Ditolak di pelaminan, Sinta Lestari belajar membangun kembali dirinya dari reruntuhan. Empat tahun kemudian, ia masih menutup rapat hatinya—hingga sebuah malam hujan mempertemukannya dengan Kevin Mahendra, pria asing dengan tatapan hijau keemasan dan senyum licik yang mampu mengguncang pertahanannya. Malam itu hanya percakapan singkat di kedai kopi, berakhir dengan ciuman panas yang tak pernah bisa ia lupakan.
Kini takdir mempertemukan mereka lagi di Pangandaran. Kevin, pria dengan masa lalu kelam dan ambisi membangun “steady life”-nya, tak pernah percaya pada cinta. Sinta, perempuan yang takut kembali dikhianati, enggan membuka hati. Namun, keduanya terikat dalam tarik-ulur berbahaya antara luka, hasrat, dan kesempatan kedua.
Apakah mereka mampu menjadikan hubungan ini nyata, atau justru hanya perjanjian sementara yang akan kembali hancur di ujung jalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Pagi itu tenang. Embun masih menggantung di rumput taman belakang, matahari baru merayap di balik pagar. Kevin duduk di bangku kayu, menggenggam kopi hangat. Ada rasa lega… dan juga takut.
Pikirannya balik ke semalam—bukan drama, bukan rayuan berlebihan. Hanya obrolan yang jujur, ciuman yang menggetarkan, pelukan yang lama di sofa. Sinta sempat gumam, “Tetangga suka gosip,” dan Kevin janji, “Aku pulangnya diam-diam lewat samping, aman.” Dia akhirnya tidur di sofa dengan selimut tipis; Sinta ngasih bantal tambahan sambil bilang “Jangan masuk angin.”
Derap langkah kecil terdengar. Mo, si kucing oranye, nongol dari balik pot monstera, ngelihatin Kevin seolah nanya: “Lo siapa?”
“Maaf, Bos. Gue duduk di tempat lo ya?” gumam Kevin.
Mo cuma berkedip, lalu melompat santai ke pangkuannya. Kevin menahan napas, menata posisi, takut hal sensitif keteken cakar. Detik berikutnya dia malah ketawa sendiri—aneh, tapi hangat.
Dia menyesap kopi dan mengatur kalimat. Ada hal berat yang harus dia jujur ke Sinta tentang Modest Butik. Semalam dia nggak sanggup ngomong—setelah Sinta nekat memeluknya, kepala Kevin auto blank. Tapi pagi ini, nggak bisa ditunda.
Pintu kaca geser berderit. Sinta muncul dengan jubah sutra pendek, rambut berantakan cantik, membawa dua cangkir. Dia berhenti di ambang, senyum tipis muncul begitu melihat Mo meringkuk di pangkuan Kevin.
“Pemandangan yang nggak setiap hari,” katanya pelan.
Kevin menoleh. “Aku nggak denger kamu keluar.”
Sinta mencondongkan badan, mengecup pipinya cepat. “Kamu kelihatan… mikir banyak.”
“Sedikit,” Kevin mengangkat Cangkir. “Mo resmi klaim teritorial. Sekali gerak salah, aku selibat.”
Sinta cekikikan, duduk di sampingnya. “Ketahuan. Kamu lagi jauh ke mana?”
“Ke… caramu lihat dunia,” jawab Kevin. “Di matamu, sepatu bukan cuma barang. Itu cerita. Cara orang berdiri lebih tegak.”
Sinta diam sebentar. “Ada apa, Kevin?”
Kevin menarik napas, memilih kata dengan hati-hati. “Dulu, di Jakarta, tiap pagi aku lihat orang pakai jas rapi, sepatu mengilap, jalan cepat sambil telepon. Mereka keliatan penting. Aku pikir, kalau aku pakai baju yang ‘benar’, aku bisa bohongin dunia… dan diriku sendiri. Jadi aku pelajari mode pria, kerja gila-gilaan, bohong di CV, ambil magang, digasak jam kerja, tapi aku tahan. Dari situ aku lompat ke properti.”
“Mau bertahan hidup,” gumam Sinta.
“Dan bawa adikku lepas dari lingkaran yang jelek,” Kevin mengangguk. “Lalu aku direkrut Johan Santoso. Semuanya keliatan kayak tiket emas… sampai aku lupa pelajaran paling dasar.”
“Apa?”
“Semua ada harganya.”
Hening sebentar. Angin pagi menyibak ujung jubah Sinta.
