Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menghiasi wajah tenang Devan yang tertidur lelap dalam pelukan Nara. Mata Nara perlahan terbuka. Wajah suaminya begitu dekat, damai, dan entah kenapa, menimbulkan rasa nyaman yang tak terduga. Jantungnya berdebar pelan. Bukan debaran gugup, melainkan ketenangan yang menenangkan.
Dengan hati-hati, Nara melepaskan diri dari pelukan Devan. Ponselnya berdering nyaring, memutuskan kesunyian pagi. Ia melihat layar yang menampilkan nama "Mama Gina". Ibu mertuanya.
“Halo, Ma?” sahut Nara, suaranya masih sedikit serak karena baru bangun tidur.
“Sayang, gimana keadaan kalian? Apa kalian sudah bangun?” suara Mama terdengar khawatir.
Nara melirik Devan yang masih tertidur lelap di ranjang pengantin. “Iya, Ma. Aku baru bangun. Kami baik-baik saja kok. Ini aku baru mau pesan sarapan.”
“Oh, syukurlah. Nikmati waktu kalian di hotel ya, Sayang. Kalau perlu, tambah saja waktu menginapnya. Kejadian semalam … mungkin agak mengacaukan malam pertama kalian, ya?” suara Mama terdengar penuh pengertian.
Pipi Nara bersemu merah. “Iya, Ma. Nanti aku bicarakan dulu sama Devan.”
“Baiklah, Sayang. Jangan sungkan-sungkan, ya. Hubungi Mama kalau ada apa-apa.” Mama Devan lalu menutup telepon.
Nara mendeesahkan napas dengan pelan, menatap Devan kembali. Semalam … mereka memang tidak melakukan apa pun. Ciuman-ciuman mereka in-tim, sangat in-tim, tetapi Devan tidak meminta lebih. Padahal, ia sudah siap. Kenapa?
Pertanyaan itu kembali mengusik pikirannya. Kejadian Devan memukul pamannya semalam masih menghantui pikirannya. Mungkinkah itu penyebabnya?
*
Uap hangat dari makanan memenuhi ruangan, membaur dengan aroma tubuh Devan yang baru saja mandi. Pria itu, dengan hanya mengenakan handuk kimono yang setengah terbuka, mendekati Nara yang tengah mengamati hidangan sarapan mereka di meja.
Sentuhan Devan yang tiba-tiba membuat Nara tersentak, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. “Kamu udah selesai mandi?”
“Hem. Kamu udah lapar, ya? Mau sarapan sekarang?” Devan balik bertanya, suaranya lembut, tetapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya. Ia memeluk Nara dari belakang, tangannya mendarat di perutnya.
Nara menoleh, tersenyum tipis. “Iya, dari semalam aku belum makan.”
Sentuhan Devan, kehangatan tubuhnya, semuanya membangkitkan kembali kenangan akan kemesraan mereka semalam—kemesraan yang begitu "tanggung", meninggalkan rasa penasaran dan kegelisahan yang menggantung.
Devan mencium bibir Nara singkat. Ciuman yang terlalu cepat, terlalu ringan, seperti sebuah isyarat untuk menutupi sesuatu. “Kalau gitu, ayo kita makan. Kita harus siap-siap untuk pulang!” Ia melepaskan pelukannya, seolah-olah buru-buru ingin mengakhiri momen tersebut.
Nara menatap Devan dengan tatapan penuh pertanyaan, tetapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Ia membutuhkan waktu, mungkin sambil menikmati sarapan.
“Mama bilang, kita bisa tambah waktu di sini. Menurutmu gimana?” tanya Nara, suaranya terdengar sedikit ragu.
Devan mengunyah makanannya pelan, menatap Nara sesekali. “Nggak bisa, Nara. Kita harus pulang. Sore ini aku ada kerjaan penting. Aku juga belum diskusi sama Papa soal kejadian tadi malam …” Kalimatnya terhenti, diselingi oleh helaan napas yang berat. Rasa bersalah terlihat jelas di wajahnya, melihat Nara yang masih tampak syok.
