NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:398
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33 - Kain Terakhir Masa Lalunya

Bilah perunggu itu menancap setengah telapak ke dalam batang pohon keras.

Serat kayu menjepitnya seperti rahang, membuat pedang itu mustahil ditarik keluar dengan cepat.

Yarun’ru merasakan sedikit getaran logam di genggaman bilahnya mungkin penyok halus, tapi masih utuh.

Yarun’ru akhirnya berhasil mencabut pedangnya dari batang pohon itu. Tetapi bagian pinggir terlihat sedikit tumpul bekas dari tebasan keras yang ia layangkan barusan.

Ia menghela napas panjang, menurunkan diri duduk di atas akar pohon besar yang menonjol dari tanah.

Dengan gerakan tenang, ia meraih batu licin pipih yang selalu ia bawa batu asah alami yang ia temukan di salah satu sungai berbatu selama perjalanan.

Ia meneteskan sedikit air dari kantung kulit hewan ke permukaan batu itu.

Air mengalir tipis, mengikuti lekukan batu, membuat permukaannya mengilap.

Yarun’ru menarik pedang itu ke sepanjang batu, perlahan tapi mantap.

“Sssrrt…”

Suara logam tumpul bergesek dengan batu memenuhi udara hutan.

Ia ulangi lagi. Dan lagi.

Tetap teratur, tetap sabar.

Tak ada kekesalan yang meledak, tak ada amarah yang tersisa.

Hanya fokus dan disiplin seorang ksatria yang memahami bahwa senjata adalah nyawa kedua.

Raka memperhatikan dari kejauhan.

Yuna yang kini wajahnya sudah terlihat jelas melirik sesekali, kagum pada ketenangan pemuda Lakantara itu, seolah pertarungan barusan tidak pernah terjadi.

Yarun’ru memeriksa bilah pedang, menguji ketajamannya dengan menyentuh sisi yang bukan mata bilah.

“Masih bagus,” gumamnya. “Perunggu kuat… tapi tetap butuh dirawat.”

Ia meneteskan sedikit air lagi dan menggerakkan pedangnya sekali terakhir.

Yuna menatap sisa-sisa tanah tempat ia pernah tinggal.

Hanya gundukan hitam, serpihan arang, dan akar-akar pohon tua yang merayap seperti tangan-tangan masa lalu.

Angin yang melewatinya membawa bau lembab tanah, bau yang selama bertahun-tahun menjadi satu-satunya teman hidupnya.

Ia menggenggam erat kain penutup kepalanya yang kini diturunkan, seakan itu adalah tali terakhir yang mengikatnya pada masa kecilnya yang hampir ia lupakan.

Raka melangkah mendekat dengan tenang.

“Kau tidak harus pergi,” katanya pelan.

“Tapi… kalau kau tetap tinggal di sini, apa yang akan kau hadapi selain sunyi yang sama lagi?”

Yuna tidak menjawab.

Matanya menyapu tempat itu satu per satu lokasi dapur kecil tempat ia pernah memanggang daging buruan,

lubang tanah tempat ia dulu bersembunyi dari api,

sisa-sisa kayu hangus yang pernah jadi rumah keluarganya.

“Sejak kecil… aku pikir dunia hanya sampai di sini,” gumamnya lirih.

“Di sini aku bertahan, di sini aku belajar hidup.

Tapi… tidak ada siapa-siapa lagi.”

Yarun’ru Beta yang sedang mengasah pedangnya di samping pohon hanya menatap Yuna sekilas, lalu kembali fokus.

Ia tahu keputusan seperti ini tak bisa didesak.

Raka menunduk sedikit, memberi ruang.

“Aku sedang menjalani ujian Prahya,” katanya.

“Yarun’ru adalah temanku.

Kami bergerak ke timur… ke tempat suku Yaka.

Jika kau ikut, bukan untuk menjadi beban, tapi untuk berjalan bersama.”

Yuna menggigit bibirnya.

Pilihan itu mengguncang hatinya.

