“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Yang Tidak Diakui
“Sepupu? Kau di sini?”
Pria dengan tato di sepanjang lengan itu berdiri begitu melihat Alan. Ada keterkejutan di dalam nada suaranya.
Alan sempat membeku di tempat, namun segera rahangnya mengeras begitu matanya bertemu dengan tatapan Alex. Ada kebencian terpendam di matanya terhadap sepupu istrinya itu.
Ia masih ingat bagaimana pria yang menjadi salah satu saingan bisnisnya itu beberapa kali mencoba menjatuhkannya. Membuatnya hampir kehilangan nyawa saat itu.
Dan jika bukan karena permintaan Lira, mungkin pria di hadapannya itu hanya tinggal nama ini.
“Apa kau sedang sakit, sepupu?” tanya Alex lagi sembari melangkah mendekat.
Alan menatapnya tajam. “Kau bertanya seolah kita masih bisa berkomunikasi layaknya teman, Alex. Tapi tidak, kita bukan lagi teman atau bahkan sepupu. Kita adalah dua musuh. Ingat itu.”
Alex tersenyum miring. Ia menangkap kegelisahan di wajah Alan. Mata pria itu beberapa kali kedapatan mengitari ruang, seolah sedang mencari sesuatu.
“Kau mencari siapa, sepupu?” tanyanya menatap sinis. “Pasti bukan Lira, kan?
Alan kembali menatap pria itu tajam. “Bukan urusanmu, Alex,” awab Alan sengit. “Urus saja gundikmu itu.”
Tatapan Alan sempat terarah ke seorang gadis belia dengan pakaian minim yang tadi duduk di sebelah Alex sebelum ia melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Sambil melangkah menyusuri koridor klinik, Alan mengeluarkan ponsel berniat untuk menghubungi Tara. Namun panggilannya tak direspon oleh gadis itu.
“Sial! Ke mana perginya dia,” gumam pria itu gusar.
Begitu tiba di teras klinik, Alan memandang sekeliling, berharap segera melihat Tara. Tapi bahkan bayangan gadis itupun tak bisa ditemukannya.
“Kau berani main-main denganku, Tara,” geramnya sembari mengusap wajahnya dengan kasar.
Alan kemudian melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga teras menuju ke mobilnya, dan pada saat itulah Tara muncul dari arah samping, dengan langkah yang terlihat santai.
“Sudah selesai periksanya, Pak?” tanya gais itu dengan suara tenang.
Alan sempat terkejut, sampai-sampai mengelus dada. “Kamu darimana saja sih, Ra?” tanyanya kesal.
“Kan sudah saya bilang, teman kost-an saya nelpon tadi,” jawab Tara santai, sama sekali tidak merasa bersalah.
“Serius? Kamu tidak bohong?” Alan yang masih belum percaya sepenuhnya kembali bertanya, ada keraguan yang terdengar jelas di suaranya.
“Untuk apa saya bohong?” balas Tara cepat. Ia lalu melangkah lebih dulu meninggalan Alan. Dan Alan mengikutinya dari belakang.
Begitu jarak mereka beberapa meter dari mobil, Tara menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan berkata pada Alan, “Saya pulang sendiri saja, Pak,” ujarnya sedikit membungkuk, berpamitan dengan sopan pada pria itu. “Teman saya mau jemput.”
Alan yang mendengar hal itu langsung bergerak cepat, mencekal lengan Tara dengan kuat.
“Bukankah sudah kubilang, aku yang antar?”
Tara menghela napas panjang. “Pak Alan kan sedang sakit? Untuk apa memaksa...”
Belum sempat ucapan Tara selesai, Alan sudah menggiringnya ke mobil. Pintu mobil terbuka dengan bunyi bip dua kali saat Alan menekan tombol remot.
“Pak...“
“Jangan membantahku, Tara.” Sahut Alan cepat dan tegas. Ia lalu membukakan pintu untuk Tara dan menyuruhnya masuk. “Aku sedang tidak ingin berdebat sekarang.”
Tara mendengus kesal, “Ya tapi...”
