Heavanna
"Dari awal juga nggak ada yang namanya kita, yang ada cuma gue sama dia. Dan lo itu cuma pengganggu di sini!"
Zianna Azkia Zielinski terpaku di bawah guyuran hujan. Matanya membelalak dengan sempurna, tampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan perempuan cantik yang sedang menggandeng mesra cowok di hadapannya. Cowok yang sudah dua minggu ini menyandang status sebagai pacar Zia. Matanya yang bulat itu mulai tergenang. Bukan hanya karena air hujan yang membasahi tubuhnya, tapi juga karena air mata yang keluar tanpa seizin darinya.
Gadis berseragam sekolah dengan beberapa bagian tubuh yang terluka itu, menatap keduanya bergantian. Mencari sekelebat kebohongan yang barangkali muncul di wajah dua orang itu. Namun ternyata nihil, yang ada hanyalah tatapan penuh ejekan yang terlihat di wajah mereka. Tatapan penuh kejujuran yang menggambarkan begitu miris hidupnya saat ini.
Seperti tersambar petir di siang bolong, Zia hanya mampu menggelengkan kepala menepis luka di hatinya. Bibirnya bergetar, tidak hanya karena terpaan dingin air hujan, tapi juga karena rasa sakit di hati yang menghimpit rongga dadanya. Sakit! Gadis yang dulu menatap dirinya dengan penuh persahabatan, kini berubah seratus delapan puluh derajat. Penuh kebencian dan penuh ejekan.
"Jadi karena ini, lo nggak peduli sama gue yang hampir ketabrak mobil?" Tangan Zia mengepal, menatap cowok itu dengan penuh kecewa. Hati kecilnya masih berharap kalau semua ini hanyalah mimpi belaka.
Cowok bernama Danis Wijaya itu, hanya menatap dengan raut wajah yang sulit diartikan. Tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan kata apa. Zia terkekeh miris, menyadari tidak ada niatan sama sekali bibir cowok itu untuk menjawab.
Tidak pernah ia sangka sebelumnya, dalam waktu sekejap bisa membuatnya kehilangan dua orang yang cukup berarti dalam hidupnya. Sahabat karib dan cowok yang menjadi cinta pertamanya sejak dua tahun terakhir.
"Brengsek!" Satu kata itu keluar dengan mulus dari bibir Zia yang sejak dulu tidak pernah mengatakan kata kasar, meski semarah apapun dirinya.
Danis yang mendengarnya pun sontak terkejut, karena ini adalah kali pertama dirinya mendengar kalimat kasar dari bibir mungil Zia. Kobaran amarah terlihat membara di mata hazel itu. Mata yang biasanya memancarkan tatapan lembut untuknya dan untuk semua orang. Sebongkah rasa sesal kini menyeruak masuk ke dalam relung hatinya yang paling dalam, setelah menyia-nyiakan gadis cantik berhati lembut itu.
"Maaf Zi, aku nggak bermaksud—"
"NGGAK BERMAKSUD APA? LO SELINGKUH DI BELAKANG GUE, DAN LEBIH PARAHNYA LAGI, DENGAN SAHABAT GUE! OTAK LO DI MANA?"
Zia geram, menatap keduanya tidak percaya. Bahkan untuk bernafas saja rasanya begitu sulit, tapi mengapa kedua orang di hadapannya tetap memasang wajah tanpa berdosa sama sekali.
Terdengar gelak tawa penuh ejekan gadis cantik di samping Danis. Rexie Hasian, gadis bertubuh ideal dan berambut hitam pekat yang panjangnya hanya sebatas bahu. Awalnya memang terkejut mendengar ucapan kasar Zia, tapi sekarang itu tidak berarti apapun dalam kehidupannya.
Setelah satu minggu ini ia memperjuangkan persahabatan dan hubungan rahasianya dengan Danis agar tidak ketahuan, sudah dipastikan kali ini akan kehilangan salah satu di antaranya.