“Semalam …” Suara Nara sedikit gemetar, mengungkapkan kegelisahan yang terpendam.
Devan sudah menduga apa yang akan Nara tanyakan. “Aku minta maaf tentang kejadian semalam, Nara,” ucapnya dengan suara rendah, dan menunduk. “Aku kehilangan kendali.”
“Bukan itu, Dev!” Nara menyela, kemudian menarik napas dalam-dalam. “Kita berciuman, sangat in-tim. Tapi … kamu tidak meminta lebih. Kenapa?” Pertanyaan itu terlontar, membuka lembaran baru dalam dinamika hubungan mereka yang masih rapuh.
Pertanyaan Nara membuat pria itu terkejut hingga menyemburkan makanannya. Devan terbatuk-batuk, wajahnya memerah. Ia buru-buru meneguk air, mencoba untuk menetralisir rasa canggung yang memenuhi ruangan.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Nara, terlihat khawatir. Ia segera menyelesaikan sarapannya dan dengan lembut mengusap punggung Devan.
“Em … itu …” Devan tampak berpikir keras, mencari jawaban yang tepat. Ia tak ingin membuat Nara salah paham, tetapi ia juga belum siap untuk jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Kamu masih terlalu lemas, ya? Kamu kehilangan energi?” Nara menebak dengan hati-hati, mencoba memahami situasi Devan.
Devan mengangguk, mengerti bahwa mereka seharusnya telah melakukan hubungan suami istri semalam. Mereka baru menikah, dan seharusnya momen itu menjadi penyatuan yang sempurna.
“Em, iya … nggak tau kenapa tubuhku rasanya sangat lemas. Aku takut kamu kecewa kalau aku di kondisi yang nggak maksimal,” jawab Devan, suaranya terdengar ceria, tetapi ada sedikit kepura-puraan di dalamnya.
“Em, begitu ya.” Nara sebenarnya merasa sedikit malu membicarakan hal ini, tetapi sebagai suami istri, ia ingin memastikan apa yang dirasakan Devan.
“Kalau hari ini … gimana?” tanya Nara, mengangkat sebelah alisnya, mencoba untuk bersikap sedikit menggoda.
Jantung Devan berdebar kencang. Ia harus menemukan jawaban yang lebih logis untuk menghindar. Pandangannya jatuh ke tangan mereka yang bertaut, kemudian ke perut Nara. Lalu, sebuah ide muncul di benaknya.
“Aku bukannya nggak mau melakukannya sama kamu, Nara tapi … aku khawatir sama anak kita di perut kamu,” ucap Devan, suaranya terdengar sedikit gugup.
Nara menatap Devan dengan bingung. Ia belum hamil, kenapa Devan berpikir seperti itu?
“Kamu pasti bingung, ya?” Devan melanjutkan, mencoba menjelaskan dengan nada yang lebih lembut. “Maksudku, waktu itu kita melakukannya tanpa pengaman. Kita juga sama-sama mabuk waktu itu. Kalau waktu itu 'jadi' dan efek alkohol itu sangat tidak baik, bukankah kita hanya akan memperburuk keadaan anak kita kalau tetap melakukannya?”
Penjelasan Devan terdengar dipaksakan, tetapi setidaknya berhasil mengalihkan perhatian Nara. Ia berharap Nara akan menerima alasannya ini, meski ia tahu ini bukan kebenaran sepenuhnya. Kebohongan ini, untuk saat ini, merupakan cara terbaik yang ia temukan untuk melindungi hubungannya dengan Nara.
***
Kenapa harus bohong sih, Bwang Dev? 🥲
Gaskaann....untuk unboxing Dev.....😆😆
lanjutkan kak Itta..... mosok di potong adegan pemersatu Bangsa nya 🤭🤭😄
lanjut bab berikutnya, semangat 💪🏾
jgn lupa tmn begadang☕🍜