Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #33
Zara menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca usai mendengar keputusan pihak kampus. Haruskah berakhir seperti ini hanya karena hubungan yang sebenarnya bukanlah sebuah masalah? Ikatan suci yang seharusnya menjadi ladang pahala kini tampak seperti sebuah dosa di mata mereka.
Zara mengepalkan tangannya berusaha menahan diri agar tetap tenang di tengah masalah yang menerpa. Namun, sekali lagi, genggaman tangan Alif yang begitu hangat membuatnya sedikit tenang.
"Baik, saya yang akan melakukan klarifikasi dan saya yang akan keluar dari kampus ini...." Zara begitu terkejut mendengar pernyataan Alif, "tapi dengan satu syarat juga," ujar Alif tegas. "Hubungan kami bukanlah sebuah kesalahan. Pun, kami menikah karena niat baik, hanya keadaan yang kurang tepat. Orang mengambil foto dan menyebarkan berita ini pun bersalah, menggiring opini dan merusak nama baik saya dan juga istri saya," lanjut pria itu dengan wajah serius.
Semua dosen di ruangan itu kini terdiam dan saling menatap satu sama lain.
"Saya minta keadilan kepada pihak kampus agar mencari tahu siapa dalang yang telah mengambil foto kami secara diam-diam tanpa izin dari kami dan menyebarkannya. Saya ingin orang itu dihukum dan meminta maaf, jika tidak saya akan laporkan ke polisi dengan tuduhan mengambil gambar tanpa izin dan pencemaran nama baik" kata Alif lagi.
"Tapi Pak Alif, ini mungkin hanya bentuk dari mengungkapkan kebenaran, tujuannya agar kejadian ini tidak terulang lagi," sela seorang dosen wanita.
"Mengungkapkan kebenaran seperti apa yang Anda maksud? Hubungan terlarang antara orang yang memang sudah menikah? Ayam kampus? Dosen tidak bermoral? Dari segi mana yang menunjukkan kebenaran? Bahkan istri saya sangat dirugikan oleh hal ini karena semua mahasiswa menyudutkannya. Apa Anda tahu itu?" tanya Alif yang kini menatap tajam sang dosen wanita yang kini kembali bungkam.
Ruangan kembali hening.
"Baiklah, karena kini masalahnya sudah jelas, maka kami akan memenuhi syarat dari Pak Alif juga," ujar sang kaprodi.
Usai rapat, Alif langsung membuat klarifikasi di hadapan para mahasiswa dam dosen, serta di rekam untuk meluruskan kesalahpahaman di luar kampus. Tak ada lagi yang disembunyikan, status keduanya kini jelas hadapan semua orang.
"Jika masih ada yang menghujat istri saya, maka dia harus berhadapan dengan saya." Alif kembali menegaskan sebelum mengakhiri klarifikasinya.
Hari itu juga, Alif mengemasi barangnya di ruangan dosen. Sementara Zara diminta untuk menunggu di dalam mobil guna menenangkan hatinya. Bohong jika ia baik-baik saja, nyatanya ia merasa bersalah karena hanya sang suami yang kini menanggung akibat dari hubungan mereka.
Tetaplah di sini dan selesaikan kuliah kamu yang tinggal selangkah lagi. Sayang sekali jika kamu juga harus keluar, belum tentu kamu bisa langsung melangkah ke tahap skripsi jika kamu pindah ke kampus lain.
Perkataan Alif setelah rapat tadi sungguh membuat Zara merasa tidak nyaman, tetapi di sisi lain ia juga bersyukur karena sang suami memahami keadaannya saat ini.
Tak lama kemudian, Alif memasuki mobil dengan membawa sebuah kardus berisi barang-barangnya dan diletakkan di jok kedua. Pria itu kemudian menatap Zara yang masih tertunduk dalam diam.
"Masih dipikirin?" tanya Alif, tetapi tak mendapat respon selain embusan napas kasar.
"Habis ini Pak Alif kerja di mana? Rumah sakit, klinik, atau laboratorium kesehatan milik Bapak?" tanya Zara menoleh ke arah sang suami.
Alif mengerutkan dahi mendengar perkataan sang istri. "Kamu tahu dari mana semua itu? Perasaan saya belum mengatakan apa-apa," tanyanya.
"Pak Joe yang bilang. Katanya Bapak itu ketua yayasan," jawab Zara dengan wajah polos.
Senyuman tipis kini terbit di wajah Alif. "Itu bukan sepenuhnya milik saya, Jasmine. Itu milik almarhum Kakek saya yang diturunkan ke Ayah Zean, dan sejak dua tahun lalu berpindah ke tangan saya." Alif menghentikan sejenak perkataannya.
