Pengantin Pengganti Sahabatku

Tepat pukul enam sore, akhirnya Shaka telah menginjakkan kaki di tanah air. Usai memergoki Ziva berada dalam satu kamar dengan lelaki lain, Shaka bergegas memesan tiket pesawat dengan jadwal penerbangan saat itu juga. Si bungsu dari tiga bersaudara sudah tidak tahan ingin bergegas meninggalkan negara itu karena di negara tersebut ia malah mendapatkan sebuah kenyataan pahit yang telah menorehkan luka di hatinya.

Membawa dua paper bag berisi tas dan sepatu untuk istri dan adik ipar, Shaka mengayunkan kaki memasuki unit apartemen miliknya. Meskipun hati terasa sakit bagai ditusuk sebilah pisau tajam, tetapi ia bersikap biasa saja seolah tak pernah terjadi apa pun menimpanya.

"Zahira! Shakeela! Aku membawakan oleh-oleh untuk kalian. Ayo sini, lihat dulu apa yang kubawa!" seru Shaka sambil melangkah masuk ke dalam ruangan. "Rara! Aku sudah pulang." Kembali memanggil nama Zahira. Tidak biasanya ia pulang tanpa disambut hangat oleh sang istri.

Shaka menaruh dua buah paper bag di atas meja bundar, kemudian berjalan menuju pintu kamar Zahira. Ia ulurkan tangan ke depan, lalu mengetuk daun pintu itu. "Ra, kamu tidak mau melihat oleh-oleh apa yang kubeli? Aku jamin kamu pasti senang setelah melihatnya." Akan tetapi, tidak ada sahutan sama sekali dari dalam kamar.

Akhirnya Shaka memutuskan untuk menemui Zahira di kamar, berharap menemukan sosok mungil bermata sipit tengah bergelung di bawah selimut tebal. Ia mendorong pintu kamar dengan sangat hati-hati, tidak ingin mengganggu istrinya yang mungkin saja terlelap setelah meminum obat dari dokter. Keadaan kamar itu gelap gulita dan sangat sunyi seakan tidak berpenghuni.

"Zahira?"

Merasa penasaran, Shaka membuka pintu kamar mandi berharap menemukan keberadaan sahabat sekaligus istrinya. "Loh, kok tidak ada. Ke mana perginya gadis itu?" Pria itu menyalakan saklar lampu dan setelah ruangan itu menjadi terang benderang sosok Zahira memang tidak ada di dalam kamar.

"Rara! Najma Zahira!" seru Shaka sambil berjalan menuju walk in closet. Namun, tetap tidak ada jawaban.

Tiba-tiba hawa dingin membuat tubuh Shaka menggigil ketika melihat isi lemari kosong melompong, tidak ada pakaian gadis itu satu helai pun di dalamnya. Pria itu langsung berhambur keluar kamar mencari ke kamar tamu, ruang baca dan balkon. Ia menyugar rambutnya dengan kasar saat tak menemukan Shakeela di kamar tamu.

"Loh, Den Shaka sudah pulang." Suara seseorang mengalihkan perhatian Shaka.

Menghunuskan tatapan tajam seakan ingin membunuh seseorang detik itu juga. "Di mana istriku? Apa Bibik tidak melihat istriku saat datang ke sini?" tanyanya dengan nada dingin terdengar akan emosi yang terpendam. Membuat bulu kudu wanita berusia empat puluh tahun merinding seketika.

Bik Erna, asisten rumah tangga kepercayaan Rini menelan saliva susah payah saat ekor matanya tanpa sengaja bersitatap dengan lelaki berparas rupawan di depan sana. Wajah pria itu memerah disertai rahang gemetar hebat menahan amarah sekaligus ketakutan dalam waktu bersamaan.

"M-maafkan Bibik, Den. Saat Bibik sampai di sini, Mbak Zahira memang sudah tidak ada di rumah. Kata Mbak Shakeela, Mbak Zahira pergi tanpa memberitahu akan ke mana. Karena tidak ada Mbak Zahira, Mbak Shakeela minta izin pulang ke rumah karena tugasnya sudah selesai," jawab Bik Erna sedikit terbata. Kepala menunduk, tak berani menatap iris coklat milik anak majikannya.

"Berengsek!" umpat Shaka kasar. Tanpa pikir panjang ia bergegas menyambar kunci mobil di dalam laci dan berlari menuju basement.

