The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.
Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.
Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Di Lautan Es
Bab 32: Ujian di Laut Es
Tiga hari berlalu dengan cepat, terasa seperti melintasi lorong waktu di dalam perut FX Vault Tank 805. Kapal canggih itu melesat tanpa henti, membelah kedalaman samudra. Tawa kecil Noval yang menceritakan teori konspirasi tentang makhluk laut purba, celotehan Rivani yang mengomentari segala hal, serta kehangatan sup buatan Intan, telah membuat suasana di dalam kapal terasa lebih hidup. Solara, dengan kostum biru sleek-nya yang kini terasa seperti kulit kedua, perlahan mulai terbiasa dengan lingkungan barunya, bahkan berlatih dengan Yuni di ruang simulasi kecil.
Namun, kehangatan itu tak bertahan lama.
Pada hari ketiga, sensor kapal mulai berteriak. Layar holografik di ruang kontrol berkedip merah. Suhu air laut di luar mendadak menurun drastis, menjatuhkan angka ke titik ekstrem yang belum pernah mereka lihat.
"Ada apa ini?" tanya Bagas, matanya memicing ke arah layar. "Suhunya… ini lebih rendah dari Antartika. Jauh lebih rendah."
Rendi memeriksa data. "Kedalaman es mencatat adanya formasi masif di depan kita. Suhu air merosot tajam, mencapai titik beku yang abnormal."
Tiba-tiba, suara decitan mengerikan menyelimuti seluruh kapal. FX Vault Tank 805 bergetar hebat, lalu berhenti total. Lampu-lampu di dalam berkedip redup, menciptakan bayangan-bayangan menakutkan.
"Kita terjebak!" teriak Rivani, matanya membelalak saat melihat ke arah jendela observasi 360 derajat. Di sana, yang tadinya adalah lautan biru gelap, kini menjadi hamparan es tebal yang membeku dalam sekejap mata. Lautan di sekeliling mereka telah berubah menjadi penjara es yang dingin dan tak bergerak.
"Sial!" Bagas menggebrak konsol. "Mesin berhenti total! Suhu di dalam kapal juga mulai menurun drastis!"
Dingin mulai merambat. Hawa dingin yang menusuk tulang menembus lambung baja kapal, membuat napas mereka memutih. Kepanikan mulai terasa.
Dira melangkah maju, memindai setiap data di layar, otaknya bekerja keras. "Kita tidak bisa bertahan lama dalam suhu seperti ini. Sistem vital kapal akan mati membeku." Ia menatap hamparan es di luar. "Kita harus mencairkan ini. Cepat."
"Cairkan? Dengan apa?" Noval bertanya, suaranya sedikit gemetar. "Kita tidak punya pemanas seukuran itu!"
Semua mata beralih ke Solara. Sang putri berdiri di sana, dengan kostum birunya yang mencolok, wajahnya kini pucat pasi. Ia merasakan panik. Kekuatan kosmiknya masih sulit ia kendalikan. Yuni, yang berdiri di sampingnya, menggenggam tangan Solara, mencoba menenangkan.
"Solara," kata Dira, suaranya tegas namun mengandung harapan. "Kau harus melakukan ini. Ini satu-satunya cara. Gunakan energi kosmikmu untuk mencairkan es itu."
Solara menatap Dira, matanya dipenuhi keraguan. "Aku… aku tidak tahu apakah aku bisa. Kekuatanku masih… belum stabil."
"Kau bisa," Yuni meyakinkan, menatap Solara dengan mata penuh keyakinan. Selama tiga hari terakhir, Yuni telah melatih Solara. Bukan hanya latihan fisik, tetapi juga meditasi spiritual untuk membantu Solara terhubung dengan energi di dalam dirinya. "Fokus. Rasakan energi dari batu di dadamu. Biarkan ia mengalir."
"Tapi bagaimana kalau aku menghancurkan kapal ini?" bisik Solara, kepanikannya mulai meningkat.
"Daripada kita semua mati membeku, aku pilih ambil risiko dihancurkan," celetuk Rivani, berusaha mencairkan suasana dengan sedikit humor gelap. "Lagipula, ada asuransi, kan, Dira?"
Dira mengabaikan Rivani, menatap Solara dengan serius. "Tidak ada pilihan lain, Solara. Kita harus mencoba. Aku yakin kau bisa. Ingat semua latihanmu dengan Yuni."