“Aku masakin sarapan ya? Kamu butuh sesuatu yang manis biar nggak murung.”
“Tunggu,” Kevin menahan jemarinya lembut. Mo melompat turun, berguling di dekat kaki. Sinta duduk lagi, menatapnya penuh tanda tanya.
“Aku harus jujur soal Modest Butik,” ucap Kevin akhirnya. “Ini nggak enak.”
Sinta langsung tegak. “Tentang Benny? Rumor tadi malam?”
Kevin mengangguk. “Bosku narik aku ke proyek perusahaan properti besar. Mereka incar lahan buat resor. Benny lagi kepepet sama bank. Sepertinya ada masalah judi.”
Sinta mendesis. “Pantas renovasi molor. Dia ngilang terus.”
“Stealth mau beli paket lahannya—termasuk deret di belakang Modest Butik. Kalau jadi, semuanya digusur.”
Kata-kata Kevin menggantung. Wajah Sinta menegang, lalu berderet umpatan meluncur pelan. “Lahan belakang… ya. Berarti mereka bisa gabungin jadi satu bidang gede.”
Kevin mengangguk lirih. “Kontraknya… kemungkinan teken minggu depan. Selesai sebulanan. Mereka biasanya kasih waktu tenggang pindah, tapi—”
“Tempat ramainya terbatas,” potong Sinta getir. “Kamu sudah cek opsi?”
“Aku keliling. Ada unit kecil dekat toko Marco dan Bagas. Secara lokasi kurang nendang, tapi bisa jadi pos sementara.”
Sinta menatapnya lama. “Kamu udah cari-cari? Berarti kamu udah tahu dari kapan?”
Kevin menelan ludah. “Beberapa minggu.”
Sinta memejam, menghembus panjang. “Dan kamu nggak bilang.”
“Aku kejer cara stop atau minimal nego konsesi. Ada NDA—aku bahkan nggak boleh sebut nama proyek. Tapi kamu berhak tahu, makanya aku bilang sekarang,” ucap Kevin pelan. “Maaf, Sin.”
“Siapa penanggung jawab kesepakatan ini?” suara Sinta rendah.
Kevin menatapnya, jujur, tanpa pelarian. “Aku.”
Rasanya seperti air es disiram ke tulang belakang. Sinta mengangguk pelan, matanya berkaca.
“Jadi, untuk naik ke Stealth, kamu harus nutup tokoku,” katanya tenang—terlalu tenang.
“Kalau bukan aku, orang lain yang ambil. Aku pikir kalau aku yang pegang, aku bisa dorong syarat buat nolong kamu: waktu lebih panjang, bantuan pindah, bahkan bantu modal renov. Aku—”
“—tetap orang yang mengetuk palu,” Sinta menyelesaikan kalimatnya. Hening lagi. “Aku ngerti kenapa kamu milih ‘aman’. Seumur hidup kamu jagain adikmu. Tapi inti masalahnya sama: kerjaan selalu nomor satu. Bukan aku.”
Kevin tersentak kecil. “Bukan gitu—”
Sinta berdiri, memeluk jubahnya erat-erat. “Aku butuh waktu. Tolong… pulang dulu.”
Kevin berdiri juga, menahan diri untuk tidak mendekat. “Baik. Aku keluar lewat samping, biar tetangga nggak heboh.”
Sinta menelan rasa perih yang mengganjal. “Makasih… sudah jaga itu.”
Kevin mengangguk. “Aku bakal cari cara lain. Aku janji.”
Sinta tidak menjawab.
Kevin melangkah menuju gang samping. Melewati pot, melewati Mo yang mengawasi seperti satpam kecil. Di ujung, dia menoleh.
“Aku nggak pernah serepot ini bilang hal berat ke orang. Tapi buat kamu… aku mau. Karena aku sayang.”
Sinta menutup mata. “Pergi dulu, Vin.”
Gerimis tipis mulai jatuh. Pagar kecil berbunyi klik. Sunyi.
Di bangku kayu, cangkir kopi Sinta mendingin. Di dalam dada, yang tersisa cuma denyut pelan dari ciuman semalam—hangat, jujur, sekaligus menyakitkan—karena pagi ini, kenyataan mengetuk keras.
Untuk pertama kalinya setelah lama, Sinta membiarkan air mata turun. Tidak ada yang melihat, kecuali Mo yang merunduk ke pangkuannya.
Dan untuk sekali ini, Sinta membiarkan dirinya sedih—sebelum nanti harus kembali kuat.