Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Langit siang itu bergelut dengan awan kelabu, seakan menyerap keresahan yang diam-diam menyelimuti ruangan hangat di dalam butik milik Aluna. Wangi lavender dari diffuser di pojok ruangan belum mampu menenangkan kegelisahan yang tumbuh di antara dua manusia yang tengah berdiri dalam keheningan yang terasa nyaring.
Aluna menatap Zayyan yang duduk bersandar di sofa butik, masih mengenakan kemeja putih yang belum sempat ia setrika rapi. Cangkir kopinya sudah dingin, tapi pria itu tak bergeming. Diam. Menunggu. Menjaga.
"Zayyan, apakah kau tidak akan pergi bekerja hari ini? Bukan maksudku untuk mengusir mu dari sini, akan tetapi ini sudah lewat jam masuk bekerja mu," tanya Aluna dengan nada lembut namun penuh kecemasan.
Zayyan mendongak. Tatapan teduhnya yang selalu berhasil menenangkan badai di dada Aluna kini tampak sedikit lelah. "Aku mengambil cuti hari ini," jawabnya singkat.
Aluna terdiam. Ia tahu betul—Zayyan telah mengambil jatah cuti beberapa minggu yang lalu saat menemaninya melakukan wawancara dengan salah satu stasiun televisi lokal. Tak mungkin ia punya sisa cuti sekarang.
"Zayyan... apakah kau mengambil cuti gara-gara aku?" tanyanya lirih, perasaan bersalah menyusup masuk perlahan-lahan.
Zayyan tersenyum samar, lalu berdiri dan menghampiri Aluna. Ia menggenggam tangan gadis itu, hangat dan mantap. "Ya, jujur saja... Setelah kejadian kemarin malam, aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini. Aku khawatir Niko akan kembali mengganggumu. Aku hanya ingin memastikan kau aman."
Aluna menatap ke dalam mata Zayyan. Tatapan yang selalu menjadi tempatnya pulang. Tapi kali ini, yang ia lihat di sana bukan hanya kasih sayang. Ada ketakutan. Ada beban.
"Tolong jangan lakukan ini untukku, Zayyan. Kau sudah terlalu banyak membantuku. Aku tidak bisa terus-terusan membuatmu melakukan semuanya untukku," bisiknya pelan, namun dalam.
Zayyan menggeleng. "Aluna, berhentilah merasa bersalah untuk sesuatu yang bukan menjadi salahmu. Ini bukan tentang pengorbanan atau bantuan. Ini tentang seseorang yang peduli. Aku tidak ingin bangun besok dan mendengar sesuatu yang buruk terjadi padamu, sementara aku bisa mencegahnya. Aku... tidak sanggup kehilanganmu—"
"Zayyan," potong Aluna, menggenggam balik tangan Zayyan dengan lembut. "Aku mengerti. Tapi aku baik-baik saja. Aku berani karena tahu kau percaya padaku. Itu sudah lebih dari cukup. Tapi pekerjaanmu juga penting. Aku tidak ingin kau kehilangan hal lain hanya karena terlalu sibuk menjagaku."
Zayyan menghela napas panjang. Suaranya lirih. "Kau yakin akan baik-baik saja?"
Aluna mengangguk mantap. "Kau sudah memasang kamera keamanan tambahan, aku bisa menghubungimu kapan saja. Dan... aku juga sudah belajar bagaimana melindungi diriku sendiri. Aku tidak selemah dulu, Zayyan."
Untuk sesaat, hening kembali menggantung di antara mereka. Hingga akhirnya, Zayyan mengangguk kecil dan tersenyum tipis. "Baiklah. Aku akan pergi... tapi hanya jika kau berjanji akan tetap waspada."
Aluna tersenyum dan membentuk gerakan jari kelingking. "Janji."
Zayyan memandangi wajah Aluna sejenak, lalu menunduk mencium puncak kepalanya. "Aku akan segera kembali setelah selesai."
Ia melangkah menuju pintu butik, namun saat tangannya menyentuh kenop pintu, pintu itu terdorong terbuka lebih dulu. Suara derap hak tinggi menghentak lantai butik. Dan sosok Tasya berdiri di ambang pintu dengan wajah menyala oleh amarah.
Tanpa aba-aba, Tasya masuk dan melangkah cepat ke arah Aluna. "Kau benar-benar tak tahu malu!" bentaknya sambil mendorong tubuh Aluna hingga nyaris menabrak meja kerja di belakangnya.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/