Solara menarik napas dalam-dalam. Ia melihat wajah-wajah tim The Vault yang penuh harap bercampur ketegangan. Ia melihat tatapan Bagas yang mendorongnya, senyum tipis Rendi yang menyemangati, antusiasme Noval yang tak pernah padam, dan keyakinan Yuni yang menenangkan. Ini bukan hanya tentang dia, ini tentang mereka semua.
"Baiklah," katanya, tekad mulai terpancar dari matanya.
Dengan bantuan Bagas, pintu darurat di atas kapal terbuka. Hawa dingin yang membekukan langsung menyerbu masuk, membuat mereka menggigil. Solara melayang keluar, tubuhnya terangkat ke udara di atas kapal yang membeku. Ia melayang di tengah hamparan es yang tak berujung, diselimuti angin dingin yang menusuk.
Kostum birunya terlihat kontras dengan putihnya es di sekelilingnya. Solara menutup matanya, memusatkan perhatian. Ia merasakan energi kosmik biru di dalam dadanya berdenyut, bagai jantung kedua yang berdetak dengan irama alam semesta. Ia mengarahkan kedua tangannya ke arah permukaan es yang menjebak kapal.
Dadanya mulai menyala biru terang, tempat batu permata itu tertanam. Cahaya biru itu merambat ke seluruh tubuhnya, mengikuti pola di kostumnya, lalu memancar kuat dari telapak tangannya. Matanya juga mulai menyala biru terang, bagai dua bintang kecil di tengah badai salju. Aura kosmik biru menyelimuti dirinya, membuat rambutnya berkibar-kibar.
Ia melesatkan energi kosmik itu. Sinar biru tipis, seukuran jari kelingking, menembus permukaan es di depan kapal.
Hasilnya… di luar nalar. Es itu mendesis kecil, lalu muncul lubang seukuran koin di permukaan es, dan kemudian kembali membeku dalam hitungan detik.
Tim The Vault yang mengamati dari jendela observasi 360 derajat menepuk jidat.
"Hanya segitu?" Noval menghela napas panjang. "Aku kira bakal ada ledakan kosmik yang mencairkan semua es Antartika."
"Itu lebih kecil dari kotoran burung penguin," Rivani menambahkan, tidak bisa menahan kekecewaan. "Oke, Putri, serius, ini bukan latihan meditasi!"
Solara sendiri merasakan keputusasaan. Ia sudah berusaha keras, tapi energi yang keluar hanya seukuran itu. Ia mencoba lagi. Cahaya biru kembali memancar dari tangannya, kali ini sedikit lebih besar, seukuran bola tenis. Lubang kecil lain muncul di es, tapi lagi-lagi, langsung membeku kembali.
"Suhu es ini terlalu ekstrem," kata Bagas, melihat data di layar. "Energi yang dihasilkan Solara tidak cukup untuk melawan dinginnya."
"Solara, fokus!" teriak Dira dari dalam kapal, suaranya dipenuhi ketegangan. Ia tahu Solara bisa lebih dari ini. "Jangan pikirkan ukurannya! Rasakan energi itu! Biarkan ia mengalir!"
Solara menutup matanya lagi, mencoba mengabaikan rasa dingin yang menusuk dan bisikan kegagalan di benaknya. Ia mengingat semua yang Yuni ajarkan. Bukan tentang seberapa besar kau bisa memancarkan, tapi seberapa dalam kau bisa terhubung.
Ia mencoba lagi. Kali ini, ia tidak hanya memusatkan energi ke tangan, tapi ke seluruh tubuhnya. Aura biru di sekelilingnya membesar. Ia mencoba mengeluarkan energi dari intinya, dari jiwanya, bukan hanya dari batu permata di dadanya.
Sebuah gelombang energi biru yang sedikit lebih lebar—seukuran piring—melesat. Es di depan kapal mulai retak dengan bunyi krak yang lebih keras. Namun, retakan itu hanya berlangsung sepersekian detik sebelum kembali membeku, membuat mereka semua frustrasi.
"Percuma!" teriak Rivani, menggebrak dinding kapal. "Kita akan membeku di sini! Aku tidak mau jadi pajangan museum es!"
