Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Perubahan Sikap.
Reagen yang baru saja turun dari mobilnya memilih berdiam diri setelah mendapati sosok seorang gadis yang baru-baru ini dipacarinya berjalan masuk ke dalam gedung sekolah.
Zenaya tampak bahagia. Aura wajahnya yang berseri-seri itu justru membuat Reagen merasa sangat muak.
Andai saja dia tidak dijebak oleh ketiga teman brengseknya, Reagen pasti tidak akan sudi memacari gadis yang telag menjadi syarat taruhan mereka.
Reagen bisa saja menolak keras jika saja Leon tidak dengan beringas merebut salah satu mobil kesayangannya dan menyita benda tersebut.
"Cuma satu bulan, Rey. Mobil ini akan kembali kalau kamu berhasil mengambil hati Zenaya dalam waktu satu bulan! Curi satu ciuman darinya dan kamu akan menang!" ujar Leon saat itu.
"Brengsek!" umpat Reagen. Meski bergelimang harta, dia tidak mungkin mengabaikan mobil mewah pemberian ayahnya yang kini sedang berada di luar negeri.
Kekesalan Reagen semakin menjadi saat mengetahui bahwa Zenaya ternyata salah satu gadis yang tergila-gila padanya, padahal saat itu Leon berkata bahwa di antara para gadis di sekolah, hanya Zenaya lah yang tidak menaruh perasaan pada lelaki itu.
Bagaiman Reagen tahu? Tentu saja dari pembicaraan gadis itu bersama teman-temannya di kelas yang tidak sengaja dia dengar.
Zenaya bahkan menaruh perasaan padanya sejak duduk di kelas satu.
Mengingat hal tersebut, Reagen bertekad untuk menjauhi Zenaya. Apa lagi semua syarat telah berhasil dia laksanakan, jadi tidak ada salahnya jika dia mengakhirinya tanpa menunggu Leon dan yang lain.
"Loh, sendirian aja nih? Biasanya ditemani pangeran tampanmu itu!" ujar salah satu siswi pada Zenaya.
"Rey sudah mulai bosan kali." Tawa sinis terdengar dari salah seorang siswi lain. Dengan kurang ajar gadis itu mengelus rambut panjang Zenaya dan menghempaskannya kasar.
"Menjijikan!" umpatnya sebelum pergi meninggalkan Zenaya.
Zenaya terdiam sejenak sebelum kemudian melanjutkan langkahnya menuju kelas.
...***...
Zenaya lagi-lagi mengembuskan napasnya dengan raut gelisah. Isi kepalanya kini sedang penuh memikirkan Reagen yang terasa semakin berjarak setelah tidak lagi berangkat dan pulang sekolah bersama.
Reagen bahkan tidak lagi repot-repot menemaninya istirahat atau mengajaknya berlatih basket. Satu-satunya komunikasi yang masih mereka lakukan hanyalah melalui pesan singkat saja.
Zenaya semula tidak ingin mempermasalahkan sikap Reagen, tetapi cemoohan para gadis yang menyadari kerenggangan hubungan mereka membuat Zenaya memberanikan diri bertanya pada sang kekasih keesokan harinya.
...***...
Suara riuh para penonton menggema memenuhi lapangan basket. Para gadis berteriak menyemangati masing-masing pemain kesayangan mereka yang akan berlaga kali ini, dan nama Reagan lah yang paling banyak dielu-elukan dari tribun penonton.
Suasana ceria tersebut berbanding sangat terbalik dengan Zenaya yang terlihat murung dan kurang bersemangat.
"Ada apa, Zen? Biasanya kamu semangat banget menonton Rey bertanding." Grace menyenggol bahu Zenaya agak keras.
"Tidak apa-apa. Aku cuma sedikit gugup," kilah Zenaya yang enggan membuat ketiga sahabatnya khawatir.
"Tenang saja, tim kita pasti akan menang lagi. Kan, ada Rey!" timpal Alice dengan raut menggoda.
Zenaya tersenyum kaku.
Sepanjang pertandingan gadis itu berusaha menikmati permainan basket terbaik Reagen. Namun, pikiran-pikiran tak nyaman tetap saja enggan pergi dari benak gadis itu. Terlebih, ketika Reagen untuk kesekian kalinya membuang muka saat mata mereka tanpa sengaja bertatapan.
Tanpa terasa pertandingan pun berakhir dengan kemenangan sekolah mereka selama empat kali berturut-turut.
"Kami duluan ya, Zen." Emily, Grace, dan Alice melambaikan tangannya pada Zenaya. Gadis itu meminta ketiga sahabatnya untuk pulang duluan karena akan menemui Reagen di ruang ganti.
