NovelToon NovelToon
Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: ila akbar

‎Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
‎Menjalin hubungan dengan duda ❌
‎Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
‎Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Beberapa saat kemudian...

Mawar hendak naik ke lantai dua untuk membereskan kamar Raya. Namun, saat melintasi ruang kerja Bumi, langkahnya terhenti.

Pintu ruangan itu terbuka sedikit, dan dari celahnya, ia bisa melihat sosok Bumi duduk di balik meja kerjanya. Pria itu sudah mengenakan kemeja rapi yang dilapisi jas hitam, siap berangkat ke kantor.

Dahinya berkerut, wajahnya tampak serius, dan suara tegasnya terdengar jelas saat berbicara di telepon.

“Ya sudah. Kerjakan dengan baik. Lain kali jangan ceroboh seperti itu! Kalau sampai ceroboh lagi, perusahaan peninggalan Ayah bisa melayang!”

Bumi menekan jemarinya ke pelipis, ekspresinya menunjukkan frustrasi yang jelas.

“Kamu sudah besar, harus bisa memegang tanggung jawab dengan benar! Sebentar lagi Mas ke kantor. Kita ketemu di sana.”

Klik.

Panggilan berakhir.

Bumi menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi, sementara tangannya mengusap wajah lelahnya.

Belum selesai masalah di rumah dengan Lusi, sekarang ia harus menghadapi masalah di kantor.

Di luar ruangan, Mawar yang sejak tadi mengamati diam-diam menggigit bibir bawahnya.

Matanya berbinar, menelusuri rahang tajam Bumi, ekspresi dinginnya, dan sikap dominannya yang begitu memikat.

“Ya ampun… kenapa Om Bumi kelihatan makin seksi kalau lagi serius kayak gitu?”

Sudut bibirnya terangkat dalam senyum kecil.

Kesempatan.

Mawar mengetuk pintu dengan lembut.

Tok.. Tok..

Bumi menoleh, ekspresinya tetap sama—tenang, dingin, dan sedikit malas menanggapi.

“Iya, Mawar. Ada apa?”

Mawar melangkah masuk, mengayunkan pinggulnya sedikit, lalu menatap Bumi dengan ekspresi manis.

“Maaf, Pak Bumi. Mawar cuma mau tanya, ada yang bisa Mawar bantu?”

Bumi mengerutkan kening. “Bantu?”

Mawar tersenyum lebih lebar, matanya berbinar nakal.

“Siapa tahu, Pak Bumi butuh sesuatu. Makanan ringan, camilan, atau mungkin...”

Mawar melangkah lebih dekat, jemarinya yang lentik dengan santai menelusuri permukaan meja kayu, seolah ingin mengukir kehadirannya di sana. Tatapannya lembut namun penuh arti, sementara senyum kecil bermain di sudut bibirnya.

“...kopi? Atau teh hangat, mungkin?”

Suaranya terdengar manis, mengalun lembut, seakan ingin menggoda tanpa terbuka terlalu jelas.

Bumi menatap Mawar, diam sejenak, ekspresinya tetap dingin dan tak terbaca.

Namun, seperti biasa, ia memilih jawaban yang datar.

“Tidak. Terima kasih.”

Mawar mendesah pelan, lalu pura-pura cemberut, bibirnya mengerucut dengan manja.

“Iiiiih! Om Bumi ini dingin banget, sih! Sesekali coba deh lebih ramah ke Mawar.”

Bumi mengangkat alis, menatapnya heran. “Kenapa?”

Mawar terkesiap. Seketika, kepanikannya muncul. Dalam hati, ia mengumpat kecil.

“Aduh, sampai gak sadar, tadi aku ngomong apa enggak ya?!”

Ia buru-buru tersenyum dan mengibaskan tangannya. “Ah, nggak! Nggak ada apa-apa.”

Lalu, dengan langkah santai, Mawar berbalik. “Ya sudah kalau gitu, Mawar keluar dulu, ya. Permisi.”

Namun—

Baru saja ia melangkah ke pintu, suara berat Bumi menghentikannya.

“Eh, Mawar. Tunggu.”

Mawar tersenyum kecil, tapi kali ini ia tak langsung menoleh.

Sebaliknya, ia memejamkan mata sejenak, menikmati momen ini.

“Akhirnya! Om Bumi memanggil aku duluan!”

Baru setelah beberapa detik, ia berbalik perlahan, menatap pria itu dengan sorot mata penuh arti.

“Iya, Pak Bumi? Ada yang bisa Mawar bantu?”

Bumi menatapnya sejenak. Ragu.

Tangannya mengepal di atas meja, lalu perlahan ia mengalihkan pandangan.

“T-tolong buatkan susu hangat. Seperti kemarin.”

Mawar membelalak kecil, hampir tak percaya dengan yang ia dengar.

“Hah? Apa?”

Bumi mendesah, merasa canggung dengan permintaannya sendiri. Ia mengalihkan tatapan, menelan ludah.

“Iya. Buatkan susu hangat seperti kemarin.”

Hening.

Mawar hanya menatapnya, lalu bibirnya melengkung dalam senyum kemenangan.

