Tanpa gaun putih, tanpa restu keluarga, hanya akad sunyi di balik pintu tertutup.
Aku menjalani hari sebagai pelayan di siang hari… dan istri yang tersembunyi di malam hari.
Tak ada yang tahu, Bahkan istri sahnya yang anggun dan berkelas.
Tapi apa jadinya jika rahasia itu terbongkar?
Saat hati mulai berharap lebih, dan dunia mulai mempertanyakan tempatku…
Istri Siri Om Majikan adalah kisah tentang cinta yang lahir dari keterpaksaan, tumbuh di balik status yang tak diakui, dan perjuangan seorang perempuan untuk tetap bernapas dalam cinta yang ia tahu tak pernah boleh ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34
Keesokan paginya, kota Bandung diselimuti kabut tipis dan udara sejuk yang menusuk hingga ke tulang. Gedung megah yang menjadi markas relasi bisnis Elray Dinamik tampak ramai dengan aktivitas, namun Jordan Milan Elric tidak datang untuk sekadar menandatangani kerja sama.
Ia datang dengan harapan. Langkahnya tegas saat memasuki ruang rapat eksklusif lantai lima. Setelan jas hitamnya tampak sempurna, tapi sorot matanya penuh gelisah. Fathan menyusul di belakangnya, terus memantau suasana.
Seorang pria berkacamata menyambut mereka."Selamat datang, Tuan Jordan. Mitra sosial kami juga sudah hadir di dalam. Kami sangat antusias dengan kolaborasi lintas sektor ini."
Jordan hanya mengangguk singkat. Langkahnya semakin cepat menuju ruangan pertemuan. Dan saat pintu terbuka…
Matanya langsung tertumbuk pada seorang perempuan berhijab biru muda, wajahnya teduh, senyumnya ramah. Dari belakang, dari samping, bahkan dari cara duduknya semua mengingatkan Jordan pada Syifa.
Dadanya berdegup kencang. Harapan membuncah. Langkahnya pelan, nyaris tak terdengar.
"Syifa...?" gumamnya nyaris tak terdengar.
Perempuan itu sontak menoleh ke sumber suara. Dan dalam sekejap, semua harapan itu runtuh.
Bukan. Bukan Syifa, wajahnya sekilas mirip, memang. Tapi bukan mata yang sama. Bukan senyum yang meneduhkan hatinya selama ini. Bukan suara lembut yang dulu selalu menyambutnya setiap pulang.
"Maaf, Bapak Jordan?" sapa perempuan itu sopan, bingung dengan tatapan intens di wajah tamunya.
Jordan mengedipkan mata, menarik napas tajam, lalu menunduk singkat. "Maaf... saya kira Anda seseorang yang saya kenal."
Perempuan itu tersenyum ramah, lalu melanjutkan presentasi. Di sisi lain ruangan, Fathan menatap Jordan dengan pandangan khawatir. Ia tahu betul, kekecewaan itu bukan sekadar salah orang. Itu luka lama yang dibuka paksa. Harapan yang baru saja tumbuh, lalu dicabut ke akar.
Setelah pertemuan selesai, Jordan memilih diam. Di balkon gedung itu, ia berdiri menatap hamparan kota Bandung di bawah.
"Aku benar-benar kehilangan dia, Than..." ucapnya pelan. "Dan yang lebih menyakitkan aku nggak tahu kenapa."
Fathan menunduk, tak sanggup berkata apa-apa. Angin menyapu rambut Jordan yang mulai kusut oleh lelah dan waktu, tapi matanya tetap tajam memandangi kejauhan.
Masih berharap, Syifa ada di luar sana. Dan belum terlambat untuk menjemputnya pulang.
Setelah pertemuan usai dan semua pihak mulai meninggalkan ruang rapat, Jordan tetap berdiri membisu di tepi balkon lantai lima. Pandangannya menerawang jauh menembus kabut tipis kota Bandung yang menyelimuti pagi itu.
Fathan mendekat perlahan, berdiri di sebelahnya tanpa banyak bicara. Ia tahu, saat seperti ini, Jordan tak butuh nasihat atau penguatan. Ia hanya butuh ruang.
Beberapa detik kemudian, Jordan menghela napas panjang. Bahunya terlihat sedikit menurun, seperti beban yang terlalu lama dipanggul.
"Than…" gumamnya pelan, tanpa menoleh.
"Aku pamit dulu. Mau cari angin sebentar."
Fathan menatapnya penuh khawatir.
"Sendiri aja, Bos? Mau saya temani?"
Jordan menggeleng pelan.
"Nggak usah. Aku butuh ruang buat mikir... dan buat nahan diriku sendiri supaya nggak kehilangan arah."
