Karena penghianatan pacar dan sahabatnya, Zianna memutuskan untuk pindah sekolah. Namun siapa sangka kepindahannya ke SMA Galaxy malah mempertemukan dirinya dengan seorang cowok bernama Heaven. Hingga suatu ketika, keadaan tiba-tiba tidak berpihak padanya. Cowok dingin itu menyatakan perasaan padanya dengan cara yang sangat memaksa.
"Apa nggak ada pilihan lain, selain jadi pacar lo?" tanya Zia mencoba bernegosiasi.
"Ada, gue kasih tiga pilihan. Dan lo harus pilih salah satunya!"
"Apa aja?" tanya Zia.
"Pertama, lo harus jadi pacar gue. Kedua, lo harus jadi istri gue. Dan ketiga, lo harus pilih keduanya!" ucap Heaven dengan penuh penekanan.
Follow IG Author : @smiling_srn27
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smiling27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. BUKAN BARANG
Setelah berbagai bujukan Zia dan Handa lakukan, akhirnya Icha mau dibawa ke rumah sakit. Saat ini Icha sedang ditangani oleh dokter, baik Zia maupun Handa hanya duduk menunggu dalam pemikirannya masing-masing. Setelah diperiksa tadi ternyata Icha mengalami radang usus buntu, yang mengharuskannya untuk dioperasi. Meskipun sedikit kesulitan, akhirnya Zia dan Handa bisa membuat Icha segera dioperasi.
"Nda, gue mau ngomong sesuatu sama lo!" ucap Zia. Hendak memberitahukan sesuatu yang sejak tadi menggangu pikirannya, namun Zia masih ragu untuk mengatakannya.
"Ya elah, ngomong aja kali. Berasa hakim aja gue, kalau ada yang mau ngomong harus izin dulu!" Handa terkekeh, hanya untuk menghilangkan kekhawatirannya pada Icha.
"Ih gue serius! Gue...." Zia menghentikan ucapannya saat tiba-tiba terdengar ponselnya berbunyi.
"Angkat aja dulu! Siapa tau penting!" kata Handa setelah melihat sekilas siapa yang menelepon.
"Eh tapi nggak mungkin juga ada yang penting! Semua yang ada Kak Heaven nya 'kan hukumnya mubah!" celetuk Handa langsung mendapat senggolan dari Zia.
Sejenak Zia terdiam bimbang, antara mengangkat telepon dari Heaven atau membicarakan sesuatu yang penting itu lebih dulu dengan Handa. Zia tidak tahu harus melakukan apa dengan posisinya saat ini, namun setelah dipikir-pikir lebih baik Zia mengangkat telepon lebih dulu.
"Halo Kak!"
"Lagi ngapain? Kok belum tidur?"
"Lagi ngapain?" Zia menatap Handa dengan raut wajah bingung, tidak tahu harus menjawab apa.
"Lagi main karambol!" ceplos Zia setelah mendengar bisikan Handa. Setelah menyadari apa yang dikatakan, ia langsung mencubit pinggang Handa dengan gemas karena telah membisikkan sesuatu yang tidak-tidak.
"Hah?" Heaven yang awalnya tidak mengerti kini malah terkekeh, ia tahu Zia sedang bercanda saat ini. "Berarti ganggu dong?"
"Iya!"
"Siapa yang ngajarin hm?"
"Ngajarin apa?"
"Main karambol!"
"Gue nggak lagi main karambol ih! Tau bentuk mainannya juga enggak!"
"Terus kenapa jawab lagi main karambol? Jangan bilang ajaran Handa!" Sebelumnya Heaven memang sempat mendengar Handa tertawa, sudah pasti itu karena ulahnya.
"Emang iya!"
"Sesat! Jangan diikutin!"
"Kok sesat?" Pandangan Zia beralih, melihat dokter yang menangani Icha sudah keluar dari ruangan. Handa segera mendekat untuk menanyakan keadaan sahabatnya.
"Lo lagi di mana?" tanya Heaven yang jelas mendengar suara laki-laki tadi.
"Gue... di rumah sakit!" ucap Zia yang sejenak menjeda ucapannya untuk berpikir. Menurutnya akan percuma berbohong, daripada Heaven marah-marah besok lebih baik Zia jujur sekarang.
