Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Empat Bulan Lebih
Suasana rumah itu terasa berbeda beberapa minggu terakhir. Bukan karena Nizar—bayi mungil itu semakin ceria dan menggemaskan, ocehannya bahkan menjadi musik yang menenangkan bagi siapa pun yang mendengarnya. Tapi karena Devan.
Ia semakin jarang di rumah.
Bulan keempat setelah kelahiran Nizar bertepatan dengan proyek besar di kantornya. Lembur menjadi rutinitas. Pulang larut malam pun jadi hal biasa. Bahkan kadang, Nina bangun pagi dan menemukan suaminya masih mengenakan kemeja kerja, tertidur di sofa ruang tamu dengan laptop yang masih menyala.
Awalnya, Nina mencoba memahami. Ia tahu Devan bekerja keras demi mereka bertiga. Tapi perlahan, rasa sepi itu menyusup. Sunyi yang dulu tak masalah saat Devan pergi bekerja kini terasa menghantam, karena ada jarak baru yang tercipta.
Pagi itu
Nina duduk di lantai kamar, menyusui Nizar sambil menatap kosong ke arah jendela. Tirai masih tertutup rapat. Udara kamar terasa pengap, seperti cerminan perasaannya.
Ia ingat betul ketika Devan dulu selalu berusaha ada di sampingnya, bahkan di tengah malam saat Nizar rewel. Kini, ia bangun sendiri di jam-jam itu, mengganti popok sambil menahan kantuk, lalu menyusui sambil memandangi ponselnya hanya untuk memastikan Devan sudah sampai kantor atau belum.
Pintu kamar berderit. Devan masuk dengan wajah lelah. Matanya merah, rambutnya kusut, dan kemejanya kusam. “Sayang… kamu belum tidur?”
Nina menoleh sebentar. “Aku tidur. Bangun karena Nizar.”
Devan mendekat, mencium kening istrinya sekilas. “Maaf… Papa capek banget. Ada deadline gila.” Ia duduk di tepi ranjang, menatap Nizar sebentar. “Eh, bocah kecil. Kangen Papa nggak?”
Nizar mengoceh, tangannya bergerak-gerak. Devan tersenyum tipis, lalu mengusap kepala bayi itu.
Nina memperhatikan interaksi itu. Ada rasa hangat—dan dingin sekaligus. Hangat karena Devan masih peduli. Dingin karena sentuhan itu terasa seperti sambil lalu, buru-buru, seperti ia hanya sekadar "menunaikan kewajiban."
“Van,” panggil Nina pelan.
“Hm?”
“Kapan terakhir kita ngobrol… yang beneran ngobrol?”
Devan terdiam sejenak. Ia tahu maksud Nina. “Nin, kamu tahu kan aku lagi dikejar target. Aku pengen banget duduk lama sama kamu. Tapi…”
“Tapi kantor.” Nina melanjutkan kalimat itu untuknya.
Devan menatapnya. Ada rasa bersalah di sana, tapi juga kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. “Ini cuma sebentar. Habis proyek ini kelar, aku janji—”
“Kamu selalu janji begitu.” Nina berdiri, menggendong Nizar, lalu berjalan ke arah boks bayi. “Aku capek dengernya.”
Devan menunduk. Tidak ada kata yang bisa ia keluarkan untuk membantah.
Siang itu
Nina mengajak Nizar keluar rumah, berjalan ke toko bahan makanan kecil di ujung jalan. Udara siang lumayan terik, tapi ia butuh keluar dari empat dinding yang selama ini membuatnya merasa terjebak.
Di depan toko, dua tetangga lamanya sedang mengobrol. Begitu melihat Nina, mereka tersenyum ramah.
“Eh, Nina! Wah, ini bayinya ya? Gendut banget, lucuuu,” seru salah satu dari mereka.
Nina tersenyum sopan. “Iya, ini Nizar.”
“Gimana, udah balik ke bentuk badan sebelum hamil belum?” tanya yang satunya sambil melirik tubuh Nina dari atas sampai bawah.
Pertanyaan itu menusuk seperti belati.
Belum sempat Nina menjawab, yang pertama menyahut, “Wajar sih kalau lama. Soalnya kalau nggak rajin olahraga ya… ya gitu deh.”
Nina menelan ludah. Ia mengangguk singkat, buru-buru masuk ke toko tanpa menoleh lagi.
Di dalam, ia menatap bayangannya di kaca kulkas minuman. Kata-kata tadi berputar di kepalanya. Rajin olahraga. Balik ke bentuk badan dulu. Ya gitu deh.
Ia mengusap wajahnya. Aku bahkan nggak punya waktu tidur yang cukup, gimana mau olahraga?
Malamnya
Devan pulang larut malam. Nina tidak menyambut di ruang tamu seperti biasa. Ia duduk di kamar, mengganti popok Nizar.
“Sayang,” sapa Devan pelan sambil membuka kancing kemejanya.
Nina menoleh sebentar. “Makan di luar?”
“Iya.”
“Kayaknya semua hal di hidup kamu sekarang cuma kantor, makan, tidur.” Suara Nina datar.
Devan menghentikan gerakannya. “Nin, jangan gitu. Kamu tahu aku—”
“Aku tahu. Kamu kerja buat kita.”
“Tepatnya buat masa depan kita.”
Nina tertawa hambar. “Masa depan? Kalau sekarang aja rasanya aku sendirian, masa depan itu buat apa, Van?”
Devan terdiam. Kata-kata itu menghantam keras.
Ia ingin memeluk Nina, tapi tubuh Nina kaku. Ia ingin menjelaskan, tapi semua alasan terdengar seperti pembenaran.
Beberapa hari kemudian
Devan mencoba memperbaiki keadaan. Ia pulang lebih cepat satu malam, membawa sebuket bunga kecil dan makanan kesukaan Nina.
“Nin, lihat deh. Aku—”
Tapi ia menemukan Nina duduk di ruang tamu, memeluk Nizar yang sudah tidur, dengan mata sembab.
“Nina?”
“Van, aku nggak tahu harus jadi siapa sekarang.” Suaranya pecah. “Aku nggak kenal diriku. Aku nggak tahu… apakah kamu masih lihat aku sebagai Nina yang dulu.”
Devan mendekat, lututnya jatuh ke lantai di hadapan Nina. “Sayang, tentu aja aku masih lihat kamu. Kamu tetap Nina. Kamu tetap perempuan yang aku pilih.”
“Lalu kenapa rasanya kamu jauh sekali?”
Devan menunduk. Ia tidak bisa menyangkal. “Aku salah. Aku terlalu tenggelam di kerjaan sampai lupa… kamu di sini berjuang sendirian.”
Nina menggigit bibirnya, air mata jatuh lagi. “Aku butuh kamu, Van. Bukan cuma uangmu. Bukan cuma janji-janji masa depan. Aku butuh kamu… sekarang.”
Devan menarik napas panjang. Ia sadar. Semua lembur, semua kerja keras, tidak ada artinya kalau Nina merasa kehilangan suaminya.
Malam itu mereka bicara lama. Tentang rasa bersalah Devan, tentang kesepian Nina, tentang bagaimana mereka bisa kembali menemukan cara untuk hidup bersama—bukan sekadar tinggal serumah.
Devan berjanji jika ia akan membuat waktu untuk mereka. Bukan nanti. Bukan setelah proyek selesai. Tapi sekarang.
Karena yang paling ia takutkan bukan kehilangan pekerjaannya. Tapi kehilangan Nina.