Yuni melangkah maju, meletakkan tangannya di kaca jendela, seolah mencoba menyalurkan energinya ke Solara. "Solara, kau lebih dari batu itu! Batu itu hanya memicu. Kekuatan sesungguhnya ada di dalam dirimu! Kau bisa melakukannya! Rasakan hubungannya dengan air, dengan alam di sekitarmu!"
Solara mendengar suara Yuni. Air. Alam. Ia teringat Naga Azhurath, sang penjaga air di Arcadia Terra. Ia teringat bagaimana energi air begitu lembut namun kuat. Ia harus memadukan kekuatan kosmiknya yang brutal dengan kelembutan air.
Ia membuka matanya. Tatapannya kini lebih tenang, namun tajam. Ia tidak lagi mencoba memancarkan energi secara langsung. Ia mencoba mengendalikan es itu sendiri. Memanipulasi molekul air yang membeku.
Energi biru di tubuhnya tidak lagi meledak-ledak. Ia menjadi lebih stabil, memancar dengan frekuensi yang lebih rendah, namun terasa jauh lebih kuat. Ia memusatkan semua energinya ke titik di bawah lambung kapal, tempat es paling tebal menjebak mereka.
Perlahan, es di bawah kapal mulai bergetar. Bunyi krak kecil berubah menjadi gemuruh dalam. Retakan-retakan besar mulai menjalar di permukaan es, bukan hanya di satu titik, tapi di seluruh area yang menjebak kapal.
"Dia berhasil!" seru Noval, matanya berbinar. "Itu dia! Kekuatan kosmik sejati!"
Suhu di dalam kapal mulai naik perlahan. Es di sekeliling FX Vault Tank 805 bergemuruh dan bergetar hebat. Solara tampak menahan napas, mengerahkan setiap serat kekuatannya. Keringat dingin membasahi dahinya, meskipun suhu di luar begitu membekukan.
BOOOOM!
Dengan suara ledakan dahsyat, es di sekeliling kapal pecah berkeping-keping! Air laut yang tadinya membeku kini kembali mengalir, membawa pecahan-pecahan es raksasa yang terbawa arus. Kapal FX Vault Tank 805 terbebas, terapung di antara puing-puing es.
Solara terhuyung di udara, tubuhnya lemas. Aura biru di sekelilingnya meredup, matanya kembali ke warna aslinya. Ia berhasil. Ia benar-benar berhasil.
Dari dalam kapal, tim The Vault bersorak. "Kita bebas!" teriak Bagas.
Rivani menepuk-nepuk punggung Noval. "Aku tarik kata-kataku. Putri Kosmik Biru memang luar biasa! Dia menyelamatkan bokong kita!"
Dira menatap Solara yang kini perlahan turun kembali ke geladak kapal. Rasa lega membanjiri dirinya. Ia tahu Solara akan menjadi kekuatan yang tak terduga dalam misi ini. Namun, ia juga tahu ini hanyalah permulaan.
Solara mendarat dengan lutut bergetar di geladak, tubuhnya lemas, kelelahan. Yuni segera menyambutnya, memeluknya erat. "Kau hebat, Solara! Kau berhasil!"
"Aku… aku bisa," Solara terengah-engah, senyum tipis terukir di bibirnya. Batu permata di dadanya berdenyut samar, kelelahannya terasa menusuk.
Tiba-tiba, dari kejauhan, di tengah pecahan-pecahan es yang bergerak, siluet-siluet gelap muncul. Mereka bergerak dengan cepat, meluncur di atas es, tampak seperti bayangan hantu.
"Apa itu?" tanya Bagas, mengarahkan teropongnya.
Dira segera melihatnya. Wajahnya mengeras. "Makhluk-makhluk dari Hyperborea Zenith. Para Ghuls es. Dan… mereka bergerak dengan pola serangan."
Tepat saat itu, salah satu dari siluet itu mengeluarkan raungan panjang yang memekakkan telinga, bukan raungan binatang buas, melainkan jeritan yang terasa dingin dan mengerikan, penuh ancaman.
Ini bukan sambutan yang bersahabat. Perjuangan mereka di Hyperborea Zenith baru saja dimulai, dan tampaknya, Zwarte Sol sudah menunggu mereka.
Bagaimana tim The Vault akan menghadapi para Ghuls es yang misterius di tengah lautan yang penuh pecahan es? Apakah Solara, yang baru saja menggunakan kekuatannya secara masif, akan bisa bertarung lagi?