"DI RUMAH SAKIT, KOK BISA? SIAPA YANG SAKIT?" Sontak Zia menjauhkan ponselnya, bisa-bisa gendang telinganya pecah mendengar pekikan Heaven.
"Pelan-pelan kenapa sih ngomongnya!" gerutu Zia. Kalau saja dekat mungkin sudah Zia kuncir mulutnya, tapi kalau berani tentunya.
Heaven menggeram, bukan itu jawaban yang ia inginkan. "Siapa yang sakit? Lo sakit?" tanyanya dengan nada khawatir.
"Bukan gue, tapi Icha yang sakit!"
"Kenapa lo nggak bilang ke gue tadi?"
"Ya mana sempet!"
"Sama siapa?"
"Apanya?"
"Lo di situ sama siapa aja, Anna?"
"Sama Handa!"
"Gue ke sana sekarang!"
"Nggak perlu, udah malem juga!" larang Zia. Namun sepertinya Heaven sudah tidak mendengarkannya, karena setelah itu sambung telepon langsung terputus. Ah sudahlah, terserah Heaven saja.
"Gimana Icha?" tanya Zia.
"Udah nggak papa katanya, operasinya lancar!" ucap Handa menghembuskan nafas lega.
"Syukur deh!" ucap Zia ikutan lega. "Tinggal nunggu Icha dipindahin ke ruang rawat!" monolognya.
Handa mengangguk membenarkan, kemudian kembali menatap Zia. Hendak menanyakan apa yang ingin dikatakan Zia tadi. "Lo mau ngomong apa tadi?" tanyanya.
"Hah? Eum... nggak jadi deh!" cengir Zia. Mungkin belum saatnya untuk mengatakannya pada Handa, lagipula Zia juga belum memiliki bukti yang kuat.
"Lo nggak papa 'kan?" tanya Handa. Menyadari sikap Zia yang sejak tadi sedikit berbeda dari biasanya.
"Nggak papa, emangnya kenapa?" Zia mengernyit tidak mengerti.
"Nggak, cuma pengen nanya aja!"
Handa dan Zia mengikuti suster yang sedang mendorong brankar Icha, hendak memindahkannya ke ruang rawat VIP yang sudah Zia minta sebelumnya. Bagi Zia dan Handa itu hal yang mudah, karena mereka sendiri adalah anak dari sang pemilik rumah sakit. Bahkan yang menangani Icha tadi adalah dokter pribadi keluarga Zielinski sendiri, dan tentunya tidak banyak orang yang tahu.
"Sus, kita boleh masuk kan?" tanya Handa pada perawat itu.
"Boleh, tapi jangan berisik. Biarkan pasien istirahat!" ucap perawat tersebut kemudian pergi untuk melanjutkan pekerjaan.
Mereka masuk ke dalam ruangan untuk melihat keadaan Icha. Gadis itu masih memejamkan mata di atas brankar, mungkin akan sadar setelah beberapa jam lagi. Dan saat itu juga baik Zia maupun Handa harus bersiap-siap untuk menenangkannya, karena sebelum operasi dilakukan tadi Icha sempat menangis bahkan sampai mau kabur karena takut.
"Nda, gue keluar bentar ya!" ucap Zia setelah lama melihat keadaan Icha.
"Mau ke mana?"
"Ada deh!"
"Ish ya udah sana! Jangan lama-lama!"
Zia langsung pergi ke luar ruangan, mengambil ponsel untuk menelepon seseorang. Tidak lama setelah itu, Paman Jo datang sesuai dengan permintaan Nona nya.
"Kenapa Nona? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Jo.
"Paman bisa bantuin Zia nggak? Tapi jangan bilang ke Daddy!" pinta Zia sebelum mengatakan perintahnya.
Jo terdiam sejenak, permintaan Zia kali ini begitu sulit. Itu sama saja seperti menantang malaikat maut, dan Jo tidak mungkin mau menurutinya. "Maaf Nona, saya tidak bisa! Kalau ketahuan bisa mati saya!"
Zia mencebikan bibir bawahnya kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Meskipun mati-matian Zia menyembunyikannya, lambat laun pasti Daddy Zion akan mengetahuinya.
"Ya udah deh!" Zia membuka ponselnya, mengirimkan sebuah foto ke nomor Paman Jo. "Cari tahu data tentang cewek yang Zia kirim tadi, kalau ada yang aneh bilang ya! Kalau bisa Zia mau secepatnya!"
