Lama menghilang bak tertelan bumi, rupanya Jesica, janda dari Bastian itu, kini dipersunting oleh pengusaha matang bernama Rasyid Faturahman.
Sama-sama bertemu dalam keadaan terpuruk di Madinah, Jesica mau menerima tunangan dari Rasyid. Hingga, tak ingin menunggu lama. Hanya berselisih 1 minggu, Rasyid mengitbah Jesica dipelataran Masjidil Haram.
Namun, siapa sangka jika Jesica hanya dijadikan Rasyid sebagai yang kedua.
Rasyid berhasil merobohkan dinding kepercayaan Jesica, dengan pemalsuan jatidiri yang sesungguhnya.
"Aku terpaksa menikahi Jesica, supaya dia dapat memberikan kita putra, Andini!" tekan Rasyid Faturahman.
"Aku tidak rela kamu madu, Mas!" Andini Maysaroh.
*
*
Lagi-lagi, Jesica kembali ketanah Surabaya. Tanah yang tak pernah ingin ia injak semenjak kejadian masa lalunya. Namun, takdir kembali membawanya kesana.
Pergi dalam keadaan berbadan dua, takdir malah mempertemukanya dengan seorang putra Kiyai. Pria yang pernah mengaguminya waktu lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"Memang kenapa jika saya hamil? Apa perlu saya memamerkan suami saya kepada kalian semua?" sahut Jesica menatap bengis kearah dua wanita didepannya kini.
"Jes ... Sudah! Tenang, jangan terpancing emosi. Ingat, kehamilanmu lebih penting dari pada ucapan mereka!" Nyonya Vera berbisik, mengusap lengan putrinya.
"Oma sudah bilang sejak dulu. Kamu saja itu yang susah dibilangin! Rela menjual agama, demi pria yang tidak jelas itu. Tidak dijadikan pelajaran, malah diulang kembali. Di tipu sama suamimu sendiri 'kan?" cibir Oma Margaret.
Jesica semakin meradang. Kali ini ucapan Neneknya itu benar-benar keterlaluan. Sudah tidak dapat ditoleransi, jika menyangkut masalah agama. Namun, ia harus mampu mengendalikan itu semua.
"Mah, sudah cukup!" sentak Nyonya Vera yang merasa tidak terima. "Mamah kali ini sudah keterlaluan-"
"Kamu itu sama saja, Vera! Tidak becus mendidik putrimu sendiri! Oh ya, saya sampai lupa ... Pendidikanmu kan cuma SMA saja. Jadi pantas, jika cara didik kamu sangat kolot!" sahut kaka iparnya, Nyonya Luna.
Jesica bangkit, "SUDAH, CUKUP!" sorot mata itu penuh rasa benci yang tertahan. "Kalian berdua sudah kelewatan! Terutama, Oma! Jesica tidak suka, jika Oma mebawa nama agama untuk menjatuhkan harga diri Jesica!" tatapan bengis itu mengedar kearah Nyonya Luna. "Dan untuk Anda, Nyonya Luna yang terhormat. Pastikan Anda lebih sempurna dari Mamah saya, sebelum Anda menghinanya! Mamah saya melahirkan saya penuh taruh nyawa. Dan lagi, menyusui selama dua tahun. KATAKAN? APA ANDA PERNAH MERASAKAN SEMUA ITU, HAA?!"
Nyonya Vera sampai ikut bangkit, dan mengusap punggung putrinya, ketika Jesica membentak kedua orang didepanya kini.
"Mah, ayo kita pulang saja! Ngapain kita datang, jika hanya untuk dipermalukan saja," Jesica sudah menarik tangan Ibunya, berlalu begitu saja.
Nyonya Luna menggeram, "Kurang ajar! Berani-beraninya mereka menghinaku. Wanita tidak tahu diri ... Anaknya pun sama gilanya!"
Oma Margaret menatap tajam kedepan, tidak berbicara apapun, dan kini langsung beranjak dari tempat duduknya.
Dalam perjalanan pulang, tidak henti-hentinya Jesica mengucapkan istiqfar, mengingat ia tidak dapat mengontrol hawa nafsunya.
"Sayang ... Sudah ya, jangan diambil hati. Mamah hanya nggak ingin keluarga Papahmu bertengkar gara-gara pertemuan kita tadi!" Nyonya Vera memohon melalui sorot mata itu.
Jesica menoleh. Berangsur, hatinya kembali mencair. Ia mengusap tangan Ibunya, tersenyum hangat, sambil berkata, "Tapi Jesica nggak ingin ... Mamah direndahkan seperti itu! Mamah seharusnya melawan sama mereka, Mah! Mereka sudah keterlaluan sama keluarga kita."
Nyonya Vera terdiam. Ia masih ingat betul, bagaimana dulunya sang mertua tidak pernah mau menerima kehadirannya sebagai menantu.
*
*
*
Rasyid menarik bahu asistennya, begitu melihat Andini dan kekasih gelapnya itu baru akan masuk kedalam hotel.
