Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 34
Badai dalam diri Jeane sama gemuruhnya dengan badai di luar rumah gubuk itu. Setelah menyalakan lilin di samping tempat tidurnya, Jeane merasa kamarnya menjadi semakin sempit saja.
Jeane melihat bayangan dirinya di kaca cermin itu. Blus bordir dengan rok merah menyala itu! Pemberian Baltasar, pakaian bekas dari gundiknya.
Tiba tiba Jeane merasa jijik bahan pakaian itu menempel pada kulitnya. Cepat cepat dilepaskannya pakaian itu dan disambarnya sebuah selimut serta membungkus dirinya dengan selimut itu. Selesai membungkus diri, Jeane memungut pakaian bekas Estela itu, menggulungnya dengan cara sembarang hingga menjadi sebuah buntalan, lalu dengan kepala terangkat ia keluar dari kamarnya, menuju ruang utama.
Baltasar yang sedang berdiri di samping perapian perlahan lahan mengangkat kepalanya ketika melihat Jeane melangkah masuk. Pandangan matanya tampak tidak acuh, tetapi jelas melihat selimut yang dipergunakan Jeane untuk membungkus badannya serta buntalan di tangannya itu.
"Ada apa lagi?" Baltasar bertanya dengan datar. Dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan dengan nada berolok olok, "Apakah kau sudah mempunyai penghinaan penghinaan baru yang akan kau tujukan kepadaku, setelah kau mengetahui bahwa aku dapat berbicara dan mengerti bahasamu?"
"Ini, pakaian gundikmu. Kau boleh mengembalikan itu kepadanya." Jeane melempar buntalan yang dibawanya ke kaki pria itu. Buntalan itu mendarat setengah ke dalam perapian. "Aku tidak mau memakai pakaian itu."
Pria itu memungut buntalan itu dengan cepat dan memegangnya acuh tak acuh. "Tetapi tadi kau kelihatan senang dengan pakaian ini," katanya.
"Tadi!" Suara Jeane bergetar. "Tadi aku tidak menyadari betapa aku membenci segala sesuatu yang ada hubungannya denganmu."
Dengan sengaja bergerak perlahan lahan, pria itu berjalan ke arah Jeane, berhenti sebentar untuk menjatuhkan buntalan itu di atas sebuah kursi, lalu bergerak lagi. Dengan hati menjadi sangat ketakutan, Jeane menguatkan diri untuk bertahan.
"Kalau demikian perasaanmu terhadapku, maka selimut itu juga milikku," kata pria itu dengan seenaknya. "Serahkan itu padaku."
"Tidak!" Jeane menolak dengan terkejut. Secara naluriah, tangannya mencengkeram lipatan selimut itu, merapatkan selimut itu pada tubuhnya, seakan akan setiap saat pria itu akan merebut selimut itu.
"Tetapi selimut itu milikku," kata Baltasar lagi. "Dan karena kau tidak mau semua milikku menyentuh kulitmu, maka aku menghendakinya kembali."
"Baiklah," Jeane menjadi susah bernapas sehingga membuat suaranya menjadi lemah. "Akan kupakai dulu pakaianku sendiri, lalu aku akan mengembalikan selimut ini padamu."
Tetapi sebelum ia sempat memutar tubuhnya, pria itu berkata lagi dengan tegas. "Aku menghendakinya sekarang juga."
"Tidak," Jeane menolak, menggigil ketakutan memenuhi pembuluh pembuluh darahnya.
"Mengapa tidak?" Baltasar mengolok olok. "Karena kau tidak memakai apa apa di balik selimut itu? Tetapi bukankah aku sudah mengenal benar dirimu dalam keadaan telanjang? Aku sudah melihat buah dadamu yang bulat dan padat, pinggangmu yang ramping dan pinggulmu yang memang diciptakan untuk menerima seorang pria."
Jeane merasa pipinya panas terbakar. Ia sudah mau berputar dan lari, takut akan situasi yang ditimbulkannya sendiri. Tetapi tangan pria itu menyambar lengannya, tepat di atas sikunya jari jari tangan itu mencengkeram dengan kekuatan sekeras capit besi. Selimut itu meluncur lepas dari bahu Jeane, apalagi dibantu oleh tangan pria itu yang mendorong selimut dari bahunya. Jeane hampir saja gagal mencegah jatuhnya selimut itu ke atas lantai.
