NovelToon NovelToon
Debaran Hati

Debaran Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:772
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Titik Terang

Debby berhenti terpaku di tepi kerumunan, menyaksikan pemandangan kacau di depannya. Haryati dan Fathia masih saling serang, disaksikan sorakan riang gembira dari para ibu-ibu. Marcella dalam pelukan Naura histeris, sementara Naura sendiri terisak tak berdaya. Pak Harjo tampak putus asa mencoba melerai.

Tiba-tiba, Subeni muncul dari arah belakang, berlari tergopoh-gopoh. Ia baru saja kembali dari mencoba mencari pekerjaan. Melihat istrinya terlibat baku hantam, ia segera menerobos kerumunan.

"Hentikan! Hentikan ini sekarang juga!" seru Subeni, suaranya menggelegar penuh amarah dan keputusasaan. Dengan sekuat tenaga, ia menarik Haryati menjauh dari Fathia, sementara Naura berusaha menenangkan Marcella.

Haryati yang sudah kalap meronta. "Lepaskan aku, Yah! Perempuan iblis ini harus diberi pelajaran!"

Fathia, yang terlepas dari cengkeraman Haryati, menyeringai sinis. "Dasar keluarga gembel! Memang pantas kalian menderita!" ejeknya, suaranya meninggi agar terdengar oleh semua orang.

Para ibu-ibu yang tadinya bersorak riang gembira kini berbisik-bisik. "Wah, suaminya ikut datang!" "Makin seru nih!"

Pak Harjo menghela napas lega melihat Subeni datang. "Syukurlah, Pak Subeni. Bantu saya melerai mereka!"

Naura menghampiri ibunya yang masih dipenuhi amarah. "Ibu, cukup! Marcella ketakutan, Bu!"

Namun, ejekan Fathia kembali memicu amarah Haryati. "Diam kamu, Fathia! Kamu yang membuat kami seperti ini!" Haryati berhasil lolos lagi dari pegangan Subeni, lalu menerjang ke arah Fathia dan langsung menjambak rambutnya dengan kasar.

"Aduh! Lepaskan! Sakit!" teriak Fathia, kini ganti ia yang kesakitan.

Pertengkaran kembali pecah. Subeni dan Naura panik, mencoba memisahkan Haryati dan Fathia lagi. Suasana kembali heboh, dengan teriakan, rintihan, dan sorakan. Pak Harjo hanya bisa memijat pelipisnya, merasa pusing dan tak berdaya menghadapi kegilaan di depan matanya.

Debby yang melihat semua kekacauan ini merasa muak. Ia melihat Naura yang menangis dan Marcella yang histeris, namun ia juga melihat betapa Haryati dan Fathia tak ada hentinya saling serang. Hatinya tergerak untuk membantu, namun melihat bagaimana keributan ini terus berlanjut tanpa henti, ia merasa semuanya sia-sia. Ia tidak bisa lagi menahan diri di sana. Dengan langkah berat, Debby membalikkan badan dan pergi meninggalkan kerumunan itu. Ia butuh ketenangan setelah semua drama yang ia alami dengan Hendro, dan kini ia menyaksikan drama keluarga lain yang tak kalah memusingkan. Ia hanya berharap suatu keajaiban akan menghentikan semua kekacauan ini.

****

Subeni dengan sekuat tenaga akhirnya berhasil menarik Haryati yang masih kalap menjauh dari Fathia. Napas Haryati terengah-engah, matanya memerah menahan amarah, namun ia tak lagi bisa menerjang. Naura segera memeluk ibunya, menenangkan Marcella yang masih histeris dalam dekapannya.

Pak Harjo, pemilik kontrakan, yang sedari tadi dibuat pusing oleh keributan ini, kini berdiri tegak di hadapan Fathia. Wajahnya yang biasanya ramah kini tampak geram. Ia sudah muak dengan ulah Fathia.

"Cukup! Cukup semua ini!" bentak Pak Harjo, suaranya menggelegar. Ia menunjuk Fathia dengan jari telunjuknya. "Kamu! Saya tahu semua hasutanmu! Kamu sudah membuat onar di sini dan meresahkan warga! Saya tidak akan membiarkanmu lagi!"

Fathia terkejut mendengar kemarahan Pak Harjo. Senyum sinis di wajahnya memudar. "Apa maksud Bapak? Saya hanya..."

"Tidak ada alasan lagi!" potong Pak Harjo tegas. "Semua hasutanmu kini tidak mempan untuk saya. Saya sudah tahu kamu yang memfitnah mereka. Sekarang, pergi dari sini! Jangan pernah lagi muncul di lingkungan ini!"

Wajah Fathia memerah menahan malu dan amarah. Rencananya hancur. Ia tidak menyangka Pak Harjo akan mengetahui kebusukannya.

"Ini tidak bisa dibiarkan!" teriak Fathia, menatap Pak Harjo dan keluarga Naura dengan tatapan penuh dendam. "Kalian semua akan menyesal! Aku bersumpah akan membalas dendam! Kalian akan lihat!"