Jo membuka pesan dari Zia, melihat foto yang dimaksud sambil mengerutkan kening. "Ini bukannya temen Nona yang dioperasi tadi?"
"Ssttt... jangan keras-keras ngomongnya!" Zia meletakkan jari telunjuk ke depan bibir, dan spontan diikuti oleh Jo.
Memang benar, yang ada di dalam foto itu adalah Icha. Zia harus memastikan siapa yang ada di dalam foto keluarga Icha tadi, lebih tepatnya Zia harus memastikan apakah Papa nya Icha adalah orang yang telah menculiknya saat kecil dulu. Karena orang itu bisa jadi masih mengincar nyawanya hingga saat ini, dikarenakan dendam masa lalu yang belum terselesaikan. Dan itu menandakan ia harus lebih berhati-hati lagi dalam melangkah kedepannya.
"Iya iya Nona, maaf. Tapi sepertinya saya harus pergi sekarang, permisi Nona!" ucap Jo dengan terburu-buru.
"Eh mau ke mana, Zia belum selesai ngomong!" Zia mengernyit sambil melongo, karena Jo sudah lebih dulu membungkukkan badan dan pergi dengan terburu-buru.
"Aneh banget tuh orang!" gerutu Zia. Padahal masih ada yang harus ia bicarakan lagi pada Paman Jo.
"Siapa dia, selingkuhan lo?"
Zia tersentak kaget mendengar suara laki-laki dari belakang, dengan cepat ia membalikkan badan. Pandangannya langsung bertemu dengan mata elang Heaven, cowok itu tengah bersedekap dada dengan mata menyorot tajam.
"Kak Heaven, ngagetin aja ih!" kesal Zia sambil memegang dadanya yang berdebar.
"Siapa dia, ngapain deketin lo?" tanya Heaven sekali lagi masih dengan wajah datar.
Heaven kesal, baru beberapa jam yang lalu ia memperingatkan Zia agar jauh-jauh dari yang namanya laki-laki, tapi yang dilakukan tadi Zia malah sedang bisik-bisik dengan laki-laki. Yang lebih mengesalkan lagi laki-laki itu jauh lebih tua darinya, dari wajahnya pun sudah terlihat meskipun tubuhnya sedikit berotot. Jangan katakan Zia mau jadi sugar baby, yang seleranya om-om berotot.
"Bukan siapa-siapa kok!" jawab Zia.
"Bohong! Kalau bukan siapa-siapa ngapain bisik-bisik kaya tadi?" sangkal Heaven tidak percaya.
"Beneran bukan siapa-siapa, dia cuma mau nanya ruangan doang tadi!" alasan Zia.
"Nggak percaya!"
"Ya udah kalo nggak percaya!" cuek Zia. Apa untungnya berdebat dengan Heaven yang sampai kapanpun tidak mau mengalah.
"Anna!" Heaven menggeram, kesal dengan sikap cuek Zia.
"Zia!" koreksi Zia, "Udah dibilang bukan siapa-siapa juga!"
"Peluk gue!"
"Hah?"
"Ck peluk gue!" Heaven menarik Zia hingga masuk ke dalam pelukannya, "Lo itu cuma punya gue! Nggak ada siapapun yang boleh deketin lo!"
"Gue bukan barang! Lepasin!" kesal Zia memberontak.
"Nggak!"
"Kak, banyak orang ih! Malu!" Zia mencoba melepas pelukan, mendorong Heaven dengan kuat.
"Mana? Nggak ada orang di sini!" Heaven semakin memperdalam pelukannya, menghirup aroma yang kini menjadi candu baginya.
"Kak mending kita masuk aja yuk!" pinta Zia agar Heaven segera melepaskan pelukannya, ia merasa risih dengan posisinya.
Heaven melepas pelukannya, namun tidak dengan kedua tangan yang masih bertengger di bahu Zia. "Mau itu di dalem?"
Zia mengernyit, pertanyaan Heaven terdengar ambigu di telinganya. "Itu apa ih! Gaje banget!"
Heaven terkekeh, menyadari gadisnya masih polos. "Lihat Icha lah, katanya lagi sakit?"
"Oh! Ya udah lepasin!" Zia menepis tangan Heaven dari bahunya, kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan Icha.
*********
Jangan lupa tinggalkan jejak ya 😇