Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10.
Ruang gawat darurat dipenuhi dengan suara-suara panik yang menegangkan. Suara monitor berbunyi cepat, langkah kaki para tenaga medis terdengar tergesa-gesa, dan perintah-perintah darurat dilontarkan dengan nada tinggi. Dokter yang memimpin langsung mengambil defibrilator, meletakkannya di dada Pak Surya yang mulai membiru. Dalam sekejap, ruang itu dipenuhi ketegangan dan harapan.
"Clear!" seru dokter.
Tubuh Pak Surya terangkat sedikit saat kejutan listrik disalurkan ke dadanya. Detik berikutnya, mesin monitor menunjukkan denyut ... satu garis ... dua garis ... dan akhirnya kembali ke pola detak jantung yang stabil. Para tenaga medis menghela napas lega, namun ketegangan belum sepenuhnya reda. Pasien harus segera dipindahkan ke ICU.
Sementara itu, di luar ruang perawatan, Arman dan Bu Soraya berdiri berjauhan. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi suasana di antara mereka panas seperti bara. Keduanya sama-sama tegang, sama-sama memeluk dada sendiri, dan menatap ke arah pintu ruang rawat dengan sorot mata cemas.
Di balik kecemasan itu, masing-masing menyimpan kegelisahan yang berbeda. Arman takut kehilangan ayahnya tanpa pernah benar-benar berdamai. Sedangkan Bu Soraya ... takut kehilangan kuasa dan harta.
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang dokter dengan wajah serius melangkah keluar. Arman langsung maju cepat, langkahnya panjang dan penuh dorongan. Bu Soraya menyusul, berdiri persis di sampingnya, seolah ingin ikut mendengar langsung tanpa memberi ruang.
"Bagaimana keadaan papa saya, Dok?" tanya Arman, suaranya terdengar lebih gugup dari biasanya.
"Pak Surya sudah stabil. Tapi beliau harus dirawat di ruang ICU untuk pemantauan intensif," jelas dokter dengan tenang. "Kami mohon, jangan sampai memancing emosi beliau terlalu dalam. Bisa berakibat fatal."
Arman mengangguk. "Baik, Dok."
Dokter dan tim perawat berlalu, menyisakan dua orang dengan dendam yang belum usai. Pandangan mata mereka bertemu—tajam, menusuk, penuh ketegangan yang tidak kalah dengan situasi medis tadi.
"Lihatlah!" desis Bu Soraya dengan suara rendah tapi sarkastik. "Gara-gara kelakuan kamu, papamu hampir mati."
Arman mendengus sambil melipat tangan di dada. "Lucu, ya. Kamu bicara seolah-olah benar-benar peduli. Bukannya kamu senang kalau papa mati? Bisa langsung dapat warisan, kan?"
Bu Soraya terdiam. Matanya menyipit, wajahnya menegang. Ucapan Arman terlalu tepat, terlalu jitu menyentuh niat yang selama ini ia sembunyikan di balik wajah manis dan gaun mewahnya.
Tak ingin buang waktu lebih lama, Arman memutar tubuh dan pergi begitu saja. Langkahnya mantap, meninggalkan jejak amarah yang belum padam. Dia tidak sudi terus berada di satu ruangan dengan wanita yang telah menghancurkan rumah tangga orangtuanya. Apalagi beradu mulut soal moral.
Di parkiran rumah sakit, langkah Arman terhenti sesaat ketika melihat sebuah mobil sport merah menyala berhenti tidak jauh dari mobilnya. Pintu mobil terbuka, dan dari dalamnya keluar seorang wanita muda dengan kacamata hitam besar dan tas branded menggantung di lengannya. Dia adalah Citra.
Anak tiri, pewaris gelap, simbol kejatuhan kehormatan keluarga Abimana di mata Arman dan Arka. Meski tidak pernah mengucapkan satu pun kata makian, cukup dari pandangan matanya saja semua itu sudah tersampaikan.
"Arman?" panggil Citra dengan suara datar.
Arman hanya melirik sekilas. Tatapannya dingin dan senyum sinis. Lalu, dia melangkah melewati wanita itu seolah angin lalu. Tidak ada sapaan, tidak ada basa-basi. Seakan Citra bukan siapa-siapa.
Baginya, berurusan dengan preman atau perampok lebih bisa ditoleransi daripada harus bicara dengan anak dari wanita perusak keluarga. Dalam diam, Arman lebih memilih luka lama daripada mengakui keberadaan mereka sebagai bagian dari hidupnya.
Citra berdiri kaku di tempat dengan napas memburu. Kedua tangan mengepal erat di sisi tubuhnya. Tatapannya mengikuti punggung Arman yang semakin menjauh. Hatinya diliputi rasa sakit dan marah—campuran dari dendam lama dan luka yang terus diungkit.
"Kalian berdua selalu melihatku sebagai musuh ... padahal aku tidak pernah minta lahir dari wanita yang kalian benci," batinnya gemetar.