Haryati, yang masih dipeluk Subeni, tersenyum tipis melihat kemarahan Fathia yang tak lagi bisa berulah. "Rasakan itu, dasar iblis!" ejek Haryati.

Namun, di tengah semua itu, Marcella masih histeris dalam pelukan Naura, tangisnya tak berhenti. Trauma melihat neneknya berkelahi di depan mata masih membekas kuat. Naura berusaha menenangkan putrinya sambil menatap Fathia dengan sorot mata lelah dan prihatin.

Sementara itu, para ibu-ibu yang tadinya menonton dan bersorak riang, kini justru melayangkan protes pada Pak Harjo. "Yah, Pak! Kenapa diusir? Kan masih seru!" teriak salah seorang ibu dengan nada kesal.

"Iya nih, Pak! Sudah nunggu lama malah disuruh bubar!" timpal yang lain, seolah mereka adalah penonton sebuah pertunjukan yang terganggu.

Pak Harjo hanya mengabaikan omelan para tetangga itu. Ia fokus pada Fathia yang masih berdiri di sana dengan tatapan mengancam. "Pergi sekarang juga, atau saya panggil polisi!" ancam Pak Harjo.

Fathia mendengus kesal. Ia melirik sinis ke arah Naura dan keluarganya sekali lagi, lalu berbalik dan pergi dengan langkah tergesa-gesa, meninggalkan ancaman balas dendam yang menggantung di udara. Meskipun Fathia telah terusir, keluarga Naura tahu bahwa ini bukanlah akhir dari masalah mereka. Dendam Fathia kini semakin membara, dan ia pasti akan kembali dengan rencana lain yang lebih kejam.

****

Empat bulan berlalu sejak Hendro mulai menjalani perawatan intensif di rumah sakit jiwa. Selama itu, Reksa tak pernah absen menjenguk putra satu-satunya itu. Setiap kunjungan adalah perjuangan emosional, melihat Hendro yang agresif, berteriak, dan terjerat dalam delusi. Namun, Reksa tak menyerah. Ia terus berdoa dan berharap, yakin bahwa di balik semua kekacauan itu, ada secercah harapan untuk putranya.

Dokter Bima, psikiater yang menangani Hendro, selalu menyambut Reksa dengan laporan perkembangan yang jujur. Bulan pertama dan kedua, kabar yang diterima Reksa nyaris selalu sama: Hendro masih sangat agresif, menolak obat, dan terus mencoba menyerang petugas. Reksa hanya bisa pasrah, namun hatinya tak pernah berhenti berharap.

"Pak Reksa, Hendro hari ini masih sama. Agresif, dan terapinya sedikit terhambat karena penolakannya," ujar Dokter Bima suatu hari di awal perawatan.

Reksa hanya mengangguk lemas. "Saya mengerti, Dok. Lanjutkan saja apa yang terbaik."

Namun, memasuki bulan ketiga, ada perubahan kecil yang mulai terlihat. Hendro mulai tidak lagi menyerang perawat, meskipun masih sering mengurung diri dan berbicara sendiri tentang Debby.

"Ada sedikit kemajuan, Pak Reksa. Hendro sudah tidak lagi sebrutal dulu. Respons terhadap obatnya juga mulai terlihat," jelas Dokter Bima, memberikan sedikit harapan.

Reksa merasakan kelegaan yang luar biasa mendengar itu. "Syukurlah, Dok. Terima kasih banyak."

Kini, setelah empat bulan penuh perjuangan, Reksa kembali duduk di hadapan Dokter Bima. Wajah dokter itu tampak lebih cerah dari biasanya.

"Pak Reksa, ada kabar baik," kata Dokter Bima dengan senyum tipis. "Setelah empat bulan perawatan intensif, dengan kombinasi obat dan terapi psikolog yang konsisten, kita akhirnya menemukan titik terang."

Jantung Reksa berdebar kencang. Ia menunggu kelanjutan ucapan dokter dengan napas tertahan.

Hendro sudah mulai tenang, Pak. Ia tidak lagi agresif dan brutal seperti dulu. Responsnya terhadap lingkungan juga semakin membaik. Ia sudah bisa diajak berkomunikasi, meskipun terkadang masih ada sedikit delusi yang muncul," terang Dokter Bima. "Ini adalah kemajuan yang sangat signifikan."

Air mata Reksa tumpah. Air mata syukur. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Selama ini, ia terus berjuang sendiri, setelah kepergian Nirmala yang begitu menyakitkan. Kini, ia melihat cahaya di ujung terowongan untuk putranya.

"Syukurlah, Dok. Syukurlah," ucap Reksa lirih, rasa haru memenuhi dadanya. "Saya tidak tahu harus berterima kasih bagaimana."

"Ini adalah hasil kerja keras kita semua, Pak Reksa, dan juga kerja keras Hendro sendiri yang mulai menunjukkan kemauan untuk sembuh," jawab Dokter Bima. "Proses pemulihan ini memang panjang, tapi setidaknya, kita sudah melewati fase tersulitnya."

1
kalea rizuky
klo ortu agus gk bs nrima ywda
kalea rizuky
lanjut
Serena Muna: terima kasih kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!