Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanya yang tertunda..
Malam kian larut, tetapi kesibukan di ruang tamu kontrakan Nayla belum juga mereda. Berkas-berkas sidang berserakan di atas meja kecil, sebagian masih terbuka, sebagian lainnya ditandai stabilo. Nayla duduk bersila di atas karpet, sementara Aldi duduk menyandar di sofa tua dengan laptop terbuka di pangkuannya. Keduanya terlihat fokus, tapi ada keheningan tipis yang menggantung di antara mereka—bukan karena tidak ada yang ingin dibicarakan, tapi karena ada sesuatu yang belum berani diucapkan.
Aldi meletakkan laptopnya ke meja, lalu menatap Nayla beberapa saat. Ia mengamati wajah itu—lelah, tapi tetap tegar. Mata yang berkali-kali menghindar darinya, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih dari sekadar tekanan sidang.
"Nay," panggil Aldi pelan, suaranya nyaris berbisik.
"Hmm?" Nayla masih menunduk, menyamakan posisi berkasnya dengan file di ponsel.
"Boleh tanya sesuatu yang... agak pribadi?"
Nayla mengangkat wajahnya pelan. "Tanya saja, Di. Aku nggak janji bisa jawab semuanya, tapi aku nggak akan marah."
Aldi menarik napas. Matanya tak lepas dari pandangan Nayla, dan dengan nada hati-hati, ia bertanya,
“Berapa usia kandunganmu sekarang, Nay?”
Pertanyaan itu jatuh seperti batu ke permukaan air yang tenang. Hening. Nayla terdiam, tidak langsung menjawab. Matanya sempat berkedip cepat, dan Aldi menangkap gerakan tangannya yang tiba-tiba mengusap perutnya perlahan—hampir tanpa sadar.
“Empat bulan jalan lima,” jawab Nayla akhirnya, suaranya pelan, seolah takut jika berkata lebih keras, bayi itu bisa mendengar dan merasakan luka hatinya.
Aldi mengangguk pelan. “Aku tahu ini bukan urusanku, Nay. Tapi aku perlu tahu. Karena kalau nanti pertanyaan ini muncul di sidang, aku harus bisa berdiri membelamu tanpa membuatmu terlihat rapuh.”
Nayla tersenyum kecil. Senyum lelah yang tidak sepenuhnya bahagia.
“Terima kasih karena kamu anggap itu penting.”
Aldi duduk lebih tegak. “Itu penting. Karena kamu penting. Dan bayi itu pun penting. Kamu mungkin menganggap aku cuma pengacaramu, tapi selama kita kerja bareng, aku belajar satu hal…”
“Apa?” Nayla menatapnya langsung.
“Kamu bukan perempuan biasa. Kamu perempuan yang dipaksa memilih waras di tengah luka. Aku tahu kamu nggak minta dikasihani, tapi setidaknya, kamu butuh dilihat sebagai manusia yang masih layak dihargai.”
Nayla mengalihkan pandangan, matanya mulai berkaca.
“Malam ini, aku cuma pengin kamu tahu… apa pun hasil sidang besok, kamu nggak sendiri.”
Keduanya terdiam beberapa saat. Hanya suara kipas tua yang berputar lambat di langit-langit.
Aldi kemudian berdiri dan berjalan ke dapur. Tak lama, ia kembali dengan dua gelas teh hangat. Sambil menyerahkan satu pada Nayla, ia berkata dengan nada setengah bercanda, “Ini, racikan teh dari calon ayah—eh, maksudku… calon paman yang perhatian.”
Nayla terkekeh pelan, meski matanya masih sembap.
“Garing banget sih kamu, Di.”
“Biarin. Kalau kamu ketawa, berarti jokes-ku berhasil.” Aldi duduk kembali. “Tadi aku lihat kamu kayak orang kehilangan semangat. Padahal kamu masih punya nyawa yang ikut hidup di rahimmu. Kamu harus tetap waras, Nay. Kalau bukan buat dirimu, setidaknya untuk dia.”
Tangan Nayla kembali menyentuh perutnya. Kali ini lebih dalam, seperti berusaha mengingatkan diri bahwa ada kehidupan yang tumbuh dalam dirinya. Kehidupan yang harus diselamatkan, dijaga, dan diberi cinta.
“Aku takut, Di…”
“Aku tahu. Tapi kamu nggak boleh kalah sama rasa takut.”
“Kadang aku mikir… aku ini egois, ya? Milih pisah pas lagi hamil. Bikin anakku lahir tanpa ayah…”
Aldi menatapnya serius. “Kamu nggak egois. Kamu cuma berani bilang cukup, ketika terus bertahan cuma bikin kamu terluka. Anakmu nggak butuh keluarga utuh kalau isinya saling menyakiti. Anakmu butuh ibunya tetap waras dan hidup sepenuh hati.”
Diam-diam, air mata menetes dari ujung mata Nayla. Ia tak menyekanya. Ia hanya membiarkannya mengalir pelan.
“Aku pengin jadi ibu yang kuat, Di. Tapi aku nggak tahu caranya.”
Aldi tersenyum tipis. “Kamu udah jadi ibu yang kuat, Nay. Lihat kamu sekarang. Masih berdiri, masih melawan, meski seluruh dunia seperti nyalahin kamu. Kamu nggak lari. Itu kekuatan yang nggak semua orang punya.”
Nayla menatap Aldi lama. Ada kekaguman yang tak terucap, ada rasa terima kasih yang tak tahu bagaimana disampaikan.
“Aldi…”
“Hmm?”
“Terima kasih, ya. Udah ada di sini. Udah dengerin aku. Udah nggak bikin aku merasa sendirian.”
Aldi hanya mengangguk, lalu meneguk tehnya pelan.
“Besok kita hadapi sidang lanjutan,” katanya kemudian. “Aku udah siap. Dan kamu juga akan siap. Kita nggak akan membela dengan air mata, tapi dengan bukti dan keberanian. Aku nggak janji bisa menangin semuanya, tapi aku janji satu hal…”
“Apa itu?” tanya Nayla lirih.
“Aku akan berdiri di sampingmu sampai semua ini selesai. Karena kamu layak mendapatkan akhir yang lebih baik.”
Malam itu, meski dunia Nayla belum sepenuhnya pulih, ia tahu bahwa ada satu hal yang membuatnya sedikit lebih tenang: kehadiran seseorang yang tak hanya mengerti hukum, tapi juga memahami luka.
Dan di tengah segala kekacauan hidupnya, itu sudah lebih dari cukup.