Alya, seorang gadis desa, bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga kaya di kota besar.
Di balik kemewahan rumah itu, Alya terjebak dalam cinta terlarang dengan Arman, majikannya yang tampan namun terjebak dalam pernikahan yang hampa.
Dihadapkan pada dilema antara cinta dan harga diri, Alya harus memutuskan apakah akan terus hidup dalam bayang-bayang sebagai selingkuhan atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan sejati.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. SAH
SAH
🌸Selingkuhan Majikan🌸
Pagi menuju siang yang tenang itu terasa nyaman bagi Alya meski art yang lain sibuk membicarakannya.
Dengan hati-hati, ia menyirami tanaman di halaman luar rumah sambil menikmati udara segar. Sementara Andin sedang di kantor, jadi suasana rumah terasa lebih lengang.
Namun, ketenangan itu tiba-tiba buyar ketika suara deru mobil mendekat, diikuti dengan suara rem yang terdengar sangat dekat.
Alya terkejut melihat sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya. Ia menoleh dan langsung mengenali mobil itu yang tak mobil milik Arman.
"Tuan...," gumam Alya.
Arman menurunkan kaca mobil dan dengan tatapan dingin, ia berkata. "Masuklah," perintahnya.
Alya melangkah mundur, lalu menatap sekitar dengan gugup. Ia tahu betapa berbahayanya situasi ini jika ada orang lain yang melihat.
"Tuan, maaf saya tidak bisa. Bagaimana kalau ada yang melihat kita?," bisik Alya sangat cemas.
Arman tidak peduli dengan kegelisahan Alya, tatapannya pun malah semakin tajam. "Cepat masuk, Alya. Kalau tidak, aku akan membiarkan semua orang tahu tentang kita," ancamnya dingin.
Mata Alya melebar, tubuhnya menegang mendengar ancaman itu. "Jangan, Tuan!," pintanya hampir berbisik, dengan rasa takut.
Tanpa pilihan lain, Alya akhirnya membuka pintu mobil dan masuk ke dalam, ia duduk di kursi belakang dengan harapan agar lebih aman dan tersembunyi.
Namun, Arman menoleh ke belakang dengan ekspresi tidak senang. "Kenapa duduk di belakang? Aku bukan sopirmu," ujarnya terdengar keras.
Alya pun menunduk, suaranya pelan ketika hendak menjawab, "Tuan, saya takut ada yang melihat... kalau saya duduk di depan..." kata Alya dengan suara yang bergetar.
Tanpa berkata lagi, Arman langsung menginjak pedal gas dan melaju keluar dari halaman rumah dengan cepat.
Mobil pun melaju kencang meninggalkan lingkungan rumah, dan Alya hanya bisa patuh seraya memandang keluar jendela dengan perasaan kacau.
Sementara Arman mengemudi tanpa sepatah kata pun sehingga membuat suasana semakin tegang.
Setelah beberapa menit, akhirnya Alya memberanikan diri dan bertanya, "Tuan, kita akan pergi kemana?."
Namun, Arman tetap diam. Matanya fokus pada jalan di depan, seolah tak ingin menjawab pertanyaan itu.
Setelah beberapa saat perjalanan...
Mobil berhenti dengan perlahan di depan sebuah gedung sederhana namun berwibawa.
Alya lalu turun dari mobil dengan perasaan terkejut, cemas, dan bingung. Ketika ia melihat plang bertuliskan "Kantor Pengadilan Agama / KUA," jantungnya pun berdebar lebih cepat.
“Tuan, kenapa kita ke sini?," tanyanya dengan khawatir dan heran seraya menatap Arman dengan tanda tanya.
Namun Arman menutup pintu mobilnya dengan tenang dan dengan wajah dingin seperti biasanya. “Sebentar lagi kamu akan tahu, Alya,” jawabnya singkat namun penuh makna.
Alya menggigit bibirnya, langkah kakinya berat ketika mengikuti Arman masuk ke dalam gedung tersebut.
Tempat itu tidak ramai, hanya ada beberapa orang yang menunggu giliran di ruang tunggu dengan suasana formal dan tenang.
Dinding-dindingnya dihiasi dengan foto-foto pejabat pemerintah dan simbol-simbol hukum agama yang tampak resmi yang ke semuanya terasa sangat asing bagi Alya.
Kemudian, Arman berjalan cepat menuju sebuah ruangan di bagian belakang, sementara Alya hanya bisa mengekorinya dengan langkah yang ragu.
Di dalam ruangan tersebut, seorang petugas sudah menunggu di balik meja, lalu tersenyum tipis saat melihat mereka berdua datang.
“Alya,” kata Arman sambil berhenti di depan pintu seraya menatap Alya dengan intens. “Aku ingin menikahimu, secara sirih.”
Alya terbelalak, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Tuan… menikahi saya? Secara sirih?,” tanyanya bergetar, setengah tidak percaya.
“Ya,” jawab Arman tegas. “Ini satu-satunya cara agar kita bisa bersama tanpa ada masalah dengan Andin. Aku tidak bisa meninggalkan Andin, tapi aku juga tidak bisa melepaskanmu. Inilah solusi terbaik.”
