follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 34
Mikha memang sudah mengaktifkan kembali handphonenya. Tapi bukannya membalas pesan dari Gavin yang menumpuk, Mikha justru tersenyum geli sambil memandangi pesan dari Gavin yang terus berdatangan. Juga panggilan yang Mikha diamkan begitu saja, tak berniat untuk mengangkatnya.
Hal ini Mikha lakukan untuk memberi sedikit pelajaran bagi Gavin yang sudah seenaknya membentak dirinya.
Gavin lupa kalau dia sudah berhadapan dengan ras terkuat di muka bumi ini. Yaitu perempuan. Yang bagaimanapun keadaannya, mereka tidak pernah mau disalahkan.
Konsep pertama, wanita itu tidak pernah salah.
Konsep kedua, sekalipun wanita itu bersalah, laki-laki adalah penyebabnya.
Mikha sudah keluar dari rumah sakit semenjak kemarin sore. Tapi dia masih berada di Bandung dan belum ada niatan untuk pulang ke Jakarta.
"Mikha, Mama harus ke Jakarta sekarang. Kamu mau ikut pulang sekarang?"
"No, Ma. Mikha masih mau di sini."
"Tapi kamu sendiri di sini. Nggak apa-apa?"
Dalam hati Mikha tersenyum sinis. "It's oke, Ma. Mikha udah biasa sendiri."
"Sayang?"
"Why? Mending Mama cepetan pulang sebelum urusan Mama berantakan. Itu lebih penting, bukan?"
Dengan kesal, Mikha melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar.
Mikha pikir setelah kejadian kemarin mamanya akan selalu ada untuk menemani dirinya. Tapi ternyata sama saja. Yang utama untuk kedua orangtuanya adalah pekerjaan.
Tidak sadarkah mereka kalau Mikha juga butuh waktu mereka untuk menemani Mikha?
Mungkin memang Mikha sudah dewasa. Sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Tapi waktu kebersamaan dengan orangtua juga Mikha inginkan.
Di saat seperti ini, biasanya Gavin yang selalu ada untuknya. Menemani Mikha melakukan apa saja dan pergi kemana saja sampai Mikha bosan.
Tapi mengingat kejadian kemarin, rasanya kembali marah pada dirinya sendiri yang seolah hidupnya itu merepotkan Gavin sampai-sampai meminta waktu Gavin sebentar saja tidak bisa.
Mikha menghembuskan napas panjang. Kembali menonaktifkan handphonenya dan memilih untuk tidur siang.
***
"Siapa, sih, yang ketuk pintu berisik banget? Biasanya kalau Mama atau Papa juga langsung masuk aja." Mikha menggerutu kesal sepanjang menuruni tangga untuk membuka pintu.
Ketukan pintu yang terdengar sangat berisik membangunkan dirinya yang tengah tertidur sejak jam dua siang.
"Bentar!!!" teriak Mikha saat kembali mendengar pintu diketuk dengan kasar.
"Siapa, sih, berisik banget? Nggak tau kalau lagi tidur ap_ Kak Gavin?" Gerutuan Mikha terhenti saat pintu terbuka, yang dia lihat adalah Gavin yang tengah tersenyum lebar dan berdiri di depan pintu rumahnya.
"Mikha, kakak senang akhirnya kita bisa bertemu."
"Wait! Jangan main peluk!" Kedua tangan Mikha menahan Gavin yang hendak memeluknya. Mikha juga memasang wajah kesal agar Gavin tau kalau kesalahannya tak mudah untuk dimaafkan.
Meskipun siang tadi dia senang melihat panggilan dan pesan Gavin di handphonenya yang dia anggurkan, tapi jika berhadapan seperti ini, jual mahal itu perlu agar Gavin tak bisa seenaknya lagi pada Mikha.
"Sayang, kakak minta maaf sama kamu. Kakak kemarin emosi banget. Tolong jangan pergi lagi, jangan tinggalin kakak!"
Mikha membuang pandangannya. "Kayaknya kemarin situ yang nyuruh aku pergi. Bahkan disuruh buat cari cowok lain yang bisa kasih kepastian. Oke aja, sih. Banyak, kok, yang mau sama aku. Aku tinggal pilih aja."
"No, sayang!" Gavin mulai gusar. "Kakak nggak serius ngomong kayak gitu, kok. Kemarin kakak sedang emosi, sayang."
"Sampai segitunya minta maaf. Masih mau sama orang yang masih kayak anak kecil kayak aku?" sindir Mikha lagi, menirukan ucapan Gavin tempo hari yang mengatakan kalau Mikha seperti anak kacil.
"Mana ada anak kecil tapi udah janda, Sayang?" Masih sempat-sempatnya Gavin tertawa kecil menggoda Mikha.
"Ih, nggak lucu!" Mikha melengos pergi. Meninggalkan Gavin sendiri di depan pintu tanpa menyuruhnya masuk.
