Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tubuh yang Bukan Milikku
Suara monitor jantung terus berdetak ritmis di ruang operasi yang penuh tekanan. Vanessa Caelum menekan pelipisnya, mencoba tetap fokus sementara jarum jam sudah melampaui angka kesepuluh. Sudah hampir tujuh jam berlalu sejak ia mulai operasi kraniotomi darurat pada pasien remaja dengan aneurisma pecah. Fokusnya tak tergoyahkan, bahkan saat tubuhnya sendiri mulai mengeluh karena lapar dan letih.
Akhirnya, saat jahitan terakhir selesai dan pasien dibawa keluar, Vanessa melepas sarung tangannya dan menghela napas panjang. Sekujur tubuhnya terasa mati rasa, tapi pikirannya masih terus bekerja.
Di ruang dokter, ia duduk membungkuk di depan meja, mengelus pangkal hidungnya dengan mata tertutup.
Tak lama kemudian, pintu terbuka.
“Gila, kamu masih kuat berdiri?” suara Tania, sahabat sekaligus rekan kerja Vanessa, terdengar sambil masuk membawa dua botol kopi dingin.
Vanessa tersenyum lelah. “Setidaknya pasiennya selamat.”
Tania menyerahkan salah satu botol padanya. “Minum ini dulu. Kamu kelihatan kayak bisa pingsan kapan aja.”
“Thanks,” jawab Vanessa pelan.
Tania duduk di kursi sebelah. “Van, kamu mau dijemput nggak? Kebetulan kakakku mau pulang, searah sama rumah kamu.”
Vanessa langsung diam. Tatapannya menajam.
Tania mengangkat kedua tangan, menyadari kesalahannya. “Ups. Lupa. Maaf. Lupa kalo mantanmu itu… ya, agak toxic.”
Vanessa mengembuskan napas. “Aku bisa pulang sendiri, Tan. Tapi makasih udah nawarin.”
Tania tersenyum tipis. “Ya sudah. Tapi hati-hati, ya. Jangan maksain nyetir kalau ngantuk banget.”
Vanessa mengangguk. “Iya, tenang aja.”
Tania berdiri, lalu seakan ingat sesuatu, mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. “Oh iya, hampir lupa! Nih, aku bawain novel yang lagi viral banget. The Antagonist’s Wife. Aku baru baca setengah, tapi ceritanya gila sih.”
Vanessa menerima novel itu. Sampulnya gelap dengan gambar wanita berdiri di depan istana besar.
“Tentang apa?” tanyanya.
“Cerita tentang permaisuri jahat yang akhirnya dihukum mati karena racunin pelayan istana. Tapi katanya, si pelayan itu ternyata nggak sepolos yang dikira. Ada banyak misteri di balik cerita aslinya.”
Vanessa terkekeh lemah. “Tipe cerita favorit kita banget, ya.”
“Makanya. Baca pas udah sampai rumah. Jangan baca di mobil!” ujar Tania sambil mengedipkan mata.
“Iya, iya,” jawab Vanessa.
Tania memeluknya singkat. “Istirahat yang cukup. Jangan bikin aku panik lagi.”
⸻
Langit malam menggantung kelam saat Vanessa menyetir menembus jalanan lengang. Radio menyala pelan, tapi tak mampu mengusir kantuk yang mulai menari di kelopak matanya.
Matanya sempat terpejam sepersekian detik.
“Tinggal sepuluh menit lagi,” gumamnya. Tapi rasa kantuk seperti menyergap dari segala arah.
Tangannya berusaha menggenggam setir erat. Lalu sebuah kilatan lampu dari mobil lain menyilaukan mata.
Dalam sekejap, semuanya kabur.
Ban tergelincir, suara rem melengking… dan kemudian—
BRUKK!
Tubuh Vanessa terhempas, kepalanya menghantam keras sisi jendela.
Gelap. Hening. Lalu, tidak ada apa-apa lagi.
___
Kepalanya terasa seperti dihantam palu godam. Setiap helaan napas membawa nyeri tajam yang menusuk tengkuk.
