Ada yang kayak mereka nggak sih? Jodoh lewat chat? Ya ampyuun CHAT?? Iya ho'oh! Mereka nggak pernah ketemu, cuma bertukar kabar melalui pesan ketikan, nggak ada pidio kol (video call). Cuma deretan huruf tapi membuat hidup mereka semprawut!
Giliran ketemu secara nggak sengaja di dunia nyata, mereka malah kayak musuh bebuyutan! Pas kembali ke aplikasi, weeeh sayang sayangan lagi.
Di sini yang koplak siapa sebenarnya? Lintang nya? Bang Baga? atau.... Yang nulis cerita??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ini gong nya
Hari-hari setelah momen pengembalian jaket itu terasa sangat aneh untuk Lintang. Bukan sunyi. Tapi juga bukan ramai seperti biasanya. Ada perasaan kosong padahal dia ada di tengah keramaian.
Ini gimana sih? Kenapa Lintang jadi super plin plan begini? Semua gara-gara satu cowok bernama Baga Zyan Abhista! Karena Baga ini bersikap seolah Lintang hanya partner kerjanya aja. Bukan lagi seseorang yang harus dia perjuangkan. Kan ngeselin ya gaess ya? Rasanya kayak di PHP di depan mata.
Wong Baga aja masih ada di sekitar Lintang. Masih di kantor bapak Abhi. Masih muncul di timeline obrolan kerja. Pokoknya masih satu semesta yang sama. Berada di area yang bisa dilihat oleh mata. Tapi yang membedakan di sini, Baga nggak lagi nempelin Lintang kayak dulu.
Nggak ada pesan pagi yang tiba-tiba masuk hanya untuk bilang 'udah sarapan, Star?'. 'Mau sosis bakar nggak? Aku bawain buat kamu, ya?' atau 'Hari ini wangi banget, curiga mandinya nggak pakai air tapi berendem di parfum.'
Nggak pernah muncul secara mendadak seperti yang udah-udah. Nggak ada candaan receh yang sengaja dibuat agar Lintang manyun. Seakan ada tembok tak kasat mata yang menghalangi Baga untuk melakukan itu semua. Baga hadir, dia ada tapi dengan jarak. Benar-benar menegaskan jika dia hanya seorang mantan pacar!
Dan justru semua yang Baga lakukan itu terasa sangat mengganggu bagi Lintang. Nggak diganggu tapi terganggu? Piye konsepe kok mengkene jal?
Lintang pertama kali sadar dengan perubahan yang Baga lakukan itu ya di hari ketiga setelah Lintang mengembalikan jaket Baga. Ketika dia datang ke kantor untuk urusan sistem, berdiri di dekat mesin kopi, dan melihat Baga lewat di belakangnya. Baga nggak seantusias itu dalam menyambut nya.
"Pagi." ucap Baga singkat. Lalu berlalu begitu saja.
"Pagi," jawab Lintang refleks.
Tidak ada lanjutannya. Beneran langsung ngibrit tuh orang. Dih, kalau cuma gitu mah mending nggak usah nyapa kali. Bikin kesel aja! Ya kan?
Lintang bisa melihat Baga berjalan pergi makin jauh dan makin tak terlihat, membawa map, masuk ruangannya, menutup pintu tanpa mengajaknya masuk ke ruangan tempatnya bekerja.
Lintang berdiri agak lama di depan mesin kopi yang bahkan belum dia pencet. Alisnya sedikit berkerut, dadanya terasa aneh.. Apa ya? Bukan sakit, tapi lebih ke nyeri. Rasanya seperti memakai sepatu dengan size kekecilan tapi seharian harus bertahan dengan sepatu itu karena nggak mungkin nyeker di tengah teriknya matahari. Sesek, sempit, nyeri, dan itulah yang Lintang rasakan saat ini.
Karena biasanya nih, biasanya Baga bakal berhenti ketika melihat Lintang. Menggoda gadis itu, mengajaknya bicara meski obrolan mereka seperti seseorang yang melakukan dakwah.. Ya dakwah karena dilakukan satu orang sedangkan yang lain cuma diam mendengarkan. Apa yang seperti itu bisa disebut obrolan?