“Tara...” Potong Alan dengan diiringi tatapan tajam.
Sambil mengomel, Tara masuk kembali ke dalam mobil itu.
Alan tersenyum miring. Ia tiba-tiba membungkuk dan melingkarkan seatbelt di tubuh Tara.
Gadis itu seketika membeku. Ia bahkan sampai menahan napas saat jarak dirinya dan Alan terlalu dekat.
Alan menatapnya, senyum miring di wajah pria itu kembali terbit, sungguh terlihat sangat menyebalkan bagi Tara.
“Kenapa kaku begitu?” tanya Alan yang mendekatkan wajah mereka, membuat Tara sampai melebarkan mata. “Jangan bilang hatimu sedang berdebar – debar berada sedekat ini denganku, Tara.”
Saat pria itu akhirnya menjauh, jarinya menyentil kening Tara. “Belum saatnya aku meminta hakku sebagai suamimu, Tara.”
Alan akhirnya menegakkan tubuh, dan menutup pelan pintu mobil itu.
Di dalam Tara langsung mengelus dada karena lega. Jarak bebera inci saja mungkin bibirnya akan kembali bersentuhan dengan bibir Alan seperti waktu itu. Moment yang terkadang masih sering mendatanginya dalam mimpi.
“Jangan pikirkan hal gila, Tara. Dia pria beristri,” gumamnya dalam hati, berusaha meneguhkan diri bahwa dia tidak akan jatuh ke dalam lembah berbahaya itu.
Ketika Alan akhirnya masuk dan telah menyalakan mesin, mobilpun mulai bergerak dan melaju meninggalkan halaman klinik itu.
Alan merogoh saku dan memberikan selembar kertas pada Tara, “Resep dari dokter.”
Tara melihatnya sebentar sebelum matanya memicing pada Alan. “Kenapa kau berikan padaku? Kenapa tidak kamu beli sendiri saja?”
Alan menghela napas, “Bisa tidak bicara yang agak sopan padaku? Hm...?” protes Alan kesal.
Tara menggaruk tengkuk. “I_iya... maaf, Pak?”
“Masa ‘Pak’?” protes pria itu lagi tak terima dengan panggilan itu.
Tara menatapnya gemas. “Lalu maunya dipanggil apa? Om...?”
“Panggil ‘Mas’,” jawab Alan cepat dan tegas.
Tara menatap pria itu tak percaya, mulutnya terbuka sedikit mengekspresikan keterkejutannya. “Apa?! ‘Mas? Mas? Apa kau serius, Tuan Alan?”
Alan mengangguk. “Ya. kenapa? kamu keberatan mengubah panggilanmu padaku? Tidak seperti pada orang lain yang kamu cepat sekali meresponnya?”
Tara mengerutkan kening. “Maksudnya?”
Alan membuang wajah ke samping. Ia masih kesal kala mengingat bagaimana kebersamaan dan interaksi Dirga waktu itu.
“Pokoknya Mas mau kamu panggil itu ke Mas, mulai sekarang. Titik. Tidak ada bantahan.”
“Enak saja,” gerutu Tara membantah. Ia lalu menyodorkan kembali kertas itu pada Alan. “Ini ambil lagi, saya tidak mau.”
Tapi Alan hanya menatapnya sekilas tanpa berniat untuk mengambilnya kembali. Pria itu justru menatap Tara kesal.
“Selama status kita masih suami istri, sudah tugasmu mematuhiku, Tara. Ambil itu dan urus obatku.”
“Aku tidak punya uang,” sahut Tara beralasan. Yang ia tahu, obat-obatan untuk orang kaya seperti Alan pasti mahal, meskipun salah satunya di antara daftar obat itu pernah ia dapatkan secara cuma-cuma dari mantri desa.
Alan tersenyum, lalu mengeluarkan dompet dari saku celana dan menyodorkannya pada Tara.
“Ambil. Kamu yang pegang.”
Tara hanya menatapnya tanpa berniat untuk mengambil dompet itu.
“Ambil, Sayang.”
