Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.
Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.
Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Dunia Luar
Selama seminggu berikutnya, kehidupan di Pagoda Serpihan Surga berubah menjadi lebih intens dari sebelumnya. Boqin Changing seolah ingin menumpahkan seluruh sisa pengetahuannya sebelum mereka kembali. Ia tidak lagi sekadar menguji atau mengawasi, tetapi benar-benar menjejalkan pemahaman ke dalam kepala muridnya.
“Tidak cukup hanya bisa menggunakan jurus,” katanya suatu pagi, ketika matahari baru muncul di balik kabut. “Kau harus tahu kapan tidak perlu menggunakannya.”
Setiap hari, Gao Rui berhadapan dengan situasi yang diciptakan gurunya. Pertarungan melawan ilusi, simulasi perang, jebakan energi, bahkan pertempuran melawan dirinya sendiri yang diciptakan dari bayangan gelap. Boqin Changing membuatnya menghadapi ketakutan, keserakahan, dan emosi terdalamnya melalui teknik mental tingkat tinggi yang jarang diajarkan kepada siapa pun.
“Guru… kenapa aku harus bertarung melawan diriku sendiri?” tanya Gao Rui pada hari ketiga, ketika sosok kembarannya menatapnya dari tengah kabut, dengan pedang yang sama dan jurus yang identik.
Boqin Changing menjawab tanpa menoleh, suaranya tenang namun penuh makna.
“Karena musuh terkuat dalam hidupmu bukan siapa pun di luar sana. Tapi dia yang melihatmu setiap kali kau bercermin.”
Pertarungan itu berlangsung berjam-jam. Ketika akhirnya selesai, Gao Rui roboh di tanah, tapi di matanya ada ketenangan baru. Sebuah pemahaman.
Hari demi hari berlalu seperti itu. Boqin Changing mempercepat segalanya, mulai dari ilmu pernapasan, pola aliran energi, hingga filosofi bertarung yang mendalam.
“Kau harus berusaha lebih keras,” ucapnya suatu sore ketika mereka berlatih di puncak tebing. “Kau harus percaya pada jalanmu sendiri. Pahami, serap, lalu hancurkan bentuknya. Baru kau bisa melampaui aku.”
Gao Rui menunduk dalam, lalu menjawab dengan suara mantap.
“Baik, Guru.”
Boqin Changing tersenyum samar.
“Kau memang harus begitu. Karena kalau tidak, aku sendiri yang akan membunuhmu.”
Ucapan itu diucapkan dengan datar, tapi justru membuat darah Gao Rui mendidih oleh semangat. Ia tidak tahu gurunya sedang bercanda atau tidak. Namun ia tahu setiap kata dari mulut gurunya bukan ancaman kosong, tapi hukum yang tak bisa ditawar.
Hari keenam, latihan berubah drastis. Tidak lagi fokus pada teknik, tapi pada intuisi. Boqin Changing menutup mata Gao Rui dengan kain hitam, lalu mengurungnya di arena kecil berisi dua puluh bayangan gelap.
“Bertarunglah tanpa melihat,” katanya datar. “Andalkan perasaanmu. Dunia tidak akan selalu memperlihatkan lawanmu.”
Gao Rui mengerahkan seluruh inderanya. Setiap desiran angin, setiap getaran di tanah, setiap perubahan suhu menjadi petunjuk arah serangan. Ketika ia keluar dari arena itu dalam keadaan berdarah-darah namun berdiri tegak, gurunya hanya menatapnya singkat dan berkata,
“Sekarang kau akan mulai hidup seperti pendekar.”
Hari ketujuh tiba. Fajar menyingsing di puncak bukit dengan cahaya lembut yang menyinari bebatuan kuno. Udara pagi terasa berbeda, lebih tenang, tapi juga seolah penuh makna perpisahan.
Boqin Changing berdiri di halaman depan, dengan pakaian yang sederhana namun bersih, seolah bersiap untuk perjalanan jauh. Di belakangnya, Gao Rui tampak berdiri dengan kokoh.