Nggak jarang Baga juga bakal nanya nanya soal tugas. Atau minimal nyeletuk soal rambut Lintang yang hari itu dibiarkan terurai. Tapi sekarang? Nothing! Semua itu menguap perlahan, hilang seperti kena sapu.
"That person is really strange," gumam Lintang pelan.
Jika tadi adalah situasi di kantor, maka yang terjadi di kampus pun sama. Nggak ada Baga yang tiba-tiba muncul di parkiran. Apalagi jaket yang disampirkan tanpa izin, jangan harap itu ada! Nggak ada pesan random yang bikin konsentrasi Lintang bubar jalan.
Ini tuh Baga nggak menghilang tapi dia hanya tahu diri aja. Sebagai seorang mantan, dia harus bisa menjaga batasan. Jangan terlalu mepetin jika kehadirannya memang nggak dibutuhin. Dan entah kenapa, yang dilakukan Baga justru bikin Lintang merasa kalah.
Ya emang sih.. Awalnya Lintang menikmati itu. Dia mendapatkan ruang, ketenangan, nggak ada distraksi emosional, nilai plus nya dia bisa fokus kuliah dan fokus kerja tentu saja.
Tapi siapa sangka, malam justru datang dengan cara yang kejam. Lintang terbaring di tempat tidur, lampu kamar dimatikan, ponsel berada di genggaman tangan. Jarinya refleks membuka aplikasi chat yang dulu biasa dia gunakan untuk melepas kerinduan dengan akun pacar online nya, ya sebenarnya sih aplikasi itu udah lama dihapusnya. Tapi ingatan tentang kisah cinta dan sang pacar online di sana nggak bisa ikut terhapus.
Zyan609.
Nama itu muncul begitu saja di kepala Lintang, tanpa permisi. Kurang ajar sekali kan? Dengan sangat menjengkelkan, memori Lintang bahkan berputar dan memaksanya mengingat tentang cara Zyan609 ngetik panjang lebar tapi isinya receh semua. Cara Zyan609 nunggu Lintang online walau cuma buat bilang 'sayang.. Kangen.' Atau cara Zyan609 nggak pernah maksa dirinya untuk terus on tapi justru Zyan609 selalu ada setiap Lintang membutuhkannya.
Lintang memejamkan mata. "Ai nggak jahitin dia kan? Ai nggak jolimin hati ai sendiri.. Atau.. Ai ini terlalu baim?"
Serah kamu deh, Ntang. Tapi pasti semuanya ngerti kan dia ngomong apa? Udah pada khatam dong sama bahasa amburadul nya Lintang?
Lintang itu ya sebenarnya terlalu sibuk jaga gengsi. Terlalu takut kalah posisi. Terlalu ingin terlihat dingin padahal hatinya meletot kayak marshmellow lagi di angetin. Dan lihat aja tuh sekarang, saat Baga jaga jarak darinya atau mungkin berhenti mengejarnya… Dia baru sadar betapa nyamannya dikejar orang yang tulus.
Fix semaleman Lintang nggak bisa tidur. Kantong matanya terlihat jelas. Ada gurat kelelahan di wajahnya tapi gadis itu tetap memutuskan untuk berangkat kuliah. Mungkin berkumpul dengan teman bisa sedikit membuang pikiran gilanya tentang kerinduannya pada Zyan609 atau pada... Baga!
Di kelas, Lintang hanya menyandarkan kepala pada meja. Terlihat seperti orang nggak punya semangat hidup. Cherry sampai geleng-geleng kepala melihat perubahan temannya.
"Kamu kenapa, Lin? Dari kemarin kayak lesu mulu. Kamu sakit apa gimana? Biasanya kamu paling ribut di kelas." tutur si rambut perak.
