Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Benji, Apakah Kamu Mencintaiku?
Ben tadinya ingin menahan diri. Ia berusaha mengendalikan perasaan yang selalu menggebu setiap kali berada di dekat Hayaning. Namun, semua usahanya sia-sia. Seperti sebelumnya, logika dan moralnya selalu tumbang di hadapan keinginan yang berkecamuk dalam dirinya.
Ia menelan ludah, mendapati dirinya sekali lagi terjerumus ke dalam keinginan yang berusaha ia hardik dengan kesal.
"Hayaning..."
"Saya tidak bisa menahan diri, Hayaning!" suaranya terdengar serak, penuh gejolak, di antara kecupan yang terus menerus tanpa jeda.
"Why? Kenapa kamu begitu padaku?" Nafasnya terengah-engah ketika mereka saling melepaskan bibir.
"Saya tidak tahu, tapi kalau kamu mau menghardik saya sebagai pria berengsek nan bajingan, maka saya akan menerima segala hujatan itu," suaranya mendekat, sorot matanya tetap tajam, menusuk hingga ke dalam sanubari Hayaning.
Hayaning menatapnya dengan napas masih memburu. Pipinya merona, dadanya naik-turun tak beraturan. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tapi semua tertahan di tenggorokannya.
"Kalau begitu, saya memang tak bisa mengendalikan diri, Haya. Karena setiap kali saya melihatmu, saya kehilangan akal sehat saya."
Hayaning menutup matanya sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja Ben katakan.
Ia membuka kembali matanya. "Apa...apa kamu tidak memiliki perasaan padaku?" Itu adalah sebuah keberanian, biarkan, biarkan Hayaning mendengar.
Ben tidak menjawab, tetapi gerakan inginnya yang menggebu tetap fokus pada Hayaning, seolah-olah ia terhipnotis dan tidak mendengar apapun. "B-Ben..." suaranya lirih, Hayaning mulai menyadari bahwa ia terbawa suasana yang diciptakan oleh Ben.
Ben menjauhkan wajahnya, menatapnya intens. Rahangnya mengeras, berperang dengan dirinya sendiri. Namun, pada akhirnya, ia mendekat lagi, mengabaikan pertanyaan Hayaning, mengabaikan logika dan memilih tenggelam dalam rasa yang membakar habis kesadarannya.
"Ahhhh..."
Keduanya terseret dalam arus emosi yang tak terbendung, membiarkan perasaan yang sejak tadi berkobar berubah menjadi nyala yang lebih besar.
Hayaning terbaring di atas ranjang, matanya yang bening kini dipenuhi kabut keinginan, sementara Ben menatapnya dengan sorot yang sama—lapar, menginginkan lebih, namun masih ada sisa kendali dalam genggamannya ketika air mata jatuh di pelupuk mata Hayaning.
"Jika kamu ingin saya berhenti... katakan sekarang," bisik Ben, suaranya serak, tubuhnya menegang, seakan menunggu aba-aba terakhir sebelum benar-benar kehilangan kendali. "Karena saya tidak akan bisa berhenti Setelahnya."
Alih-alih menjawab, jemarinya justru menangkup wajah Ben, menarik pria itu lebih dekat. Dan bagi Ben, itu adalah jawaban yang cukup.
Tanpa ragu lagi, ia mendekatkan diri, merasakan setiap gelenyar lembut di kulitnya, seakan ingin menghafal setiap detailnya dalam ingatan.
Hayaning merasakan sensasi yang luar biasa ketika Ben mengendalikan dua bendanya dengan lembut, tangannya secara refleks memegang rambut Ben dengan erat, matanya terpejam sambil wajahnya menunjukkan ekspresi penuh kepuasan.
"Damn! Mereka sangat menantang!" Bicaranya ketika ia melepas dan menatap Haya dengan kepalanya yang masih bertengger diantara dua kesukaannya itu.
Hayaning merasakan sensasi yang mendalam saat jemari pria itu menyentuh titik rawannya.
"Hnghhh.... Benji..."
"Heum?"
"Lihat aku..." Hayaning menangkap wajah Ben agar mendongak dan menatap langsung kedalam matanya.
Ben memusatkan perhatiannya dan seketika itu Hayaning menariknya, sehingga ia dapat merasakan sensasi yang mendalam dan mendesak dari sapaan bibirnya yang hangat.
Ben terkejut sesaat, tapi tak butuh waktu lama baginya untuk menuruti permintaan Hayaning.
"Masuki sekarang Ben... Aku mohon padamu..." Ia menderu lirih dengan air mata yang terus luruh.
Ben tertegun sejenak, ia menyeka air mata yang jatuh di pipi perempuan itu. "Kenapa menangis?"
Hayaning menggeleng pelan, menatap Ben dengan mata yang berbinar di antara embun yang menggantung. "Aku hanya ingin... mengingat ini. Jadi kumohon, cepat Benji.. "
Ben tentu saja senang dan makin menjadi keinginan nya kala perempuan dibawahnya ini memohon padanya dengan ekspresi penuh dambaan.
"Well, maka saya akan melakukannya!"
JLEB.
"Haaanghhhhh..." Hayaning merasakan sensasi yang mendalam saat Ben mendekatinya dengan penuh kelembutan, menyentuhnya dengan cara yang membuatnya merasa terhanyut dalam gelombang emosi yang intens.
"Ahhh..."
Napas mereka berpadu dalam kehangatan, tangan Ben bergerak lembut di sepanjang punggung Hayaning, menariknya agar kedekatan mereka semakin erat. Sementara itu, jemari perempuan itu menyisir rambut dan punggung tegapnya, membalas dengan kelembutan yang sama.
Hayaning menjerit, seakan jika didengar oleh orang lain maka berpikir bahwa ia tengah kesakitan di dalam kamar.