Ia melangkah perlahan, menuruni tangga darurat daripada mengambil lift. Meninggalkan Fathan yang hanya bisa memandangi punggungnya yang tampak kuat, tapi sesungguhnya rapuh karena luka yang belum sembuh.
Di luar gedung, angin pegunungan Bandung bertiup lembut. Jordan berjalan menyusuri trotoar, tanpa tujuan pasti. Hanya membiarkan langkahnya mengikuti hatinya yang gundah. Di kepalanya, hanya ada satu nama yaitu Syifa Mutmainnah Azzahra.
Dan satu pertanyaan yang belum terjawab, Kenapa kamu pergi tanpa pamit?
Langkah Jordan menyusuri trotoar kota Bandung terasa lambat. Matanya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya tak pernah benar-benar hadir di tempat ia berpijak.
Segalanya terasa hampa sejak Syifa menghilang. Setiap detik seperti menggores luka yang sama. Senyuman lembut Syifa, suara tawanya yang menenangkan, bahkan cara perempuan itu merapikan dasi kerjanya setiap pagi semua masih melekat begitu jelas.
Jordan cepat-cepat menguasai diri. Ia tersenyum tipis, menahan ribuan pertanyaan yang bergemuruh di dadanya.
Jordan melangkah gontai ke arah mobil sportnya. Sepatu kulit mahalnya seolah tak mampu meredam kekosongan yang menggema dari dalam dadanya.
Ia membuka pintu mobil, duduk di kursi kemudi, lalu menarik napas panjang sebelum menyalakan mesin. Deru mesinnya meraung nyaring, kontras dengan hati Jordan yang justru hening dan penuh sesal.
Tanpa arah pasti, Jordan menginjak pedal gas dan membiarkan mobilnya melaju di jalanan kota yang mulai senyap.
Hingga akhirnya ia memutuskan menuju ke sebuah taman kecil di pinggiran kota tempat biasa orang tua membawa anak-anak mereka bermain, tempat yang dulu tak pernah ia lirik sekalipun.
Namun di tengah perjalanan, kenangan pahit itu kembali menyerangnya seperti tamparan keras.
"Aku nggak pernah punya rencana untuk punya anak, Syifa… Kalau memang kamu hamil kita harus gugurkan."
Kata-katanya sendiri terpantul-pantul di kepalanya, memekakkan telinga, mengoyak batin. Ia mengernyit, menggenggam kemudi kuat-kuat seolah sedang mencoba menahan luka yang mendadak menganga.
Kala itu, Syifa hanya diam. Tidak menangis dan tak membantah. Tapi tatapannya tatapan yang seolah menjerit dalam diam itu yang kini menghantui Jordan. Tatapan perempuan yang tidak hanya hancur, tapi juga kehilangan harapan. Dan kini, bahkan bayangan Syifa pun tak mampu dijangkau lagi.
Jordan membelokkan mobilnya ke jalur lambat. Tenggorokannya terasa kering bukan karena panas, tapi karena perasaan sesak yang terus menekan dadanya.
Di kejauhan, papan merah putih bertuliskan Alfamart terlihat menyala. Ia memutuskan singgah sejenak.
Mobil sport hitam itu berhenti di depan minimarket kecil itu, mencolok di antara kendaraan lain. Jordan turun, mengenakan hoodie hitam dan masker, berusaha tak menarik perhatian siapa pun.
Ia melangkah masuk, dan aroma pendingin ruangan langsung menyambutnya dingin dan tak berjiwa, seperti hatinya saat ini.
Tanpa banyak berpikir, ia mengambil beberapa botol minuman isotonik dan sebotol air mineral besar. Diambilnya juga dua kaleng kopi dingin bukan karena ingin, tapi hanya untuk mengisi sesuatu yang kosong di tangannya. Seolah benda-benda itu bisa sedikit memenuhi kekosongan di hatinya.
Saat hendak membayar, mata Jordan terpaku pada rak kecil di dekat kasir. Rak yang dipenuhi jajanan anak-anak, permen warna-warni, dan botol susu rasa stroberi dengan gambar kartun. Dadanya tiba-tiba sesak lagi.
“Seandainya aku gak bilang hal itu ke Syifa… mungkin sekarang aku lagi nyari susu buat anakku sendiri.” cicitnya.
Langkahnya sempat tertahan. Pandangannya kosong. Tapi ia cepat mengalihkan wajah, meletakkan minuman di kasir dan mengeluarkan dompet.
"Totalnya seratus dua puluh ribu, Kak," ucap kasir muda itu ramah.
Jordan hanya mengangguk, membayar tanpa suara, lalu membawa kantong belanjaannya keluar. Tapi suara tangisan anak kecil dari arah parkiran membuatnya kembali menoleh.