Vanessa membuka matanya perlahan. Cahaya hangat menyilaukan pandangan, membuatnya harus memicingkan mata untuk menyesuaikan diri. Tapi ketika akhirnya bayangan di depannya mulai jelas, ia terdiam.
Tempat ini… bukan rumah sakit.
Langit-langit kamar dihiasi lukisan tangan rumit bergaya baroque dengan aksen emas. Tirai berat menjuntai dari langit-langit, sementara sekelompok orang berbusana aneh—seperti keluar dari film sejarah abad pertengahan—berdiri di sekeliling tempat tidurnya.
Salah satu dari mereka sedang menumbuk sesuatu di dalam mangkuk porselen. Yang lain menempelkan kain hangat ke leher dan dahinya.
Apa ini… cosplay? Set film? Aku di mana?
Panik mulai merayap ke dadanya.
“A—aku…”
Seorang wanita tua berambut kelabu tiba-tiba mendongak dan mata tuanya membulat. “Yang Mulia… Yang Mulia telah sadar!”
Suara itu nyaring, penuh air mata. Ia segera tersungkur di samping ranjang, memegang tangan Vanessa dengan gemetar. “Syukurlah… Anda kembali kepada kami…”
Vanessa tercengang. Yang Mulia? Siapa?
Ia membuka mulut untuk bertanya, tapi belum sempat sepatah kata pun keluar, rasa pusing yang luar biasa menyergapnya.
Semua menjadi gelap.
Udara di sekeliling terasa asing. Lembut, terang, dan hening.
Vanessa berdiri di sebuah ruang tak berdinding yang dipenuhi cahaya putih mengambang. Bayangan dirinya tampak memantul ke segala arah meski tidak ada cermin. Suaranya sendiri menggema saat ia berkata pelan, “Apakah ini… mimpi?”
Langkah lembut terdengar dari belakang. Saat Vanessa berbalik, ia melihat sosok wanita berjalan ke arahnya.
Wanita itu mengenakan gaun putih mutiara yang tampak bersinar, rambutnya panjang bergelombang, matanya seindah langit senja—namun menyimpan luka yang dalam.
“Aku telah menunggumu,” ujar wanita itu dengan senyum lembut.
“Siapa kau?” Vanessa bertanya, menahan rasa takut.
“Aku adalah Vivienne Seraphielle d’Aurenhart. Dan tubuh yang kini kau tempati… adalah milikku.”
Vanessa terdiam. Detak jantungnya terasa hampa.
Vivienne melanjutkan, “Aku tidak meminta kehidupan ini. Tidak pula takdir yang membuatku menjadi antagonis dalam cerita yang tak bisa kuubah. Tapi kau—kau adalah harapan terakhirku. Seseorang yang tak terikat oleh naskah, seseorang dari luar cerita.”
Vanessa menelan ludah. “Maksudmu ini… sebuah novel? Dunia fiksi?”
Vivienne mengangguk pelan. “Dunia ini telah ditulis. Tapi takdirku tak adil. Aku hanya ingin satu hal—kesempatan untuk dihakimi sebagai manusia, bukan sebagai karakter jahat. Dan untuk itu, aku membutuhkanmu.”
“Aku sudah mati, kan?” suara Vanessa serak. Ia tahu jawabannya, tapi sulit untuk menerimanya.
Vivienne tidak menjawab langsung. Ia hanya menatapnya penuh belas kasih.
“Tubuhmu sudah hancur. Tapi jiwamu masih utuh. Kau tidak bisa kembali. Tapi kau bisa… hidup lagi. Sebagai aku. Dengan satu syarat.”
Vanessa menarik napas dalam. “Apa?”
“Kau tidak bisa mengubah alur secara kasar. Dunia ini… ditulis. Penulis tidak suka intervensi terang-terangan. Kau harus menyelinap di antara takdir. Mengubah cerita dengan lembut. Jika tidak, dunia akan menolakku. Menolakmu.”
Vanessa tertawa pahit. “Kau bicara seolah ini permainan.”
Vivienne menggeleng pelan. “Tidak, Vanessa. Ini bukan permainan. Ini penebusan.”
Ada keheningan panjang.