Gavin segera mengejar Mikha. Menahan Mikha dengan pelukan erat di pinggang Mikha. "Jangan pergi lagi. Kakak bisa gila kalau kamu pergi."
"Bohong! Aku nggak percaya lagi sama mulut buaya kayak kamu. Kamu udah berhasil buat aku berpikir kalau kamu sama Gilang itu sama aja."
"Enggak. Aku sama Gilang berbeda. Wanita itu benar-benar sekretaris kakak. Dia udah bersuami juga. Mana mungkin kakak ada hubungan sama dia?"
"Bisa aja, kan?"
"Nggak ada, sayang."
"Terus kenapa kemarin marah-marah?"
"Ada sedikit masalah di kantor."
"Dan aku jadi pelampiasannya?"
"Nggak, Sayang. Nggak bermaksud kayak gitu, kok. Sekarang bilang sama kakak, ini kenapa jidatnya bisa begini?" Gavin mengusap dahi Mikha yang masih tertutup perban.
"Andai waktu itu nggak ada yang nolongin aku, mungkin aku udah di dalam tanah sama kak Uli."
"Ngomong apa, sih, Sayang? Kenapa ngomongnya kayak gitu?"
Mikha melepaskan kedua tangan Gavin yang melingkar di pinggangnya dengan kasar. "Kakak tau nggak akibat perbuatan kakak kemarin? Aku sakit hati, sedih, kecewa karena mendengar ucapan kak Gavin kemarin. Sampai akhirnya aku ke pantai. Tapi aku malah jalan ke tengah laut sampai aku tenggelam. Untung ada yang nolongin dengan cepat. Kalau enggak, Kak Gavin benar-benar kehilangan aku. Eh, itupun kalau kak Gavin ngerasa kehilangan. Percaya diri banget aku sampai mikir kak Gavin akan kehilangan aku."
Mendengarnya, rasa bersalah dan penyesalan yang Gavin rasakan semakin besar. Dia segera meraih tubuh Mikha untuk masuk ke dalam pelukannya. Tak peduli jika Mikha sedang berontak berusaha untuk melepaskan diri.
"Kakak akan mati jika kamu tidak ada di dunia ini, Sayang."
"Bohong!"
"Kakak akan merasa jadi orang yang paling bersalah kalau sampai hal itu terjadi."
"Nggak mungkin!"
"Kakak nggak mau kehilangan kamu. Maafkan kesalahan kakak, ya? Kakak nggak bisa bayangin kalau kamu benar-benar ninggalin kakak. Nggak ada kabar dari kamu selama tiga hari aja kakak udah hampir gila."
"Nggak percaya!"
"Harus percaya karena kenyataannya memang kayak gitu!"
"Aku nggak percaya. Kak Gavin nggak mungkin ngerasa kehilangan aku. Orang kak Gavin yang nyuruh aku pergi. Ya udah aku per_mmph."
Ucapan panjang Mikha dihentikan oleh ciuman lekat dari Gavin. Memang hanya dengan mencium Mikha, Mikha akan berhenti bicara.
Lambat laun ciuman itu semakin menuntut. Tak peduli saat Mikha berusaha untuk melepaskan diri. Bahkan Mikha berkali-kali memukul dada Gavin karena sudah mulai kehabisan oksigen.
"Kan, kalau kayak gini baru bisa diam kamu tuh," ucap Gavin setelah ciuman itu terlepas.
Mikha hanya menatap datar Gavin sembari menetralkan degup jantungnya. Napasnya terengah, berusaha mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.
***
Tidak perlu ditanyakan lagi darimana Gavin bisa tau keberadaan Mikha. Bukan hal yang sulit bagi Gavin untuk mencari tahu dimana Mikha tinggal.
Kemarin dia mendapatkan informasi bahwa Mikha sedang dirawat di rumah sakit yang ada di Bandung. Tapi sayang, dia terlambat datang ke sana. Mikha sudah lebih dulu meninggalkan rumah sakit satu jam sebelum kedatangan Gavin.
Tak menyerah, Gavin kembali mengerahkan orang suruhannya untuk mencari keberadaan Mikha. Dan akhirnya mereka berhasil menemukan tempat tinggal Mikha sekarang.
Gavin bisa bernapas lega setelah melihat gadisnya dalam keadaan baik-baik saja. Meskipun cerita Mikha yang tenggelam di laut membuat jantung Gavin hampir terlepas dari tempatnya.
Hanya saja Gavin harus berusaha lebih keras lagi agar bisa mengembalikan keceriaan Mikha jika sedang berada di dekatnya.
Gavin tau kalau kata-katanya kemarin sudah sangat menyakiti hati Mikha. Sebab itu dia akan melakukan segala cara agar bisa menebus semua kesalahannya. Dan membuat Mikha kembali seperti dulu lagi.
🌹🌹🌹