal hanya menuruti kata mas Andrian. Yang menyuruhku untuk menanggalkan pakaian ku. Kita selalu melakukan nya di kamar masing-masing.
Namun entah kenapa, melihat wajah mas Andrian sekarang, semakin membuatku rindu. Apalagi, tiga hari kedepan adalah ulang tahun nya, yang ke 31 tahun. Dan itu, membuat perasaanku menggebu-gebu, untuk memberikan nya sebuah kejutan.
...Nadin point of view off....
Andrian merubuhkan tubuhnya di atas kasur, setelah puas bermain dengan istrinya itu. Layar pada macbooknya belum mati, melainkan masih menyala. Memperlihatkan wajah Nadin yang sudah tertidur, dengan bajunya yang kembali lengkap. Sehabis bermain, Andrian memang selalu menyuruh Nadin untuk memakai bajunya kembali, walau perempuan itu sempat keras kepala karena saking lelah nya. Namun, Andrian tetaplah Andrian. segala perintahnya pasti membuat Nadin tunduk.
Andrian mengingat kejadian tiga tahun lalu, dimana semuanya berjalan begitu cepat. Hingga tanpa sadar, sudah tiga tahun ini Andrian resmi menjadi suami dari Nadin. Ia tersenyum kala bayangan dimana Andrian berhasil membuat kesepakatan bersama Nadin.
Kesepakatan yang ia buat adalah Nadin tetap melanjutkan pendidikannya. Namun sebelum ia pergi, Andrian dan Nadin harus resmi menikah terlebih dahulu.
Acara dibuat meriah, hanya berselang waktu dua hari kebersamaannya dengan Nadin. Karena setelah itu, Andrian melepaskan Nadin untuk pergi ke New York memulai pendidikan nya. Matanya menatap, ke arah bingkai foto Nadin saat bersamanya yang terpasang di kamar Andrian. Ia terkekeh disaat-saat Nadin menangis karena tak ingin pergi ke New York.
“Huaaa!! Mass, Nadin e-engga jadi pergi a-aja yaa... Hiks. Nadin engga mau ni-ninggalin maass, hiks. ”
Andrian menggeleng dengan wajah tegas. Nadin tak memperdulikan itu, ia semakin menenggelamkan wajahnya di ketiak Andrian. Sebelah tangannya memeluk perut Andrian dengan erat, dalam posisinya yang tengkurap di samping pria itu. Andrian menarik Nadin dengan paksa, saat perempuan itu masih enggan melepaskan pelukannya pada Andrian.
"Jangan gitu dong sayang.. kan kemarin kamu pengen banget study di sana. ” ujar Andrian sabar. Menahan ke gemasannya dengan sifat Nadin yang masih sangat labil.
“Iiih! Mas mah engga ngertiin Nadin banget. Nanti kalo Nadin pergi gimana kita punya baby nya. ” gerutu Nadin mengangkat wajahnya. Ia sekarang beralih tengkurap di atas tubuh Andrian, dengan dagu yang ia taruh di atas dada bidang Andrian.
“Punya baby nya, setelah study kamu selesai sayang... ” saut Andrian mengusap punggung Nadin yang terlapisi babydoll terusan.
“Tapi kan, itu masih lama banget maass!! ” rengek Nadin manja, semakin menenggelamkan wajahnya di atas dada Andrian.
“Umur kamu masih bocah Nadin. Kalo kamu udah balik nanti kita langsung bikin. ”
Wajah Nadin cemberut, saat Andrian mulai emosi dengannya. Namun pada akhirnya, ia mengangguk meng iya kan. Jari telunjuknya menari-nari di atas dada Andrian.
“Tapi, mas harus janji. Mas engga boleh lirik-lirik cewe lain. Mas pokoknya engga boleh main-main sama Nadin! Awas aja cingkuh. ”
Andrian mencubit pipi chubby Nadin yang menempel setengah di atas permukaan kulitnya. “Harusnya mas yang waspada, kamu tuh masih darah muda! Pasti banyak yang deketin! ” balas Andrian menarik-narik pipi Nadin gemas.
“Ih hubungan nya apa, sama darah muda. Mas kan juga ganteng. Udah gitu dokter. Siapa yang engga mau sama mas coba. ” cerocos Nadin tak mau kalah. Andrian hanya menghela nafas, mungkin setelah ini ia harus belajar memahami Nadin yang mood nya gampang sekali berubah-ubah.
Andrian menggeleng-gelengkan wajahnya tak percaya. Ternyata kesetiaan nya ter-uji sekarang, disaat ia harus menahan dan memendam hasrat demi menunggu istri mungilnya kembali pulang.
“Semoga, secepatnya kita bisa bertemu sayang.. ”
Andrian mengucap doa dalam hatinya. Ia memejamkan matanya disaat kantuk mulai menyerang. Layar macbook miliknya masih menunjukkan wajah Nadin yang terlelap damai, hingga tanpa sadar Andrian mulai memejamkan matanya. Bersamaan dengan Nadin, Yang sudah terlelap duluan di alam bawah sadar.
“Jika ini memang jalan nya. ”
“Saya akan melepaskan mu, Nadin. ”
“Saya akan melepaskanmu untuk ke New York. ”
“Tapi, saya tidak akan melepaskan mu dari hidup saya. Kita harus menikah. ”