"Aku—hahhh...mau sa-sampai..." Ia tak dapat lagi menahan ombak yang ingin menerjang, rasanya sudah diujung tanduk.
"Saya belum mengizinkan!"
"Ben..."
Ben merasa resah melihat Hayaning yang tampak memelas. Emosi itu membangkitkan semangatnya untuk terus bergerak mendekatinya dengan penuh perhatian.
Dan terjadilah kekacauan besar dalam kamar yang ditempati Hayaning. Macam kapal pecah, sebab mereka melakukannya disetiap sudut dengan gaya rupa-rupa, dapat dikata pula ekplorasi Ben amat sinting, sehingga Hayaning tak reda-reda memohon dan memelas untuk berhenti.
Lalu kini mereka saling berpelukan nyaman di atas ranjang kasur, tanpa ada lagi kedua pusat benda yang beradu.
"I wanna ask you, Benji," (Aku ingin bertanya padamu).
Ben menatapnya lekat, tangannya bermain merapikan rambut Hayaning. "Tanyakan saja,"
Hayaning nampak sedikit ragu, tetapi ia meyakinkan diri sebelum akhirnya bertanya, "Aku hanya ingin tahu isi hatimu... Well, do you love me?"
Ben tidak menunjukkan keterkejutan. Sebaliknya, senyuman tipis terukir di wajahnya. "Ucapkan lagi?"
Hayaning menghela napas panjang, menatap Ben dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Apakah kamu mencintaiku?" tanyanya lirih.
Ben terkekeh pelan. "Tidak ada perasaan seperti itu dalam diri saya," jawabnya tenang. "Dan tidak akan pernah ada lagi."
Hayaning mengerutkan kening. Jawaban Ben yang lugas seolah tanpa ragu, menimbulkan pertanyaan besar dalam benaknya.
"Kenapa begitu?" Ia mencoba memahami. "Apa kamu telah kecewa terhadap seseorang?"
"Ya."
Jawaban singkat itu semakin membuat Hayaning penasaran. "Maaf jika aku lancang, tapi mengapa? Bukankah kamu bisa kembali membuka hati pada siapapun itu perempuan?"
Ben menatap langit-langit kamar sebelum akhirnya kembali menatap Hayaning. "Saya tak percaya lagi dengan perasaan picisan seperti itu," ucapnya datar. "Dan saya sudah bersumpah untuk tidak menyelaminya lagi."
Hayaning terdiam, merasakan sesuatu mengganjal di dadanya. "Sepertinya luka yang kamu bawa cukup dalam," gumamnya pelan.
Ben hanya tersenyum tipis, seolah membiarkan kata-kata itu menggantung tanpa perlu ia bantah atau benarkan.
"Maaf jika aku terdengar sarkastik, tapi manusia itu punya sifat munafik," lanjut Hayaning. "Sekeras apa pun seseorang menolak perasaan, pada akhirnya hati akan berbicara dengan caranya sendiri."
Ben mengangkat alis, menatapnya lekat-lekat. "Kamu pikir saya akan berubah?"
Hayaning mengangkat bahu, "siapa tahu? Manusia bisa menyangkal sekuat apa pun, tapi pada akhirnya, hati punya caranya sendiri untuk bicara."
Ben kembali terkekeh, "saya memegang prinsip, dan saya tidak akan mengingkari prinsip saya."
Hayaning mend*sah pelan, "kalau begitu, maka kamu akan hidup sendirian sampai waktumu lenyap di muka bumi ini?" Tanyanya lagi dengan getir dalam nada suaranya.
"Ya, banyak pilihan di dunia ini, maka memilih tidak mencintai dan menikah bukan sesuatu besar untuk dipermasalahkan bagi saya."
Hayaning tersenyum, mengasihani diri sendiri. "Ben aku tidak tahu luka apa yang kamu dapat dimasa lalu sampai sebegini nya," ucapnya pelan, mencoba mencari celah di dinding yang baru ia tahu dan sadari, bahwa pria ini telah membangun tembok begitu kokoh terhadap hatinya sendiri.
Sementara Ben tetap menatapnya tanpa ekspresi berlebihan, seolah tak ingin membiarkan emosi masa lalunya kembali muncul ke permukaan. "Masa lalu tidak penting, yang penting adalah keputusan saya sekarang."
"Sepertinya cintamu benar-benar sudah habis pada seseorang itu ya Ben, sehingga kamu mendinginkan hati seperti ini."
"Tidak, saya terlalu geli hati ketika mendengar cinta saya habis kepada sang masalalu. Saya begini karena pilihan saya, dan itu adalah prinsip yang saya pegang."
Jawaban itu tegas dan final, seperti tidak ada kemungkinan untuk bisa merubah cara berpikirnya lagi.
"Kamu tidak takut suatu hari nanti menyesal?" Katakanlah bahwa Hayaning amat tak sopan mengorek-korek privasinya.
Ben kembali mengusap rambutnya dengan lembut, bertolak belakang dengan dinginnya ucapannya. "Menyesal hanya datang untuk mereka yang berharap. Saya sudah tidak punya harapan soal itu."
Hayaning tak bertanya lagi atau menjawab. Ia hanya menatap Ben dalam diam, menyadari bahwa pria ini telah kehilangan sesuatu yang sangat penting—kemampuannya untuk percaya pada cinta.
Entah mengapa, meski tak menghendakinya, ada perih halus yang menyusup ke relung hatinya.
Setidaknya, jika ia tak diberikan kesempatan oleh takdir untuk bersama dengannya, ia berharap pria ini dapat menemukan cinta kembali dihatinya, walaupun bersama dengan siapapun itu kelak.
di tunggu bab selanjutnya 💪😊