"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."
Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.
Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.
Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.
Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Ruang rawat di rumah sakit itu sunyi. Hanya suara mesin monitor detak jantung yang sesekali berbunyi ritmis, seperti penanda waktu yang berjalan lambat. Tirai putih bergoyang tipis tersapu angin dari pendingin ruangan.
Moon Seok Hyun, sang tetua keluarga Han, baru saja siuman setelah sekian lama tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, tubuhnya tampak ringkih, namun senyuman lembut tetap bertengger di bibirnya.
Ketika pintu terbuka, Han Soojin berdiri di ambang. Pandangannya seketika berkaca-kaca melihat sang kakek yang akhirnya sadar. Ia melangkah cepat, lalu tanpa ragu memeluk tubuh rapuh itu.
“Kakek…” suaranya bergetar, tersengal menahan tangis. “Aku sangat khawatir… aku kira… aku kira kau tidak akan bangun lagi…”
Seok Hyun tertawa kecil, suaranya lemah namun penuh kasih. “Jangan menangis, cucuku. Kalau wajah cantikmu dipenuhi air mata, bagaimana mungkin orang-orang bisa melihat betapa menawannya kau?”
Namun Soojin tak peduli. Ia menenggelamkan wajahnya di dada kakeknya, memeluk erat, seakan jika ia melepaskan, sosok itu akan menghilang lagi.
Di sisi ruangan, Han Daehyun berdiri bersandar pada dinding. Tatapannya tenang, nyaris dingin, namun ada kilasan yang sulit ditebak di matanya. Ia memperhatikan adegan itu dalam diam, lalu akhirnya melangkah mendekat dengan senyum tipis.
“Sudahlah,” katanya lembut. “Jangan seperti itu. Kakek baru saja sadar. Jangan membuatnya sesak dengan tangisanmu.”
Soojin terdiam. Ia mendongak, menatap kakaknya dengan raut tak percaya. Selama ini Daehyun selalu dingin, sinis, bahkan seolah tak peduli padanya. Tapi kalimat itu… begitu berbeda. Begitu… hangat.
“…Kakak…” gumamnya lirih.
Daehyun menoleh sebentar pada kantong infus, lalu kembali pada adiknya. “Ayo. Temani aku ke kantin. Kita harus belikan makanan untuk kakek. Beliau pasti lapar.”
Seok Hyun tertawa lemah. “Benar. Tapi aku tidak butuh banyak. Roti saja cukup untuk orang tua sepertiku.”
Soojin langsung tersenyum lega. “Baik, Kek! Aku akan pastikan roti yang enak untukmu.”
Ia menggenggam tangan kakeknya sejenak sebelum bangkit. Daehyun sudah menunggu di ambang pintu, lalu keduanya berjalan keluar bersama.
Lorong itu sunyi, hanya diisi suara langkah kaki keduanya yang bergema pelan. Lampu neon di atas kepala berkelip tipis, menambah nuansa sepi yang anehnya menenangkan.
Daehyun membuka percakapan dengan nada yang jarang sekali Soojin dengar darinya. “Bagaimana sekolahmu akhir-akhir ini?”
Soojin terkejut, menoleh dengan mata berbinar. “Eh? Kakak menanyakannya?”
“Kenapa tidak?” jawab Daehyun tenang. “Aku hanya ingin tahu. Kau sudah punya banyak teman?”
Soojin tersenyum malu, lalu mengangguk kecil. “Awalnya tidak… aku terlalu kaku, terlalu dingin. Tapi…” Ia terdiam sejenak, lalu senyumnya merekah tulus. “Sekarang aku punya seorang teman yang… sangat baik padaku. Dia peduli, meski aku sering bersikap buruk. Dia tidak menyerah mendekatiku.”
Daehyun menoleh sekilas, alisnya terangkat sedikit. “Siapa?”
Soojin menjawab tanpa ragu, “Asterion.”
Daehyun hanya mengangguk tipis. Tidak ada perubahan ekspresi berarti, tapi di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berputar di pikirannya.
“Kedengarannya… dia anak yang menarik,” gumamnya.
Soojin mengangguk penuh keyakinan. “Dia berbeda. Bersamanya… aku merasa tidak sendirian.”
Daehyun tersenyum samar, tapi tak ada yang bisa membaca makna sebenarnya dari senyuman itu.
Kantin Rumah Sakit
Aroma sup panas dan roti yang baru keluar dari oven memenuhi ruangan. Orang-orang lalu lalang dengan nampan, suasana sederhana namun ramai. Daehyun berjalan di depan, mengambil roti dan beberapa makanan ringan.
Soojin ikut membantu, memilih dengan hati-hati seakan sedang menyiapkan jamuan besar. “Kakek pasti suka yang ini…” katanya bersemangat.
Daehyun menatapnya, senyum tipis lagi-lagi muncul. Dari luar, tampak seperti kakak yang sedang menikmati antusiasme adiknya. Tapi tak ada yang tahu, di balik gerakan tangannya yang tenang, ada sesuatu yang ia lakukan dengan sangat halus.
Sebuah cairan bening, nyaris tak terlihat, diteteskan cepat ke dalam roti yang ia pilih. Gerakannya lihai, tanpa seorang pun menyadari, bahkan Soojin yang berdiri tepat di sampingnya.
“Sudah cukup,” kata Daehyun tenang sambil menyerahkan plastik makanan pada Soojin. “Kau yang bawakan. Kakek pasti senang kalau yang memberinya adalah kau.”
Soojin menerima dengan senyum tulus. “Terima kasih, Kak.”
Mereka kembali berjalan menyusuri lorong. Soojin merasa dadanya hangat. Ia berpikir kakaknya benar-benar berubah. Perhatian ini, percakapan lembut tadi… semua terasa nyata.
Ia sama sekali tidak tahu, ada bayangan gelap yang menyertai di balik senyum itu.
Ruang Rawat
Moon Seok Hyun masih duduk bersandar di ranjang ketika mereka kembali. Senyum hangatnya menyambut cucunya yang masuk membawa plastik makanan.
“Ah, cucuku datang membawa rezeki.”
Soojin meletakkan roti di meja kecil. “Kakek harus makan supaya cepat pulih.”
Seok Hyun mengambil roti dengan tangan gemetar. Ia menatap Soojin penuh kasih sebelum menggigit pelan. Wajahnya tampak lega, seolah kehidupan perlahan kembali mengalir.
Soojin tersenyum lega melihatnya makan. Daehyun berdiri di sisi lain ranjang, tatapannya lurus, penuh ketenangan… namun mata itu dingin, menyimpan sesuatu yang tak terucap.
Di dada Soojin, ada rasa bahagia yang tak tergantikan. Akhirnya… keluarga ini terasa hangat. Kakak peduli, kakek tersenyum… mungkin semua akan baik-baik saja.
Moon Seok Hyun menggigit roti lagi, lalu batuk kecil. Soojin langsung panik, meraih segelas air. “Kakek! Minum dulu, biar tidak tersedak!”
Seok Hyun tersenyum, mencoba menenangkan cucunya. “Tidak apa-apa… hanya sedikit tersedak…”