"Akhirnya keluar juga sifat asli lo! Pura-pura baik cuma buat menarik perhatian Kak Danis. Tapi sorry, Kak Danis lebih suka gue daripada cewek sok baik kayak lo!" Rexie menunjuk wajah Zia, dengan tatapan penuh kebencian. Entah kesalahan apa yang telah dibuat Zia, sehingga membuatnya begitu benci.
"Sahabat?" Rexie terkekeh ringan. "Sejak kapan lo anggap gue sebagai sahabat lo?" Tatapan Rexie mendadak berubah. Guratan kekecewaan terselip di antara kemarahan yang tampak di permukaan wajahnya.
Zia menepis tangan yang masih menunjuk tepat di depan wajahnya dengan kasar, lalu tergelak miris mendengar apa yang dikatakan sahabatnya itu. Ah tidak! Mungkin sekarang mereka bukanlah sepasang sahabat lagi, melainkan mantan sahabat.
"Dari semua sampah yang keluar dari mulut lo!" Zia menunjukkan wajah Rexie dengan penuh kegeraman, "Inilah yang paling menganggu!"
Kekecewaan yang mendalam mendorong Zia agar tidak menjadi gadis yang lemah. Jika tidak punya rasa kasihan, mungkin Zia sudah meremas kedua orang itu hingga menjadi serpihan debu di jalanan.
"Thanks! Dengan ini gue tahu! Lo dan lo," Zia menunjuk wajah Rexie lalu beralih menunjuk Danis, "itu cuma sampah yang harusnya gue buang sebelum jadi penyakit!"
Tidak tahan berlama-lama menahan sesak, Zia melenggang pergi meninggalkan jalanan sepi itu dengan hati yang terluka. Di bawah guyuran hujan, ia kembali meneteskan air mata penuh kekecewaan. Rasa sakit di kening, siku dan tangannya yang berdarah bahkan tidak ada apa-apanya, dibanding rasa sakit di hatinya.
"ZIA!" Danis hendak mengejar, ada sedikit rasa khawatir di hatinya ketika menyadari keadaan gadis itu. Namun terhenti saat sebuah tangan menahan pergerakannya, tangan cewek yang memang sudah menjadi pacar rahasianya selama satu minggu ini.
"Lo lebih milih dia daripada gue?" Pertanyaan dari Rexie membuat Danis terpaku di tempat, tidak tahu yang mana dari dua cewek itu yang sebenarnya disuka olehnya. Danis tidak ingin Zia pergi, tapi di sisi lain juga tidak ingin membuat Rexie marah.
Setelah lama menyusuri jalanan di bawah guyuran hujan, Zia yang tidak tahu akan ke mana memutuskan pergi ke hotel ternama milik perusahaan Daddy-nya. Zia tidak ingin pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup dan berantakan, karena itu hanya akan membuat seluruh penghuni rumah khawatir dengan keadaannya. Kehebohan pasti akan terjadi di rumah besar milik keluarganya, jika ia pulang dalam keadaan terluka fisik sekaligus batin.
Banyak pasang mata yang menatap aneh dirinya saat memesan kamar hotel, termasuk resepsionis di hadapannya kini. Mereka seolah ragu dengan Zia yang berpenampilan awut-awutan. Bahkan beberapa kali resepsionis di hadapannya itu berbisik satu sama lain. Zia yang tidak ingin berlama-lama mendapatkan cibiran para penghuni hotel, langsung mengeluarkan kartu as yang membuat semua orang kicep.
"Black card!" Kedua resepsionis itu terkejut bukan main, ketika melihat kartu yang Zia ambil dari tas sling bagnya.