Keduanya saling tatap sekilas, berwajahkan bahagia. Rasyid sudah menduga, jika mantan istrinya itu baru saja memenjual saham pabrik miliknya.
Kini mereka berdua keluar dari balik tembok, disaat Andini sudah menghilang didalam.
"Tuan ... Sepertinya mereka terlihat bahagia?!"
"Kita tunggu saja ... Sebentar lagi mereka berdua akan dihebohkan dengan ulahnya sendiri," ucap Rasyid berlalu keluar.
Sementara didalam, kini Andini dan Tuan Hendru baru saja masuk kedalam kamar mereka.
Andini masih dilanda bahagia, tanpa mengecek ulang cek uang dari Mr Zero tadi. Saking berbunganya, ia juga belum menyadari jika barang berharga dia lainnya kini sudah berpindah ketangan yang tepat.
Melihat bagaimana serakahnya mantan istrinya itu, Rasyid urungkan niatnya untuk memberikan harta rumah tersebut.
"Om, makasih ya sudah mau bantuin Andini! Kan makin sayang deh Andini sama Om Hendru," Andini menyandarkan tubuhnya pada lengan Tuan Hendru.
"Apapun akan Om lakukan untukmu, Sayang!" Tuan Hendru tersenyum bangga, sambil menghirup aroma rambut Andini.
Seakan ingat dengan aset yang lain, kini Andini langsung bangkit dari tempatnya. "Ada apa, Sayang?!" Om Hendru tersentak.
"Sebentar, Om!" Andini bangkit, dan langsung berjalan menuju kopernya terletak.
Namun, begitu koper itu dibuka, dan dicari semakin dalam isinya, benda yang dicari tidak ada ditempatnya. Wajah Andini sudah mulai gelisah. 'Perasaan ... Bener aku taruh disini! Tapi kok nggak ada ya?! Duh ... Dimana sih.'
Tuan Hendru kini juga ikut bangkit. Ia dibuat bingung dengan sikap kekasihnya saat ini. "Sayang ... Kamu cari apa sih?" tegurnya.
"Om, aku cari sertifikat rumahku! Kemarin aku taruh didalam koper, sama aset pabriknya Rasyid. Tapi ini kok nggak ada sih," Andini terus saja mencari, hingga isi didalam koper saat ini ia keluarkan semua.
"Kenapa harus kamu bawa juga, Sayang?! Kan kamu dapat menaruhnya di rumah Mamahmu?" Om Hendru berjalan menghampiri Andini.
Terdiam sejenak sambil memikirkan dimana ia lupa menyimpannya, kini Andini beranjak menuju lemari, nakas, dan semuanya sudah ia cari namun aset rumah itu menghilang bak tertelan bumi.
Merasa frustasi, kini Andini menjatuhkan tubuhnya ditepi ranjang. Antara cemas dan lelah, berhasil mengguncang perasaanya saat ini. "Bagaimana kalau sertifikat rumah itu benar-benar hilang, Om?"
Tuan Hendru membawa kekasihnya masuk dalam dekapannya. "Sudah, kamu mungkin lupa menaruhnya di Semarang. Pasti tertinggal disana!"
Andini menarik tubuhnya. Sorot matanya masih menolak akan pengertian sang kekasih saat ini. Ia tidak pikun! Dan ingat betul, dimana ia menaruh dokumen penting itu.
"Sudah lah, Sayang ... Bagaimana kalau kita bersenang-senang lagi. Om masih ingin melayang sama kamu," bisik Tuan Hendru sambil menyentuh area sensitif Andini.
"Om, aku lagi nggak mood! Aku pusing cari dimana sertifikat itu," kata Andini terdengar sekali frustasinya. Ia kini bangkit, mendesah dalam, merasa lelah berpikir.
Tuan Hendru terlihat merogoh sesuatu dalam saku celananya. Ia kini berjalan mendekat, dan berdiri tepat dibelakang Andini. "Lihatlah, Om punya sesuatu untukmu," ucap Tuan Hendru sambil membuka sebuah kotak bewarna biru tua.
Andini membolakan mata terkejut. "Om, ini benar kalung berlian yang Andini inginkan itu?" mata Andini menatap berbinar, mendapat hadiah dengan harga fantastik itu.
Tuan Hendru sibuk memakaikan kalung itu. "Sudah, ya! Sekarang jangan cemas lagi!"
Andini kini membalikan tubuhnya. Ia sudah bergelayut manja dengan mencium wajah Tuan Hendru beberapa kali.
Namun, disaat mereka akan melakukan adegan ranjang, tiba-tiba pintu terketuk dari luar tanpa jeda.
Tuan Hendru terpaksa bangkit dari atas tubuh Andini. Wajahnya terlihat kesal sekali. Padahal, ia kini sudah berada dalam satu selimut yang sama. Pikir mereka berdua, pasti itu petugas kebersihan.
Dengan cepat, Tuan Hendru menyambar handuk kimono didalam lemari. Ia lalu memakainya, dan berjalan keluar.
Namun begitu ia berhasil membuka pintu, seketika jantung pria tua itu berhenti saat itu juga.
Deg!!!