Akhirnya Vanessa menatapnya lurus-lurus. “Kalau aku membantu… bagaimana aku tahu kau tidak bohong? Bagaimana aku tahu aku tidak akan mati seperti ceritanya?”
Vivienne mendekat dan menyentuh dada Vanessa, tepat di atas jantungnya. “Karena jika kau mati… aku juga akan benar-benar lenyap. Kita terikat sekarang. Dan bersama-sama, kita bisa menyusun ulang akhir cerita ini.”
___
Napasnya memburu saat kesadaran kembali menghampiri.
Vanessa membuka mata untuk kedua kalinya. Langit-langit megah dengan hiasan emas yang sebelumnya ia lihat masih ada di sana. Wajah-wajah cemas mengelilinginya lagi — pelayan-pelayan muda dengan busana klasik, seorang wanita tua dengan rambut digelung rapi, serta seorang pria paruh baya dengan jubah abu-abu dan lambang singa bersayap di dada.
Namun kali ini, Vanessa tidak panik.
Ia tahu… ini bukan mimpi.
Ia sudah bukan Vanessa Caelum si dokter bedah.
Sekarang, ia adalah Vivienne Seraphielle d’Aurenhart — bangsawan, permaisuri, istri sah sang kaisar… dan wanita yang dicap sebagai antagonis oleh seluruh dunia.
“Yang Mulia… Anda benar-benar telah sadar?”
Suara lirih itu datang dari sisi kiri. Seorang pelayan muda berlutut dengan mata sembab. Wajahnya mungil dan polos, dan saat matanya bertemu milik Vanessa, senyumnya pecah dalam tangis bahagia.
“Sera…” gumam Vanessa pelan — nama itu muncul begitu saja dari mulutnya.
Sera. Pelayan pribadi Vivienne. Orang terakhir yang ada di sampingnya.
Seketika, kilatan memori menyergapnya—seolah layar film diputar di benaknya:
Vivienne berdiri di balkon menara timur, mengenakan gaun malam berwarna hitam. Angin malam menggoyangkan rambutnya yang panjang. Di tangannya, sebotol kecil cairan keperakan bergetar. Wajahnya kosong. Lelah. Putus asa.
“Kalau aku pergi… tidak akan ada yang menangis.”
Ia mengangkat botol ke bibirnya.
Tapi tepat sebelum cairan menyentuh lidahnya, pintu dibuka paksa.
“Yang Mulia!!”
Sera menerobos masuk dan merampas botol itu dari tangan Vivienne. Dalam pergulatan panik, botol terjatuh dan pecah, namun Vivienne yang sudah kehabisan napas terjatuh tak sadarkan diri di lantai marmer.
Jerit Sera memenuhi ruangan malam itu.
Napas Vanessa tercekat saat memori itu menghilang. Dada Vivienne… dadanya sendiri sekarang, terasa berat menanggung luka yang bukan miliknya.
Tapi… kini menjadi tanggung jawabnya.
⸻
“Sera,” Vanessa berkata lirih, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Terima kasih… telah menyelamatkanku.”
Pelayan muda itu terisak dan menggenggam tangan Vanessa erat. “Saya pikir… saya telah kehilangan Anda, Yang Mulia. Dunia ini akan sangat sunyi tanpamu.”
Vanessa memaksakan senyum. Dalam hati, ia berkata,
“Aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi dirimu, Vivienne. Tapi… aku janji, aku akan mencoba.”
Dari kejauhan, langkah kaki bergema. Seorang pelayan membisikkan sesuatu pada wanita tua yang berdiri di samping ranjang. Sang wanita mengangguk dan menoleh ke arah Vanessa dengan hormat.
“Yang Mulia… perwakilan dari Istana Kekaisaran akan datang besok pagi untuk menyampaikan pesan dari Kaisar.”
Detak jantung Vanessa berhenti sejenak.
Kaisar. Maxime Théo Leclair d’Aragon.
Suami sah Vivienne. Pria yang bahkan dalam naskah cerita tak pernah menyebut nama Vivienne tanpa nada dingin.
Dan sekarang, Vanessa harus menghadapi takdirnya.
double up thor
ya udah cerai aja vanesa