Seolah habis terkena jumpscare, semua orang terdiam dengan mata membulat sempurna. Terdistraksi oleh kartu yang tidak sembarangan bisa dimiliki setiap orang, kecuali orang itu berada di kalangan atas. Resepsionis dengan cekatan menuruti permintaan Zia yang hendak memesan satu kamar hanya untuk semalam. Sementara orang-orang yang sempat mencibir tadi memilih pergi dengan rasa malunya, sebelum semakin bertambah malu lagi.
Zia masuk ke dalam lift menuju lantai kamarnya, setelah mendapatkan kunci akses dari resepsionis tanpa mau di antar oleh siapapun. Mau bagaimanapun juga, Zia sudah cukup tahu tata letak hotel ternama milik perusahaan Daddy-nya itu. Saat pintu lift terbuka, Zia berjalan menuju unit 431 dengan pikiran yang tidak karuan. Bayang-bayang kejadian menyakitkan tadi masih berseliweran di pikirannya, dan itu membuat Zia tidak bisa fokus.
Sampai di depan kamar yang dituju, Zia menempelkan kartu akses yang diberikan resepsionis tadi tanpa melihat angka yang tertera di atas. Tidak terdengar suara kunci pintu terbuka atau suara apapun. Namun Zia tidak merasa curiga, dan tetap masuk tanpa menyadari bahwa pintu tadi memang tidak tertutup dengan sempurna.
Dengan langkah gontai, Zia menuju ranjang berwarna putih yang tertata rapi tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia menghela nafas panjang, lalu merebahkan diri dengan kaki yang masih menapak di lantai. Tidak peduli dengan tubuhnya yang masih basah, pandangannya menatap kosong langit-langit kamar berwarna putih itu.
"Why?" lirih Zia, dengan air mata yang kembali menetes.
Memori persahabatannya dengan Rexie dulu kembali berputar di kepalanya, ditambah kenangan pertemuan pertama dirinya dengan sosok laki-laki baik hati bernama Danis. Zia kecewa, tidak di sangka sahabat karib dan pacarnya menyembunyikan rahasia besar di belakangnya.
Meski hanya dalam satu minggu, tapi itu sangat menyakitkan untuknya yang sudah mencintai Danis selama sekitar dua tahun. Rexie mengetahuinya sejak dulu, tapi kenapa dengan tega ia bisa melakukan hal itu.
Sayup-sayup terdengar suara pintu terbuka. Zia yang sedang tiduran mulai terjaga dari lamunannya. Tubuhnya beranjak duduk dengan pandangan yang mengarah pada pintu kamar yang ternyata masih tertutup. Zia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa aneh karena tidak ada siapapun yang membuka pintu kamarnya.
Gebrakan keras memenuhi seantero kamar, disusul percikan air yang mengalir melalui keran. Zia menoleh ke arah sumber suara, pintu kamar mandi baru saja tertutup dengan suara yang cukup keras.
Seketika Zia terkejut melihat apa yang ada di hadapannya, matanya membulat sempurna dengan bulu kuduk yang mulai berdiri. Seluruh tubuhnya mendadak kaku, dengan mata membulat yang bahkan tidak bisa diajak berkedip sama sekali.
"AAAAAA... PAIT PAIT PAIT, HANTU!"
**********
Selamat datang di karya receh Author! 🤗
Jangan lupa Like, Favorit dan Komen ya pren! Feedback dari kalian sangat berarti bagi kami para Author agar lebih bersemangat lagi dalam berkarya. Like, Favorit dan Komen itu gratis lho! (Jangan ada yang bilang bayar pake kuota, karena Author update bab pun pake kuota)😅
...Sampai bertemu di cerita Heavanna selanjutnya 👋🏻...
Zianna Azkia Zielinski
Jika tidak suka, abaikan saja visualnya. Silahkan bayangkan saja sesuka hati kalian. ☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
레이디핏
Huuh pen mutilasi aj
2023-05-31
0
💕febhy ajah💕
mampir dimari setelah sekian purnama difavoritkan
2023-03-09
0
Mutiara Kirania Aftani
thorrrrr
2023-01-20
0