“Yes! Om Bumi ketagihan susuku!”

Tapi, tentu saja, ia tak akan menunjukkan ekspresi terlalu mencolok.

Jadi, ia hanya tersenyum lembut dan mengangguk manis. “Baik, Pak. Mawar buatkan sekarang.”

Dengan langkah ringan dan hati berbunga, ia berbalik menuju dapur.

Saat sosoknya menghilang di balik pintu, Bumi masih menatap ke arah yang sama.

Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat dalam senyum tipis.

Senyum yang segera ia hapus, sebelum kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi.

Dadanya terasa aneh.

Ia mengembuskan napas panjang.

Entah kenapa, kehadiran gadis itu selalu berhasil membuat sesuatu di dalam dirinya bergemuruh.

Selang beberapa menit...

Mawar menaiki tangga dengan langkah ringan, nampan berisi segelas susu hangat bertengger sempurna di tangannya. Di wajahnya, ada senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Setiap langkah yang ia ambil penuh kepercayaan diri, pinggulnya bergoyang halus, seolah menghipnotis siapa pun yang melihatnya.

Dari lantai bawah, Mbok Ijah melirik ke arah Mawar dengan tatapan penuh selidik. Bibir wanita tua itu maju-mundur, menggumam sendiri.

“Benar-benar aneh. Kenapa Pak Bumi tiba-tiba jadi doyan susu begini? Seumur-umur, setahu saya, Pak Bumi lebih suka kopi hitam.”

Sementara itu, di lantai dua, Mawar mendorong pintu ruang kerja Bumi dengan lembut. Ia melangkah masuk dengan penuh gaya centilnya, menghampiri meja pria itu sambil menyunggingkan senyum manis.

“Ini, Pak Bumi… Susunya.”

Kali ini, berbeda dari sebelumnya. Jika kemarin ia dengan sengaja memperlihatkan belahan dadanya, hari ini ia memilih cara lain. Mawar pura-pura merapikan bajunya, menutupi area dadanya yang menonjol—seolah ingin menjaga kesopanan. Namun, justru itu yang menjadi daya tariknya. Sikapnya seperti sedang memberi kode halus, tantangan tak langsung bagi Bumi untuk memperhatikannya lebih dalam.

Benar saja.

Bumi yang awalnya fokus pada laptop di depannya, tiba-tiba terdiam. Pandangannya sedikit teralihkan. Ia menghela napas panjang, seolah menahan sesuatu dalam dirinya. Rahangnya mengeras, matanya bergerak cepat ke arah lain, menghindari melihat Mawar terlalu lama.

Mawar, yang menangkap ekspresi itu, tersenyum kecil.

Ia tahu.

Bumi sedang berusaha menahan sesuatu.

Dan itu membuat permainan ini semakin menarik.

Dengan suara lembut, Mawar kembali berucap, “Kalau begitu, Mawar permisi ya, Pak.”

Bumi tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

Tepat saat Mawar berbalik, ponsel Bumi bergetar di meja.

Pesan dari Lusi.

Lusi:

“Mas, hari ini pulang lebih cepat ya dari kantor! Pemotretanku sudah mau selesai, dan nanti malam aku free, nggak ada schedule. Kita habiskan malam di rumah.”

Seharusnya, pesan itu membuat Bumi senang.

Seharusnya, hatinya berbunga-bunga karena istrinya yang selalu sibuk akhirnya meluangkan waktu untuknya.

Namun, alih-alih senang, ekspresi Bumi justru datar. Tidak ada getaran dalam hatinya. Tidak ada rasa antusias.

Jari-jarinya bergerak di layar, membalas dengan singkat:

“Iya.”

Selesai.

Tanpa pikir panjang, Bumi meletakkan kembali ponselnya. Namun, bukannya kembali fokus pada pekerjaannya, matanya justru tertuju pada sesuatu di atas meja.

Susu hangat buatan Mawar.

Perlahan, ia meraih gelas itu, memandanginya sejenak. Senyum kecil tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang sangat spesial di dalamnya.

Ia mengangkat gelas itu ke bibirnya dan menyeruput perlahan.

Rasanya… hangat. Lembut.

Ada sesuatu yang aneh di dalamnya—bukan dari rasa susunya, tapi dari perasaan yang muncul saat ia meminumnya.

Sementara itu, di balik pintu yang sedikit terbuka, Mawar mengintip diam-diam. Matanya berbinar saat melihat ekspresi Bumi yang seolah begitu menikmati susunya.

Lalu, tanpa bisa menahan diri, ia mengepalkan tangannya dengan gemas, berbisik pelan, “Yes!”

Langkahnya ringan saat ia berjalan pergi.

Satu langkah kecil lagi dalam permainan ini.

Dan Mawar yakin, Bumi sedang perlahan masuk dalam perangkapnya.

###

Maaf, Readers. Sesuai dengan peraturan NovelToon, judul buku ini akan saya ganti🙏

1
Aqilah Azzahra
semangat kak
Ila Akbar 🇮🇩: ♥️♥️♥️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!