Alya terpaku. Ia merasa sangat bingung. Menikah dengan Arman? Secara sirih? Itu tidak pernah ada dalam bayangannya.
Ia memandang Arman dengan mata yang penuh pertanyaan, tetapi ia bingung harus berkata apa. “Tuan, saya… saya.... "
Arman lalu mendekatinya dan berkata, “Alya, aku tidak peduli apa yang kamu pikirkan sekarang. Aku hanya tahu satu hal, aku mencintaimu. Aku butuh kamu. Dan inilah caranya,” ujarnya dengan nada yang lebih lembut namun tetap bertekad.
Alya menggigit bibirnya lagi dan merasa terjebak dalam dilema yang tak mungkin ia pecahkan.
Ia tahu bahwa perasaan hatinya pada Arman nyata, tetapi di sisi lain, ini akan mengkhianati Andin, seseorang yang sudah begitu baik padanya.
"Tapi, Tuan… bagaimana dengan Nyonya Andin?," tanya Alya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Arman menghela napas panjang, seolah-olah sudah menyiapkan jawabannya. "Andin tidak perlu tahu. Pernikahan ini rahasia. Hanya kita yang akan tahu. Ini demi kita berdua, Alya."
Alya menatap Arman dengan mata berkaca-kaca. Hatinya bimbang, tersiksa antara perasaan cintanya pada Arman dan rasa bersalah pada Andin.
Kini, suasana di dalam ruangan itu terasa semakin menekan, seolah-olah dinding-dindingnya menjadi saksi dari keputusan besar yang harus diambil Alya.
“Jadi, bagaimana, Alya?,” tanya Arman, kali ini dengan nada yang lebih lembut, penuh harap.
Alya terpaku, hatinya bertarung dengan pikirannya. Sementara Arman berdiri di hadapannya, menunggu jawaban yang akan menentukan segalanya.
Dalam beberapa saat Alya terdiam membisu, hatinya terasa semakin tenggelam dalam situasi yang tidak bisa ia kendalikan.
“Oh, aku lupa,” kata Arman tiba-tiba dengan dingin namun percaya diri, “Aku tidak perlu menunggu jawabanmu. Karena kamu hanya akan patuh, benar kan?.”
Alya terkejut mendengar ucapannya, namun sebelum ia sempat merespon, Arman melangkah lebih dekat.
“Tapi, Tuan…” kata Alya pelan, berusaha menyuarakan perasaannya.
"Stttt..." Arman menghentikan kata-kata Alya dengan satu jarinya yang diletakkan di bibir Alya.
Dengan gerakan lembut Arman mendekatkan wajahnya ke telinga Alya lalu berbisik, “Kamu tidak mau terus berzina denganku, kan?."
Kata-kata itu bagaikan palu yang menghantam pikiran Alya. Ia tertegun karena merasa terjebak di dalam situasi yang tidak ia inginkan namun juga tidak bisa hindari.
Tanpa menunggu Alya untuk berkata lebih jauh, Arman lalu menggenggam tangannya erat dan menuntunnya menuju kursi di depan penghulu yang telah menunggu.
Sebenarnya Alya merasa bahagia karena akhirnya ia bisa menikah dengan laki-laki yang di sukai. Hanya yang membuatnya berat adalah, ia akan menikah dengan pria beristri.
Padahal di awal cerita, ia sudah berhasil kabur dari pernikahan poligami. Tapi sekarang, nasib itu kembali padanya, nasib untuk menjadi seorang istri kedua secara sirih pula.
Lanjut...
Penghulu yang duduk di depan mereka tersenyum kecil dan bersiap memulai prosesi. “Baiklah, kalian sudah siap?,” tanyanya dengan formal namun ramah.
Alya hanya menunduk, ia tidak mampu menatap penghulu atau Arman. Hatinya terus meronta, ingin berteriak, namun tubuhnya terasa terlalu lemah untuk melawan.
“Siap, Pak,” jawab Arman tegas, seraya menatap penghulu dengan yakin seakan segala sesuatu telah terkendali di bawah tangannya.
Lalu, sang penghulu beralih menatap Alya, “Nona Alya, apa kamu setuju untuk menikah dengan Tuan Arman secara sirih, sesuai dengan aturan dan hukum agama?.”
Alya ingin berkata, ingin menolak, tapi suaranya seakan hilang. Ia hanya menatap ke bawah, ke arah tangan yang gemetar di pangkuannya.
Melihat Alya yang masih ragu, Arman pun kembali berbicara, “Alya, ini keputusan terbaik untuk kita. Jangan buat ini lebih sulit dari yang seharusnya.”
Dengan mencoba meyakinkan diri, akhirnya Alya pun mengangguk.
“Baik, kalau begitu mari kita mulai,” kata penghulu sambil membuka buku nikah di depannya.
Dan akhirnya... SAH!
Kini Alya dan Arman sudah resmi menjadi suami istri meskipun secara sirih.
Bersambung...