"Hsssstttt.. Jangan bersisik. Ai lagi kikir so hard!" jawab Lintang singkat sambil menaruh jari telunjuk di depan bibirnya.
"Mikir apa sampai bikin kamu jadi kayak zombie gini, hah?"
Lintang menatap kosong ke depan tapi nggak mengangkat wajahnya. Dan tetap kepalanya disenderin di meja.
"Hmm, ai tanya sama you.. Kenapa ada people yang tiba-tiba berulah cepat sifatnya? Tadinya perhatian sekarang jadi cuek nggak ketulungan? Why? You tua jawabannya?"
Cherry berdecak. Oke lah nggak perlu kamus bahasa pertypoan, si Cherry Cherry ini udah fasih kok sama apa yang dimaksud Lintang.
"Kamu lagi ngomongin siapa? Baga? Dia nyuekin kamu? Menurut ku wajar sih Lin dia kayak gitu... Ya gimana ya, seseorang itu butuh timbal balik dalam hal apapun. Termasuk perasaan. Jadi simpelnya gini, misalnya kamu suka sama orang terus berusaha mendapatkan orang itu dengan ngasih perhatian, waktu, usaha yang nggak main-main tapi disepelekan.. Dipandang sebelah mata, terserah mau mata kiri atau mata yang kanan! Lama-lama capek lah Lin."
"Dia memilih berhenti karena kamu nya tetap stay di tempat. Mau digendong kamu berontak, mau diseret takut nyakitin kamu. Ya udah. Dari pada capek sendiri mending dia stop di situ." ucapan si rambut perak kok seperti sebuah hunusan pedang yang langsung ngena ke hati Lintang ya. Apa iya Baga udah capek sama dia?
Lintang mendengus, menolak asumsi yang Cherry katakan. "Sok muter!"
"Sok pinter? Nggak lah.. Itu kenyataan Lintang. Dan kamu harus terima itu."
"Makin pantes you ganti name jadi Jule! You amat sangat ngeselin, you know?!"
Obrolan keduanya nggak dilanjut karena udah ada dosen yang masuk kelas untuk ngasih materi pada mereka. Seharian berjalan begitu gitu aja, nggak ada yang sapisial. Jenuh banget rasanya jadi Lintang.
Dan tahu nggak, gong nya tuh sore ini tiba-tiba banget hujan turun ketika waktunya Lintang pulang ngampus. Cukup deras, untuk membuat jalanan basah dan udara dingin menyusup ke tulang. Mobilnya mogok, entah karena apa. Lintang nggak tau alasannya. Dia udah mondar-mandir buka kap mesin mobilnya, mengamati satu-satu komponen yang sebenarnya dia nggak ngerti sama sekali. Helaan nafas panjang terdengar, Lintang pasrah ketika merasakan seluruh tubuhnya basah dan dingin oleh air hujan.
Di tengah keputusasaan, ponselnya bergetar. Nama Mr. Z muncul di layar. Sengaja Lintang ngasih nama Baga dengan sebutan itu, alasannya? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Lintang menatapnya beberapa detik sebelum mengangkat.
"Hmm" suaranya datar, tapi nggak dengan degup jantungnya.
"Kamu masih di kampus?" tanya Baga di seberang sana.
"U'huum." tetap irit bicara si Lintang ini.
"Hujan, Star."
"I know."
Hening sebentar.
"Star.. Aku di depan."
Lintang mendongak. Di seberang jalan, Baga berdiri di samping mobilnya, payung hitam di tangan. Lelaki itu nggak melambai. Nggak tersenyum berlebihan. Hanya menunggu. Dan ponsel masih ada di telinganya.
Lintang berjalan mendekati Baga. Menyeberang jalan. Dan akhirnya bisa berdiri berhadapan, jaraknya sopan. Terlalu sopan untuk dua orang yang pernah saling jatuh hati lewat jalur daring.
"Pulang bareng aku, mau?" tanya Baga langsung menutup payungnya.
Lintang mengangguk. "Iya."