Jika ia pergi… ia melepaskan satu-satunya dunia yang ia kenal.

Jika ia tinggal… ia akan kembali pada kesunyian yang membesarkannya namun juga menelannya.

“Jika suatu hari kau ingin mengambilnya kembali… tempat ini tidak akan lari kemana-mana,” kata Raka pelan.

Angin kembali berhembus, membuat debu abu rumah lama itu naik ringan.

Ia tahu itu tanda.

Akhirnya Yuna menarik napas panjang.

“Kalian benar,” ujarnya, suara masih serak.

“Tidak ada lagi yang menahanku di sini… kecuali kenangan yang menyakitkan.”

Ia menatap Raka dan Yarun’ru bergantian dua orang asing yang kini terasa lebih hidup daripada seluruh tahun-tahun yang pernah ia lewati sendirian.

“Aku ikut.”

Raka tersenyum lega.

Yarun’ru hanya mengangguk singkat, tapi matanya mengakui keberanian keputusan itu.

Kilau tembaga pada pedang itu perlahan kembali, memantulkan cahaya di sela pepohonan.

Ketika ia bangkit, Raka bertanya pelan, “Sudah siap?”

Yarun’ru menyarungkan pedangnya, mengangguk tanpa menoleh.

“Selalu.”

Yuna berdiri sedikit lebih tegak dari sebelumnya.

Untuk pertama kalinya sejak kecil, langkahnya tidak menuju masa lalu…

melainkan menuju perjalanan baru.

Yuna berdiri di bawah sinar matahari pagi yang menyelinap di antara dahan pepohonan.

Tanah dan abu yang menempel di bajunya perlahan jatuh ketika ia menepuknya.

Kini, setelah membuka penutup kain di kepalanya, pakaian yang ia kenakan tampak jelas sederhana, namun dirancang dari pengalaman bertahan hidup yang panjang.

Pakaiannya terbuat dari kulit hewan tipis, disamak seadanya dengan ramuan yang ia temukan sendiri di hutan.

Kulit itu melekat mengikuti bentuk tubuhnya, bukan karena ingin tampak indah, tetapi karena Yuna tahu:

Pakaian yang longgar adalah musuh bagi orang yang harus berlari dan bertarung.

Beberapa bagian kulit dijahit dengan urat hewan yang mengeras seperti benang baja setelah kering. Jahitannya tak rapi, namun kuat cukup untuk menahan goresan semak liar dan gigitan serangga besar.

Di bahu hingga pinggul, ia menambahkan lapisan serat tumbuhan yang dianyam tipis-tipis, memberi fleksibilitas tanpa membuatnya berat.

Celananya dibuat dari kulit tipis, potongannya sedikit di atas lutut agar tidak menghambat lompatan dan gerak kakinya yang lincah.

Meski terlihat kusam, setiap bagian dari pakaiannya memiliki tujuan:

Ringan untuk berburu.

Lentur untuk memanjat dan berguling.

Agak ketat agar tak tersangkut di ranting.

Tahan lama karena ia tak punya siapa pun untuk membuatkan yang baru.

Raka sempat memperhatikan detail itu diam-diam, lalu berbisik,

“Dia hidup sendirian… tapi pakaiannya seperti dibuat oleh seorang pemburu ahli.”

Yarun’ru hanya mengangguk tipis. Pakaian itu bukan sekadar baju.

Itu adalah jejak hidup Yuna tahun-tahun bertahan, tahun-tahun berperang sendirian dalam senyap.

Yuna melangkah beberapa tapak, namun tiba-tiba berhenti.

Ia menoleh ke belakang ke arah gubuk tanah yang telah lama dilahap usia, ke tempat ia dulu kecil, menangis, lapar, gemetar dalam kegelapan… satu-satunya rumah yang pernah ia kenal.

Angin dataran rendah meniup lembut rambut pendeknya yang sebahu, mengangkat sedikit kain serat kusam yang masih menutupi kepala dan sebagian wajahnya.

Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata:

“Kain ini… peninggalan orang tuaku.”

Jari-jarinya menyentuh tepi kain, gerakannya ragu tetapi mantap.

Ada luka bakar kecil di pipi kanannya bekas dari malam saat dunia kecilnya runtuh dan kain itu adalah satu-satunya benda yang masih menghubungkannya dengan masa lalu.

“Tapi jika aku terus memakainya…”

Ia menarik napas panjang.

“…aku tidak akan pernah meninggalkan tempat ini.

Tidak akan pernah maju.”

Yuna meremas kain itu sekali lagi, seolah memberi salam terakhir pada kenangan yang membesarkannya sekaligus menghantuinya.

Lalu dengan gerakan perlahan namun penuh keputusan, ia melepaskannya.

Kain itu turun dari kepalanya, terjatuh ringan di tanah di atas akar tua dan debu tempat ia dahulu bersembunyi dari api hijau.

Yuna berdiri tanpa penutup kepala, wajahnya kini terlihat jelas oleh Raka dan Yarun’ru:

tegas, muda, penuh luka, tetapi tidak lagi terkekang.

“Aku harus merelakannya,” katanya lembut.

“Karena mulai hari ini… aku tidak lagi sendirian.”

Ia berbalik dan berjalan menyusul mereka, tanpa menoleh lagi.

Yuna melangkah di antara reruntuhan tanah kelahirannya, kakinya ringan dan lincah.

Sesekali ia melompat-lompat, seperti menari di atas abu dan akar tua, sambil bersenandung pelan: “na-na-na… na-na-na…” Suaranya nyaris hilang ditelan angin, tapi bagi dirinya itu adalah musik kebebasan.

Untuk pertama kalinya, ia berjalan jauh dari tempat yang membesarkannya dari rumah yang hancur, dari sunyi yang menjadi teman seumur hidupnya.

Setiap langkah membuka rasa ingin tahu yang selama ini terkubur: seperti apa dunia luar?

Bagaimana orang-orangnya?

Dan apakah benar ada kehidupan di luar yang tidak dipenuhi rasa takut?

Selama bertahun-tahun, ia hanya melihat tentara Lakantara yang melintas, dan sebagian besar berhasil dihindari atau lenyap di hadapannya.

Kini, dunia terasa luas, penuh kemungkinan, dan untuk pertama kalinya, Yuna merasakan bahwa langkahnya bisa menuntunnya ke sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan hidup.

Perjalanan mereka menuju suku Yaka membawa mereka melewati lembah dan hutan yang sunyi.

Yarun’ru berjalan di depan, langkahnya stabil menyibak semak-semak rendah.

Ia sempat melirik ke belakang melihat Yuna yang sejak tadi melompat-lompat sambil menyanyikan nada tak jelas.

“Nanana… nanana…”

Gerakannya ringan, hampir seperti anak kecil yang pertama kali melihat dunia.

Raka ikut tersenyum kecil melihatnya. Sudah beberapa kali Yuna berhenti hanya untuk menyentuh batu besar, menendang buah kering, atau melihat kupu-kupu lewat seakan semuanya hal baru baginya.

Setelah beberapa jam, mereka tiba di sebuah lereng dataran tinggi yang dipenuhi tengkorak dan sisa tulang belulang.

Baju serat rami yang tersisa di beberapa rangka masih bisa dikenali tentara Lakantara.

Yuna tetap melompat-lompat melewati tumpukan tulang tanpa perubahan ekspresi, seolah semua itu hal biasa bagi dirinya.

Ia bahkan sempat memungut tengkorak, mendekatkan ke telinganya, lalu meletakkannya lagi dengan tawa kecil.

Namun Yarun’ru justru berhenti.

Ia berjongkok, mengangkat serpihan serat rami yang menempel di salah satu tulang. Tangan kirinya menyentuh tanah hitam yang dipenuhi bekas senjata patah.

“…Ini bukan hanya tentara Lakantara.”

Ia menunjuk ke beberapa tengkorak lain.

