Susah payah Bellinda Baldwig mengubur cintanya pada mantan suami yang sudah menceraikan enam tahun silam. Di saat ia benar-benar sudah hidup tenang, pria itu justru muncul lagi dalam hidupnya.
Arsen Alka, berusaha mendekati mantan istri lagi saat mengetahui ada seorang anak yang mirip dengannya. Padahal, dahulu dirinya yang menyia-nyiakan wanita itu dan mengakhiri semuanya karena tidak bisa menumbuhkan cinta dalam hatinya.
Haruskah mereka kembali menjalin kisah? Atau justru lebih baik tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NuKha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 30
Arsen dan Colvert duduk berhadapan di salah satu meja yang bisa mudah melihat bagaimana aktivitas restoran cepat saji CoBell. Dari posisi mereka dapat menyaksikan Bellinda yang sedang membantu karyawan melayani pelanggan.
Bisnis kecil milik Bellinda itu setiap hari memang ramai. Tapi, kalau weekend justru bisa dua atau tiga kali lipat. Makanya ia sering menitipkan Colvert pada Merry saat sabtu dan minggu.
Ada sekitar sepuluh karyawan di sana. Tapi tetap saja kalau sedang ramai terasa kurang. Jadilah Bellinda yang turun tangan. Kondisi itu hanya terjadi saat weekend, dan masih bisa dihandle dengan tenaganya. Jadi, ia tidak mencoba mencari pegawai tambahan karena dirasa menghemat biaya tenaga kerja juga.
Di depan Arsen dan Colvert sudah tersaji dua soft drink dan burger. Bellinda memberikan secara gratis supaya tidak terlalu bosan ketika menantinya selesai bekerja.
Pandangan dua pria yang umurnya terpaut tiga puluh tiga tahun itu menatap ke arah yang sama. Siapa lagi kalau bukan sosok Bellinda yang ramah sekali melayani pelanggan.
Ada seutas senyum miring di wajah Arsen. Dia merasa malu sekali sudah menuduh mantan istri tidak bisa melakukan apa-apa. Nyatanya wanita itu menghasilkan uang sendiri, menghidupi sangat baik anaknya, memberikan kehidupan yang layak tanpa kekurangan sedikit pun.
Arsen tahu kalau Bellinda lahir dari keluarga kaya, Baldwig memiliki perusahaan di Asia dan Eropa, itulah sebabnya dahulu ia dijodohkan oleh orang tuanya. Tapi, namanya terpaksa, jadilah saat itu tak ada cinta dan pikirannya tertutup oleh kebencian.
Tapi sudah pasti CoBell bukan dibawah perusahaan keluarga Baldwig karena tidak memiliki cabang. Sudah pasti belum tergolong bisnis besar. Kemungkinan milik Bellinda sendiri.
Arsen menghela napas. Mau menyesal tapi semua sudah terjadi.
“Jangan dilihat terus, nanti kau suka mommyku.” Di bawah meja, kaki Colvert menendang Arsen supaya berhenti memandang area kasir di mana Bellinda sedang berdiri.
Arsen memalingkan wajah, kini pandangannya terisi anaknya. “Memang kenapa kalau aku menyukai mommymu? Kau tidak setuju?” Dia tidak marah karena Colvert masih ketus, justru kini tengah mengacak-acak rambut bocah itu dengan gemas.
“Tidak boleh, nanti kau menyakitinya lagi.” Colvert mencebikkan bibir dan menatap tajam pertanda tidak suka.
Arsen tersenyum kecut. Menohok sekali sindiran anaknya. “Katanya kau akan memberiku kesempatan kalau mommymu juga sama. Kenapa sekarang mendadak berubah haluan?”
Colvert memutar bola mata hingga terlihat semakin menggemaskan. “Em ... setelah dipikir-pikir, mommyku terlihat bahagia hanya bersamaku. Tapi terkadang dia bisa tiba-tiba mengeluarkan air mata saat menatapku terlalu lama, katanya aku mirip dengan Daddy.” Dia melihat sosok Bellinda yang sedang dibicarakan. “Aku tidak mau menghilangkan senyumnya walau sebenarnya aku ingin memiliki keluarga seperti teman-teman. Ada Mommy, Daddy, dan aku, atau mungkin adik. Tapi, kalau keinginanku membuat Mommy sedih, lebih baik tidak.”
Arsen tertegun. Dia sampai bungkam dan tidak bisa berkata apa-apa. Benarkah yang ada di hadapannya itu anak usia lima tahun? Kenapa pemikirannya dewasa sekali dan sangat jauh?
“Kebahagiaan Mommyku adalah bahagiaku juga. Aku cukup senang mengetahui kalau memiliki Daddy dan sekarang bisa bertemu langsung. Walau ternyata dalam bentuk menyebalkan.” Masih sempat Colvert mengejek Arsen.
Tapi, Arsen tidak menanggapi. Dia melihat sorot mata takut yang dipancarkan oleh Colvert. Perkataan anak itu seakan meremas sesuatu di balik tulang rusuknya.
“Kalau pria yang kau panggil Daddy itu.”
“Steven?”
“Ya. Apa kau menyukainya? Dan menurutmu dia bisa membuat mommymu bahagia dibandingkan hidup bersamaku? Lebih layak menjadi Daddymu?”
🤣🤣🤣🤣🤣🤣