"Begini, dua tahun lalu, satu tahun setelah saya menyelesaikan pendidikan S2, saya dihubungi oleh pengacara almarhum Ayah. Katanya, Ayah meninggalkan surat wasiat, di mana ketika usia saya sudah masuk 25 tahun, maka semua aset Ayah akan jatuh ke tangan saya, termasuk di antaranya adalah rumah sakit, klinik, dan laboratorium. Tapi sebagian dari penghasilan itu saya masukkan ke Rumah Singgah Syifa, rumah singgah khusus penderita kanker yang Ayah bangun untuk menghargai perjuangan Bunda melawan leukimia," kata Alif menjelaskan.
Zara mengangguk paham, tetapi tiba-tiba sebuah pertanyaan kembali muncul dalam pikirannya. "Terus kenapa Bapak masih bekerja sebagai dosen? Bukannya mengawasi rumah sakit, klinik, dan laboratorium itu sangat melelahkan?"
Alif kembali tersenyum. "Kamu benar-benar ingin tahu alasan saya menjadi dosen di kampus kamu dua tahun lalu?" tanya pria itu dan Zara mengangguk.
"Tentu saja karena kamu." Alif menunjuk Zara. "Saya ingin menjaga kamu lebih dekat, walau kamu selalu mengatakan saya si bujang killer," lanjutnya, membuat wajah Zara seketika merona merah.
Zara tak lagi bertanya, ataupun sekadar merespon perkataan sang suami. Rasanya ia benar-benar malu karena ternyata selama ini pria yang ia sebut SBK mengetahui sebutan itu.
"Maaf, Pak," ucap Zara setelah beberapa detik terdiam.
"Jangan memanggil saya bapak lagi karena sekarang saya bukan dosen kamu. Panggil saya 'sayang'."
Mata Zara membola mendengar permintaan sang suami, sungguh ia tak terbiasa dengan hal semacam itu, tetapi ia pun tak bisa memungkiri jika memang kini sang suami bukan lagi dosennya.
"Saya ... saya belum terbiasa, Pak," ucap Zara pelan.
"Makanya biasakan, Sayang," balas Alif dan lagi-lagi membuat mata indah Zara terbelalak disertai rona merah di pipinya.
"Apaan, sih!" Zara membuang pandangannya menatap ke luar jendela demi menyembunyikan salah tingkahnya.
Alif tersenyum senang melihat tingkah sang istri yang sangat menggemaskan menurutnya. Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi sambil bernapas lega. "Hah, setidaknya kita tidak perlu lagi merahasiakan hubungan kita dan berpura-pura di depan orang. Lagi pula, kini saya tidak perlu menjagamu di kampus karena di rumah saya bisa selalu menjagamu," ucap pria itu, tetapi Zara justru tak meresponnya. Wanita itu malah serius menatap ke luar jendela tanpa menghiraukannya.
"Jasmine, ada apa?" tanya Alif ikut penasaran.
"Itu, Pak." Zara menunjuk ke luar jendela, di mana ada Akira dan Ilona yang tampak sedang menyeret seorang mahasiswi.
"Saya ke sana dulu, Pak." Zara bergegas keluar dari mobil dan langsung berlari ke arah kedua sahabatnya. Ia pun memanggil Akira dan Ilona sambil mendekati mereka dan menanyakan apa yang terjadi.
"Ini, Zar. Kami menemukan fotomu dan Pak Alif di gambar kamera ponselnya," kata Ilona.
Zara mengerutkan dahi memandangi gadis yang kini hanya bisa tertunduk, kedua tangannya dipegang oleh Ilona dan Akira tanpa bisa melawan.
"Benar begitu, Fin?" tanya Zara memastikan.
"Maaf, Kak. Aku memang mengambil gambar itu, tapi aku berani bersumpah, bukan aku yang menyebarkan fotonya."
.
.
Alif memandangi sang istri dan ketiga gadis lain yang bersamanya dari dalam mobil. Namun, tiba-tiba saja ponselnya berdering dan mengalihkan perhatian pria itu. Sebuah nomor baru terpampang di ponselnya, membuat pria itu enggan mengangkat telepon.
Akan tetapi, ponselnya yang terus saja berdering berulang kali, membuat Alif berpikir kembali dan pada akhirnya mengangkat telepon itu.
"Halo, assalamu 'alaikum."
"..."
"Maaf, dengan siapa saya bicara?"
"..."
"Kak Lita?"
.
.
.
.
#bersambung#