"Aku sudah tahu semua bagian tubuhmu yang cuma bisa dibayangkan oleh Antonio," kata Baltasar. Perlahan lahan pria itu menarik Jeane kepada dirinya. Suaranya menjadi serak.
Namun di balik suara itu, Jeane merasakan adanya kekejaman. Sambil menahan selimut itu pada buah dadanya, Jeane hanya bisa menggunakan satu lengannya dalam usaha medorong pria itu. Tapi tentu saja semua itu sia sia, sebab dengan ke dua lengan yang bebas sekalipun, ia tidak akan mampu melawan kekuatan pria itu. Kepala Baltasar kini menunduk dan Jeane menggeliat menjauhkan mukanya dari ancaman pria itu.
Mulut pria itu mendarat dan menjelajahi lengkung mulus leher Jeane yang terbuka, terasa membakar kulit dengan jilatan jilatan lidah api. Jeane mengangkat tangannya pada rahang keras pria itu, mencoba mendorong kepala Baltasar ,menjauh dari dirinya.
"Mengapa kau tidak membelaiku seperti yang kau lakukan pada Antonio?" Hembusan napas pria itu bermain main di atas leher Jeane. Baltasar menangkap tangan Jeane, dan menahannya pada belakang punggungnya. "Mungkin aku dapat kau bujuk untuk membiarkanmu pergi dari tempat ini."
"Dasar bajingan! Oh betapa aku sangat membencimu!" Jeane meledak marah.
Mendengar kalimat Jeane, lengan di punggungnya itu mengencangkan tekanannya dan pinggul Jeane dirapatkan pada otot otot keras dan kaku pada paha pria itu. Jeane menggeliat ke belakang untuk menghindari sentuhan dada Baltasar, namun buah dadanya malah bergelombang naik turun semakin hebat. Selimut yang terlepas itu menyingkap lebih banyak lagi lengkung dan lekuk tubuh Jeane.
"Benar, harimau betinaku, kau memang membenciku," Baltasar tersenyum. "Kau tentu sangat ingin mencakar dan mencungkil keluar biji mataku. Terus menerus kau melawan, mengabaikan perintah perintahku, walaupun kau tahu bahwa aku akan memaksamu untuk melakukannya. Nasibmu bisa lebih baik seandainya kau penurut dan ketakutan dan tidak senekat ini mau melawan terus."
"Seandainya aku penurut dan ketakutan seperti katamu, kau dan gerombolan bandit banditmu itu pasti sudah memperkosa dan membunuhku ketika Edgar kalian bunuh!" balas Jeane dengan geram.
"Sekarang kau berada dalam tanganku, sepenuhnya bergantung pada belas kasihanku!"
"Apa? Belas kasihan? Kau tahu kau tidak mempunyai belas kasihan! Tidak punya perasaan!" kata Jeane yang kemudian meronta lagi untuk melepaskan diri. Tapi semuanya sia sia. Jeane melihat otot otot rahang pria itu menjadi tegang dan menyadari bahwa ia telah kembali memprovokasi pria itu. Tanpa ampun Baltasar menyerbu mulut Jeane.
Jeane merasa seperti terseret oleh pusaran badai, seluruh panca inderanya goncang.
Kejantanan yang agresif dari Baltasar membuat Jeane terlepas dari semua kenyataan. Tekanan mulut pria itu tidak lagi terasa memaksa, dan justru semakin terasa nikmat. Jeane tidak berdaya untuk melawan perasaannya sendiri. Ia hanya setengah sadar bahwa Baltasar telah sejak tadi melepaskan cengkeraman atas ke dua lengannya. Gerakan tangan pria itu pada pinggul dan punggungnya makin merangsangnya, merapatkan tubuh Jeane pada tubuhnya yang berotot, melepaskan muatan muatan eksplosif yang akhirnya membuat Jeane hanya bisa bergelayut lemas pada pria itu.
Hanya satu erangan lemah bernada protes terlepas dari tenggorokan Jeane ketika pria itu mengangkat tubuhnya ke dalam pelukannya. Baltasar kembali melanjutkan ciumannya yang mampu merenggut semangat Jeane, ketika ia menggendongnya. Suatu gairah primitif sedang timbul dalam diri Jeane dan ia tidak mampu sama sekali untuk menindas nafsunya itu. Jeane membenci pria itu di satu sisi sambil mengakui kehebatan pria itu dalam seni merangsang nafsu. Dibandingkan dengan Baltasar, maka Edgar hanya seorang amatir yang canggung.