Di dalam mobil, Shaka beberapa kali menghubungi Zahira tapi hanya suara operator yang muncul membuat pria itu berdecak kesal. "Kamu pergi ke mana sih, Ra? Kenapa pergi tanpa meminta izin terlebih dulu. Kamu tahu nggak sih kalau aku sangat mengkhawatirkanmu." Ia mengedarkan pandangan keluar jendela, berharap menemukan sosok istrinya di luar sana.

Cukup lama Shaka mencari keberadaan Zahira di tempat-tempat yang mungkin ia kunjungi. Taman, rumah sakit milik ayah mertuanya serta café tempat mereka biasa nongkrong dulu semasa masih SMA tetapi sang istri tetap tidak ditemukan di mana pun.

"Bodoh! Kenapa aku tidak mencoba menanyakan kepada Mama, siapa tahu dia memang diajak Mama tinggal di sana."

Shaka mengeluarkan telepon genggam miliknya, kemudian menekan nomor sang mama. "Assalamu a'laikum, Ma," ucap pria itu tatkala sambungan telepon terhubung.

"Wa'alaikum salam. Kebetulan sekali kamu menelepon. Cepat datang ke sini, Mama dan Papa ingin bicara penting denganmu!" ucap Rini tanpa basa basi. Nada suara meninggi hingga membuat Shaka harus menjauhkan benda pipih tersebut dari telinga.

Sial! Kenapa Mama marah-marah sih! Tidak biasanya dia meninggikan nada suara di hadapanku, batin Shaka.

Shaka kembali menempelkan ke telinga. "Mau bicara apa sih, Ma? Aku sedang sibuk jadi kalau mau bicara, lewat telepon saja."

"Sibuk apa kamu? Sibuk mencari keberadaan Ziva di Singapura?" skak Rini hingga membuat Shaka bungkam seketika. Wanita paruh baya itu benar-benar sudah geram akan sikap Shaka yang terkesan tidak pernah menghargai perasaan Zahira.

Gadis cantik berwajah oriental telah mengorbankan kebebasannya demi menjaga nama baik keluarga tapi apa yang Zahira dapatkan selain kekecewaan karena sang suami telah berbohong demi bisa bertemu dengan mantan calon tunangan.

Sebagai sesama wanita, Rini dapat merasakan bagaimana perasaan Zahira saat tahu suaminya pergi untuk menemui wanita lain. Meskipun pernikahan itu terjadi karena keterpaksaan saja namun hati seorang istri tetap terluka dalam dan entah apakah bisa diobati atau tidak.

Sang pengacara segera menginjak pedal rem saat mendengar perkataan Rini. Sungguh, ia tidak menduga jika rahasianya diketahui secepat ini oleh sang mama.

"M-mama ... tahu dari mana kalau aku datang ke Singapura untuk mencari Ziva?"

Bravo! Secara tidak sadar Shaka membenarkan ucapan Rini dan itu semakin membuat mertua Zahira emosi. Terlihat jelas dari tatapan matanya yang tajam sambil mengepalkan sebelah tangannya di samping badan.

"Shaka Abimana! Kamu keterlaluan! Lekas datang ke rumah sekarang juga! Jangan sampai Mama meminta orang menyeretmu secara kasar!" teriak Rini dari sambungan telepon. Suara teriakan itu pulalah mengakhiri percakapan antara dia dengan sang anak.

"Fuuck!" umpat Shaka memukul stir mobil.

Suara teriakan Rini bagaikan suara guntur menggelegar di atas mobil kesayangannya hasil jerih payah selama menjadi seorang pengacara. Meskipun tidak terlalu mahal tetapi mampu melindunginya dari teriknya sinar matahari dan guyuran air hujan. Ia terhenyak beberapa saat hingga tubuhnya terasa kaku. Mata melirik ke kanan dan ke kiri. Sekeliling gelap hanya terdapat satu pencahayaan dan itu bersumber dari mobil miliknya.

Mendadak, bulu kudu Shaka menjadi merinding. Insting pria itu memberikan sinyal berbahaya yang akan menimpa dirinya sebentar lagi. "Ya Tuhan, mungkinkah akan terjadi perang dunia ketiga saat aku pulang ke rumah?"

"Aah, sudahlah. Sebaiknya aku pulang sekarang daripada terus menduga-duga apa yang sebenarnya ingin Mama katakan kepadaku." Shaka menekan pedal gas dan melajukan kendaraan dan mobil itu mulai meninggalkan jalanan sepi tak berpenghuni.

.

.

.

Halo semua yuk mampir ke karya teman author. Kisahnya dijamin seru nih. Judul karya dan nama pena ada di bawah sini. 👇