“Lihat bentuk pelindung bahu ini. Ini bukan milik Lakantara. Medan perang lama… mungkin dari masa kakekku.”

Raka mendekat.

“Perang perebutan wilayah… itu sekitar delapan puluh tahun lalu, bukan?”

Yarun’ru mengangguk.

 “Ya. Masih ada sisa-sisanya.

Tidak semuanya sempat dikuburkan. Terlalu banyak yang gugur.”

Yuna berhenti melompat, menatap mereka dengan kepala condong ke samping.

“Kalian kenapa? Tengkorak kan cuma tulang,” katanya polos.

Yarun’ru menatapnya lama sebelum akhirnya berjalan lagi.

Namun rasa penasaran Yuna belum selesai.

Ia menyusul langkah Yarun’ru dan bertanya, “Kau pernah membunuh orang?”

Pertanyaannya keluar seakan ia hanya menanyakan nama bunga.

Yarun’ru sedikit tersentak, lalu menjawab tegas,

“Tidak. Aku belum pernah membunuh manusia.

Hanya binatang buas.”

Yuna mengangguk kecil.

Lalu matanya bergerak ke Raka.

“Kalau kamu?”

Raka tersenyum canggung.

“Paling… membasmi serangga pengganggu semalam.”

Yuna terlihat puas dengan jawaban itu.

Ketika ia kembali berlari-lari kecil di depan mereka, Yarun’ru menatap Raka sambil berbisik:

“Bukankah seharusnya dia lebih dewasa dari kita? Mengapa tingkahnya seperti anak kecil?”

Raka menarik napas pelan.

“Tentu saja.

Bayangkan… sejak tragedi Api Hijau dia hidup sendirian.

Tidak ada yang mengobrol dengannya, tidak ada yang bermain dengannya.

Wawasannya cuma hutan, bahaya, dan sunyi.”

“Kini,” lanjut Raka sambil melihat ke arah Yuna yang menendang batu sambil tertawa,

“Baru sekarang dia punya teman. Jadi… wajar kalau masa kanak-kanaknya baru mulai keluar.”

Yarun’ru tak menjawab, namun tatapannya pada Yuna berubah lebih lembut, lebih memahami.

Yuna memungut anak-anak panah bekas perang itu satu per satu, lalu ia mengetukkannya sedikit di batu untuk memastikan ujungnya masih bisa dipakai.

Beberapa patah, beberapa bengkok, tapi sebagian masih cukup tajam untuk melukai.

Ia memasukkannya ke dalam kantong panah anyaman rotan yang ia bawa di punggung jelas sekali kantong itu juga ia buat sendiri.

Raka memperhatikan dari jarak beberapa langkah dan berbisik pada Yarun’ru,

“Dia memanfaatkan barang-barang bekas… bekas perang, bekas tragedi, apa pun yang ia temukan.

Bahkan anak panah rusak pun dia bisa pakai untuk menjebak atau menusuk.”

Yarun’ru menatap gerakan Yuna, mengamati cara ia memungut panah sambil tetap waspada seperti hewan hutan.

“Gerakannya… sangat gesit,” gumam Yarun’ru.

“Jika bertarung jarak dekat, dia bisa menjadi ancaman.

Bukan karena kekuatan, tetapi karena kelincahannya.”

Raka mengangguk.

“Aku tak menyangka. Kita sempat bertarung dengannya… tapi lihat caranya mengumpulkan semuanya. Dia hidup dari sisa-sisa peperangan yang bukan miliknya.”

Yuna menoleh sebentar dan tersenyum kecil, polos, seperti tidak memahami bahwa dua pemuda itu sedang membicarakan dirinya sebagai seorang pemburu mematikan.

“Dulu aku pakai ini untuk mengalahkan kalian,” katanya ceria sambil mengangkat dua batang anak panah bengkok.

“Lumayan, kan?”

Yarun’ru dan Raka saling pandang.

Dasar Yuna.

Lugu… tapi tetap berbahaya dalam caranya sendiri.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!