Di dalam mobil, suasana sunyi. Bukan canggung, tapi berat. Baga melepas jasnya. Dia taruh di sebelah Lintang, dekat perseneling. Lintang menatap sesaat lalu tanpa disuruh langsung menjadikan jas Baga sebagai selimut kecil guna menutupi dadanya.
"Makasih." kata Lintang tiba-tiba.
Baga menoleh. "Untuk?"
"For everything.. Semua hal yang udah you kasih buat ai. Dan ai rasa.. Ai rasa.. Ai terlalu baim. Ai terlalu egois, ai.. Ai salak sama you."
Baga tersenyum kecil. "Star ku udah kembali.."
"T-tapi... You berulah.. You menjauh. Ai kikir you udah bosen sama ai."
Baga menghela napas pelan. "Aku nggak berubah. Aku selalu ada di dekatmu. Aku hanya berusaha ngasih sesuatu yang kamu butuhkan... Ketenangan, dan tanpa aku. Iya kan?"
Lintang menatap keluar jendela. "Ai salak, iya kan?"
Bisa nggak sih, momen kayak gini dibuat agak serius dikit? Itu lho si Lintang mbok ya jangan typo typo mulu apa nggak bisa? Suruh kumur-kumur aer hujan coba! Siapa tahu itu lidahnya bisa lurus kayak manusia pada umunya.
Baga mematikan mesin. Menoleh sepenuhnya ke arah Lintang.
"Aku nggak pernah pergi, Star. Aku cuma berhenti ngejar orang yang belum siap digenggam." ucap Baga tenang.
Lintang menelan ludah. Dia menghadap ke arah Baga. Kedua mata mereka bertemu. "Ai.. Ai siap sekarang.."
Baga nggak langsung merespons berlebihan. Dia menatap Lintang lama, seolah memastikan ini bukan keputusan impulsif.
"Kita bukan Zyan dan Bintang di aplikasi chat, Star.. Kita Baga dan Lintang di dunia nyata. Dengan risiko nyata." serius deh, Baga udah berusaha keras untuk nggak melewati batas dengan memegang tangan Lintang atau memeluk tubuh mungil yang sedang kedinginan di sampingnya itu.
Lintang mengangguk. "I know."
"Apa kamu pernah kangen sama aku, Star?"
"Apa itu juga harus ai jawab?? You lagi ngisingin ai??" ebuset ngisingin apa, Ntang?
Hening. Pengennya ketawa tapi Baga empet sebisanya. Tiba-tiba banget suasana kayak gini, seromantis ini, ngomong tentang kelanjutan hubungan, tau-tau ngomong 'ngisingin'.. Ya salam, Ntang Ntang.
Yang Baga lakukan adalah mengulurkan tangannya. Nggak memaksa. Nggak mau menarik tangan Lintang juga. Tapi Lintang langsung meletakkan tangannya di sana, di atas tangan Baga. Seketika seperti ada cleret eh.. Petir yang menggetarkan hati keduanya. Untuk pertama kalinya mereka berpegangan tangan tanpa paksaan dan penuh kesadaran. Hangat. Nyata.
"Kita mulai lagi. Bukan dari nol.. Tapi dari jujur, deal?" kata Baga dengan seember senyuman khas dirinya.
Lintang balas dengan pringisan ceria. "Deal!"
Hujan masih turun. Tapi di dalam mobil itu, dua orang akhirnya berhenti menjaga jarak yang tidak perlu. Karena sejak awal, hati mereka sudah terlalu dekat untuk pura-pura asing.
Tamat!
Eh.. Enggak enggak. Nggak tamat gaess, enggak! Belum kok!
bikin malu Buapkmu aslii bisa2 camer mikir ke arah anuu🤣
kencannya kemaren jadi gak mereka Thor?
lagi semedi jadi abnormal tah🤣🤣
hmmmm
gak baik klo jalan cuma berdua doang..
gosah pake translate, soalnya saya sudah biasa menghadapi teman yg jarinya melebar hingga menciptakan deretan kalimat yg perlu kejelian dalam memahaminya😌