Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode ke-14
Hari ini adalah hari pembagian rapor Dion dan Voni. Ya, Dion sudah tahu bahwa dia akan mendapatkan piala lagi. Di sekolah mereka, siswa yang mendapatkan peringkat satu, dua, dan tiga umum akan menerima piala. Rasanya Dion sudah sangat bosan dengan hal itu. Ini sudah kali kelima dia menerima piala karena selalu masuk tiga besar.
“Ion, aku takut banget deh kalau peringkatku turun!” ujar Voni dengan nada pesimis. Voni yang duduk di samping Dion itu sejak tadi banyak berdoa dan terlihat gelisah. Sementara itu, Dion tetap fokus membaca bukunya. Ya, Voni memang tergolong malas, tapi gadis itu selalu berada di peringkat enam. Lumayan, sih. Tapi bukan karena dia pintar—melainkan karena Dion selalu bersusah payah membantunya. Sejak TK, gadis ini memang selalu bergantung pada Dion.
“Aduh, Ion! Kamu nggak deg-degan gitu kayak aku?” tanya Voni sambil menatap Dion yang masih fokus membaca bukunya. Sepertinya Dion tidak tertarik membahas kekhawatiran Voni. Lagipula, pertanyaan Voni cukup aneh. Kalau nilai Dion selalu 100, bahkan di latihan-latihan pun sama, apa yang harus dia khawatirkan?
“Iya, deh. Aku tahu kamu pasti nggak mungkin turun nilainya, Ion. Tapi setidaknya, kamu bisa menenangkan aku yang pesimis dan malas ini,” ujar Voni dengan nada menggerutu. Dion tetap diam, hanya menggelengkan kepalanya. Voni pun meletakkan wajahnya ke atas meja, menatap Dion beberapa detik, lalu menenggelamkan wajahnya dengan tangan sebagai alas agar tidak langsung menempel di meja.
Setelah beberapa saat, Dion menutup bukunya dan mengelus kepala Voni.
“Besok-besok jangan pacaran dulu, ya, Von. Kamu juga jangan malas belajar. Kupikir kamu bakalan bodo amat dengan nilai. Ternyata kamu nggak semalas itu mikir, ya. Hahaha,” ujar Dion memberi nasihat. Ya, dia cukup kaget ternyata Voni masih punya kekhawatiran.
Voni memutar kepalanya menatap Dion. “Aku takut, Ionnn,” ujarnya manja. Dion, yang masih mengelus kepala gadis itu, kini melepaskan tangannya lalu mencubit hidung Voni.
“Besok-besok jangan pacaran dulu, ya. Fokus ke aku aja,” ujar Dion sambil tersenyum.
“Ha? Fokus ke kamu? Maksudnya?” tanya Voni dengan ekspresi bingung. Dion tersadar atas ucapannya lalu buru-buru meralat.
“Maksudku, fokus kayak aku gitu,” jawab Dion berusaha membetulkan maksudnya. Entahlah, memang itu maksud sebenarnya atau tidak. Tapi biarkan saja seperti itu.
Setelah lama berbincang, bel sekolah berbunyi. Namun kali ini bukan tanda masuk kelas, melainkan tanda agar semua siswa keluar dan berbaris di lapangan.
“Ih, malas banget deh harus baris. Panas,” ujar Voni menggerutu pada Dion. Dion melihat temannya itu yang bermalas-malasan, menggeleng-gelengkan kepala, lalu menarik tangan gadis itu.
“Maunya digendong, Ion,” ujar Voni dengan nada manja. Ya, Voni memang selalu seperti itu pada Dion. Dia manja sekali. Itulah sebabnya ketika Voni pacaran, Dion merasa ada yang hilang darinya. Mungkin karena dia sudah terlalu terbiasa dengan keberadaan Voni yang selalu membebaninya.
Dion tanpa berpikir panjang langsung jongkok dan menyuruh Voni naik ke punggungnya.
“Naik,” ujar Dion dengan santai. Voni langsung meloncat ke punggung Dion yang kekar itu. Ya, Dion membawa Voni sampai ke lapangan. Emangnya nggak ada yang komentar sinis? Tentu saja ada, bahkan ada yang cemburu.
“Apa sih cewek kayak gitu?”
“Murah banget jadi cewek.”
“Kok Dion mau sih sama cewek pemalas begitu?”
“Dengar-dengar sih dia jadi beban Dion.”
Begitulah komentar para manusia ‘sempurna’ yang gemar mengomentari hidup orang lain. Namun, Dion tidak pernah ambil pusing dengan itu. Bahkan, dia sering secara terang-terangan menunjukkan perhatiannya pada Voni. Begitu juga dengan Voni—awalnya dia juga cuek, namun sejak mulai pacaran, dia sempat berubah.
Setelah sampai di lapangan, mereka berdua berbaris sesuai posisi. Dion berada di depan Voni. Karena matahari cukup terik, Dion sengaja berdiri di depannya agar gadis pemalas itu tidak langsung terkena sinar matahari. Kurang perhatian apa lagi Dion ke Voni? Dari hal besar sampai hal sepele, semua dia perhatikan.
Seperti yang sudah diprediksi, nama Dion dipanggil untuk menerima piala. Voni terlihat sangat bangga dan tanpa malu-malu meneriakkan nama Dion dari barisan. Para penggemar berat Dion langsung menatap Voni dengan pandangan sinis, tapi Voni tidak peduli.
“Bahkan saat matahari terik, dia mau berteriak dengan semangat karena bangga padaku. Padahal tadi dia malas banget bergerak, malas kena matahari. Tapi lihat, dia sangat antusias,” ujar Dion dalam hati, menatap gadis pemalasnya itu.
Dion pun tersenyum dan menunjukkan pialanya ke arah Voni, seakan ingin berkata, “Kamu pasti bangga kan punya aku?”
Setelah acara pembagian piala selesai, siswa-siswa diperbolehkan masuk kelas untuk mengambil rapor bersama orang tua. Voni mendapat peringkat tujuh, sesuai yang dia khawatirkan sebelumnya. Wajar saja, Dion memang sempat malas membantu Voni ketika dia pacaran. Seperti biasa juga, akan banyak siswa yang memberi ucapan selamat kepada Dion. Bahkan mejanya sudah dipenuhi bunga, cokelat, dan surat cinta dari para penggemar.
Namun, ada satu orang yang sedang ditunggu Dion: Reta.
Di mana dia? Bagaimana hasil nilainya?
Tapi yang datang justru sahabat Reta.
“Halo, Dion,” sapa gadis itu. Awalnya Dion tidak tertarik. Dia berpikir gadis ini sama saja seperti yang lainnya.
“Kenalin, aku Valeri. Aku mau nyampein ucapan terima kasih dari Reta. Katanya, berkat kamu nilainya aman semua. Bahkan dia masuk peringkat lima besar,” ujar Valeri, sahabat Reta.
Dion heran. Ke mana Reta?
Oh ya, mungkin kamu bertanya-tanya: kok bisa masuk lima besar padahal sering remedial? Sebenarnya remedial yang dilakukan Reta bukan karena nilainya jelek, tapi karena dia disuruh mengulang supaya hasilnya lebih memuaskan. Awalnya Dion juga bingung, tapi dia akhirnya mengerti.
“Kenapa nggak Reta aja yang langsung ngomong ke gue?” tanya Dion dengan dahi mengernyit.
Valeri hanya mengangkat bahu, tanda dia juga tidak tahu. Lalu dia pergi meninggalkan Dion yang masih dipenuhi tanda tanya.