Tara mengerjapkan mata. “Stop! Jangan panggil sayang lagi. Aku bukan istrimu yang kamu bangga-banggakan itu.”
“Tapi kau tetap istriku, jangan lupakan juga fakta itu,” balas Alan tegas.
“Istri yang tidak diakui,” gumam Tara mengalihkan pandangannya ke jendela samping.
Meski mendengar dengan jelas ucapan Tara barusan, Alan memilih diam, karena awalnya memang seperti itu keadaannya.
Ia sendiri juga tidak tahu kenapa sekarang justru ia ingin sekali mengakuinya, di hadapan semua orang, bahwa Tara adalah miliknya.
Perjalanan mereka selanjutnya ditemani hening. Baik Alan maupun Tara bergulat dengan pikiran masing-masing. Lembaran kertas yang saat ini masih berada di tangan Tara terlihat kusut di bagian sisinya karena cengkraman gadis itu.
Beberapa saat kemudian, mobil Alan menepi di salah satu apotik ternama. Keduanya sempat masih saling diam beberapa saat lamanya meski mesin mobil telah mati.
“Kamu mau ikut turun atau menunggu di sini?” tanya Alan dengan suara yang lebih tenang dan lembut daripada sebelumnya. Ia sedang berusaha mati-matian menurunkan egonya di hadapan Tara. Ia tahu emosi tidak akan membuat hubungan mereka membaik malam itu.
“Bapak saja,” jawab Tara masih setengah ketus. Ia menyodorkan lembaran resep dokter yang dipegangnya kepada Alan.
“Tunggu di sini sebentar,” ujar pria itu melepas sabuk pengaman.
Tara tak menyahut dan hanya mengangguk pelan.
Ketika Alan turun dan mulai melangkah masuk ke dalam apotik, Tara diam-diam memperhatikan sekilas pria itu dari dalam mobil.
Alan, pria yang sempurna dari segi tampang maupun kondisi financialnya. Dan selama mengenal Alan sewaktu di desa, Tara tahu, meskipun Alan pria yang dingin, tapi pria itu memiliki hati yang baik. Wanita yang menjadi istrinya pasti sangatlah beruntung.
Lalu gadis itu tiba-tiba tersenyum, lebih terkesan getir.
Ia adalah wanita itu.
Wanita yang menjadi istri Alan Hardinata.
Tara menatap keluar jendela, pikirannya berputar antara kenyataan yang tak bisa ia hindari dan perasaan yang sering kali datang seperti mimpi buruk.
Bahwa ia hanya istri yang tidak diakui.
Karena status yang sampai saat ini ia sandang, ia dapatkan dari sebuah keterpaksaan.
Tara menghela napas, menepuk-nepuk pipinya dengan kedua tangan. “Sadar, Tara. Sadar. Dia bukan milikmu.”
Beberapa menit kemudian Alan kembali dengan sebuah bungkusan di tangan. Begitu masuk kembali ke dalam mobil, ia menyerahkan obat-obatan itu kepada Tara.
“Kita pulang,” ujarnya kembali mengenakan seatbeltnya.
Begitu mesin mobil menyala, kendraan itupun kembali melaju membelah jalanan ibukota yang malam itu lumayan lengang. Sama seperti sebelumnya, perjalanan keduanya hanya ditemani keheningan. Tak ada musik seperti yang biasa Alan mainkan ketika ia bersama Lira di dalam mobil itu.
Butuh sekitar lima belas menitan hingga mobil Alan berhenti di depan kost yang Tara tinggali bersama Fifi.
“Obatnya diminum setengah jam sebelum makan,” ujar gadis itu sambil menaruh bungkusan obat Alan di atas dashoard. Bukan sok perhatian, tapi ia hanya spontan saja mengucapkannya karena ingat dulu ia selalu tepat waktu memberikan obat untuk pria itu saat masih di desa.
Alan mengangguk, “Terima kasih.”
Ketika Tara hendak melepas sabuk pengamannya, tiba-tiba Alan berbicara.
“Mas akan batalkan keputusan mutasimu.”