Bibir Citra tetap terkatup rapat. Dia tidak akan menunjukkan kelemahan, apalagi di depan Arman. Dia bersumpah suatu hari nanti, keluarga ini akan tunduk padanya. Satu-satunya cara untuk mencapai itu adalah menjatuhkan mereka lebih dulu.
Sementara itu, di ruang kerjanya yang luas dan bergaya minimalis, Arka menghantam meja kayu jati dengan kepalan tangan yang mengeras. Suara pukulan bergema, menyatu dengan suara detak jam dinding yang terdengar lebih nyaring karena ketegangan yang menumpuk. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras, dan bola matanya berkilat oleh kemarahan.
"Dia itu selalu saja berbuat sembrono! Apa otaknya tidak berfungsi dengan benar!" geram Arka sambil mondar-mandir di dalam ruangan. Suaranya bergema di antara dinding kaca dan rak-rak buku yang rapi.
Tangan kanan mengepal, sementara tangan kirinya menahan pinggang. Telepon dari orang suruhannya barusan sukses membuat Arka naik darah. Tidak hanya Arman datang ke rumah sakit, tapi juga membuat kondisi Pak Surya kembali menurun drastis. Ini seperti menabur bensin di atas api konflik keluarga yang sudah lama membara.
Padahal, lima menit yang lalu ia hendak bersiap pulang, melepaskan penat dengan secangkir teh di rumah. Sayangnya niat itu lenyap seperti asap. Ia pun segera meraih ponsel dan menghubungi Arman. Jari-jarinya menari cepat di layar, wajahnya tak kalah tegang.
"Ha—" suara Arman baru terdengar setengah, ketika langsung dipotong oleh teriakan tajam dari Arka.
"Apa kamu bodoh!" bentak Arka, suaranya membuat kaca jendela hampir bergetar.
Dari seberang sana, Arman mendesah panjang. Dia sudah tahu, omelan seperti ini akan datang. Dia hanya tidak menyangka secepat itu.
"Aku cuma kasih sedikit terapi shock sama papa dan gundiknya. Tapi, enggak nyangka reaksinya seperti itu," ucap Arman santai, seolah-olah yang dia buat bukan masalah besar.
"Sudah aku bilang jangan gegabah!" Arka kembali mengangkat suaranya. "Wanita itu bisa membalikkan keadaan. Dia bisa buat kamu masuk penjara atas tuduhan percobaan pembunuhan! Seharusnya kamu sadar posisi kita sekarang. Hubungan kita dengan Papa buruk, dan dia bisa gunakan itu untuk menjatuhkan kita!"
"Iya, iya. Maaf. Aku lupa," ucap Arman, kali ini suaranya terdengar lebih rendah. "Tadi aku terlalu emosi. Masalahnya, Papa minta kita kasih lima persen saham buat anak gundiknya."
Hening sejenak di seberang telepon. Arka berhenti melangkah.
"Apa?!" ucapnya dengan suara berat, penuh tekanan.
"Saking kesalnya, aku bilang boleh aja ... asal Papa ceraikan si Mak Lampir dan masukin dia ke penjara atas tuduhan penipuan dan pembunuhan berencana."
Sesaat, Arka tak mampu menahan tawanya. Suara tawa pendek yang mengandung ejekan meluncur dari tenggorokannya.
"Oh, bagus juga ... ide kamu," balasnya. "Tapi sayangnya itu nggak bisa dipakai sekarang. Kita harus lebih cerdik kalau mau jatuhkan mereka."
"Sudah dulu, ya. Aku lagi nyetir. Semoga sebelum tengah malam udah sampai rumah," tutup Arman sambil mengakhiri panggilan.
Telepon ditutup. Arka mendesah pelan, memijit pelipisnya yang mulai nyeri. Pikiran tentang saham, Pak Surya, dan Bu Soraya berputar-putar di otaknya seperti badai yang enggan mereda. Ia tahu, permainan akan semakin kotor ke depannya.
Arka pun berjalan keluar dari ruang kerja. Udara sore menjelang malam menyambutnya dingin, tapi pikirannya masih membara. Dalam perjalanan pulang, mobil Arka melintasi warung makan kecil yang sudah akrab di matanya: warung milik Hannah.
Tanpa pikir panjang, Arka memutar setir dan memasuki lahan parkir kecil di samping warung. Mobilnya berhenti. Mesin dimatikan.
Dia duduk diam sejenak di balik kemudi, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam diri Hannah yang membuatnya selalu ingin kembali. Padahal, baru beberapa kali bertemu. Tapi ketenangan wajah wanita itu, cara dia menyentuh dunia dengan kesabaran dan senyum hangatnya ... membuat Arka merasa hidupnya yang dingin dan keras mendadak terasa hangat.
"Apa aku sudah gila, ya?" gumam Arka sambil menatap pantulan dirinya di kaca spion.
Senyum kecil terbit di wajahnya. Bukan karena tawa, tapi karena dirinya sendiri yang mulai tidak mengenal siapa dirinya sebenarnya saat berada dekat Hannah.
Sore itu, Arka melangkah masuk ke warung bukan hanya untuk makan, tapi untuk mencari sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata—rasa yang baru dalam hidupnya.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