Zenaya membalas lambaian tangan mereka sebelum kemudian pergi menyusuri koridor menuju ruang ganti para pemain.
"Selamat ya, Rey." Langkah Zenaya sontak terhenti ketika mendengar suara seorang gadis tengah menyebut nama Reagen.
"Terima kasih."
Di ujung koridor, tepatnya di depan ruang ganti, Reagen terlihat sedang berdiri bersama Natalie. Lelaki itu rupanya telah selesai berganti pakaian dan hendak pergi bersama Natalie.
Hati Zenaya terasa kebas saat Natalie dengan penuh perhatian merapikan helaian rambut Reagen, dan juga membantunya menggulung lengan kemeja lelaki itu sampai siku.
Dilihat dari sisi mana pun, keduanya memang tampak sangat serasi. Reagen yang tampan bersanding dengan Natalie yang cantik dan anggun. Belum lagi Reagen tampak tidak keberatan dengan sikap penuh perhatian yang Natalie tunjukkan.
Sebisa mungkin Zenaya menahan air matanya. Keinginan untuk menemui Reagen menguap seketika. Dia tidak lagi membutuhkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini. Pemandangan barusan sudah cukup memberi Zenaya jawaban.
Zenaya melangkah pergi. Namun, sebuah suara merdua memanggil namanya.
"Zen!" panggil Natalie.
Zenaya sontak menghentikan langkahnya dan tersenyum menatap Natalie.
"Benar, Zen, ternyata!" sahut Natalie yang berhasil menyusul Zenaya.
"Halo, Natalie," sapa Zenaya dengan nada biasa.
"Mau menemui Rey, ya?" tanya Natalie tanpa basa-basi.
"Ah, aku hanya sedang mencari toilet." Jawab Zenaya berbohong.
"Oh, begitu." Natalie menoleh ke arah Reagen yang berdiri tidak jauh dari mereka. "Lain kali saja ya, Rey? Lebih baik kamu antar Zenaya pulang dulu," pinta gadis itu.
"Eh, jangan! Aku bisa pulang sendiri, kok!" Zenaya yang merasa tidak enak dengan cepat menolak permintaan Natalie.
Natalie terdiam sejenak. "Kalau begitu kita makan malam bersama saja. Reagen mengajakku makan di salah satu restoran langganan kami. Kamu ikut ya, Zen?" Gadis itu menatap Zenaya dengan pandangan memohon, begitu pun saat menatap Reagen.
"Terserah saja." Jawab Reagen sembari berjalan meninggalkan kedua gadis itu.
Natalie tersenyum senang. Tanpa menunggu persetujuan Zenaya, dia pun menarik tangannya dan menyusul Reagen.
Zenaya hanya bisa terdiam saat Natalie memilih duduk di sebelah Reagen saat masuk ke dalam mobil. Lelaki itu sama sekali tidak meminta dirinya, yang notabene sang kekasih, untuk duduk bersama di kursi depan. Alhasil, dia pun duduk di kursi belakang bersama setumpuk peralatan dan tas Reagen.
Zenaya benar-benar menyesal ikut makan malam dengan kedua orang itu. Pasalnya, Zenaya merasa seperti pengganggu yang hadir di tengah-tengah kencan sepasang kekasih, padahal jelas-jelas dia lah kekasih Reagen saat ini.
Belum lagi sikap Reagen yang sangat dingin padanya. Jika Natalie tidak menyuruh lelaki itu bicara, Reagen pasti tidak akan melibatkan dirinya dalam pembicaraan ringan mereka.
Hati Zenaya terkoyak. Tidak ingin tersiksa lebih lama, dia memutuskan untuk pamit pulang terlebih dahulu.
"Kamu pulang bareng Rey saja ya, Zen. Kebetulan rumah kalian searah dan aku tidak," ucap Natalie.
Zenaya sontak menolak keras. "Aku akan naik taksi saja. Kebetulan aku ingin mampir ke suatu tempat dulu." Zenaya berdusta.
"Ah, begitu rupanya. Baiklah, sampai jumpa besok ya, Zen," sahut Natalie sambil melambaikan tangannya. Sementara Reagen sama sekali tidak bersuara.
Zenaya mengangguk dan pergi meninggalkan mereka berdua.
Diam-diam Natalie menarik sudut bibirnya sedikit.
Rasakan itu!
Begitu masuk ke dalam taksi, Zenaya tidak bisa lagi memendam kesedihannya. Dia menangis tersedu-sedu saat mengingat sikap Reagen.
Entah apa salahnya, hingga membuat lelaki itu berubah drastis. Zenaya bahkan menganggap sikap Reagen kemarin-kemarin seperti mimpi belaka.
"Aku salah apa?" gumam Zenaya terisak.