“Sudah siap?” tanya Boqin Changing tanpa menoleh.
“Sudah, Guru.”
“Pegang pundakku.”
Mulut Boqin Changing mulai bergerak pelan, menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti mantra kuno. Suaranya dalam dan bergetar, seperti datang dari ruang di antara dunia. Setiap suku kata yang keluar membawa resonansi aneh, seolah mengguncang udara di sekitar mereka.
Gao Rui menatap gurunya tanpa berkedip. Ia tidak mengerti sepatah kata pun dari mantra itu, tapi setiap bunyi yang terdengar membuat hatinya berdebar semakin keras. Cahaya lembut mulai muncul di sekitar tubuh Boqin Changing, lalu semakin terang hingga membentuk pusaran cahaya berwarna keperakan.
Kabut pagi yang menyelimuti puncak bukit terseret ke dalam pusaran itu. Angin berputar, membuat jubah mereka berkibar kuat. Boqin Changing tetap berdiri tenang, kedua matanya terpejam, tangannya membentuk segel aneh di depan dada. Dari mulutnya terdengar gumaman terakhir, pendek, tegas, dan penuh daya.
“Fan zhou zhi men... kai!”
Ledakan cahaya terjadi. Dunia seolah terbelah sesaat. Gao Rui merasa tanah di bawahnya lenyap, lalu tubuhnya melayang di tengah kekosongan yang bercahaya. Ia ingin berteriak, tapi suaranya lenyap tertelan pusaran cahaya.
Lalu, dalam sekejap, semuanya berhenti.
Gao Rui menatap sekeliling. Ia berdiri kembali di gua yang terakhir kali mereka diami sebelum masuk ke dalam pagoda. Ia menoleh cepat. Boqin Changing berdiri di sampingnya, dengan ekspresi tenang seperti biasa, seolah mereka hanya berpindah dari satu halaman ke halaman lain dalam buku kehidupan.
“Guru… kita sudah kembali?” tanya Gao Rui lirih.
Boqin Changing mengangguk pelan. Cahaya terakhir di tubuhnya memudar perlahan.
“Ya. Dunia luar… sudah menunggu kita.”
Gao Rui memandang sekeliling dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Gua itu… sama sekali tidak berubah. Dinding batu yang lembap, lumut yang menempel di sela-sela bebatuan, bahkan tumpukan kayu bekas perapian di pojok masih berada di tempat yang sama seperti saat mereka tinggalkan dulu. Tidak ada tanda-tanda waktu berlalu di sana, seolah lima tahun pelatihan keras di Pagoda Serpihan Surga hanyalah mimpi yang berlalu dalam sekejap mata.
Ia berjalan pelan, menyusuri batu-batu di bawah kakinya yang terasa begitu familiar. Setiap langkah mengingatkannya pada masa sebelum semuanya berubah. Sebelum ia menjalani pelatihan neraka bersama gurunya.
Ia menatap ke arah mulut gua yang diterpa sinar pagi, lalu menghela napas panjang.
“Guru…” katanya pelan, suaranya terdengar agak bergetar. “Sepertinya gua ini… tidak berubah sedikit pun.”
Boqin Changing hanya tersenyum tipis, matanya menyapu sekeliling dengan tenang.
“Waktu di dunia luar berjalan berbeda, Rui’er. Bagi mereka, mungkin kita hanya menghilang sebentar.”
Gao Rui memejamkan mata, menghitung dalam hati. Lima tahun. Lima tahun di dalam pagoda, dengan pelatihan yang nyaris membuatnya kehilangan akal. Namun jika satu tahun di dalam pagoda setara dengan satu hari di dunia luar... berarti…
“Berarti…” gumamnya, “kita hanya meninggalkan gua ini selama lima hari saja.”
Boqin Changing mengangguk pelan, seperti mengonfirmasi perhitungan muridnya.
“Benar. Lima tahun bagi kita, lima hari bagi dunia luar.”
Gao Rui terpaku sesaat. Ia mencoba membayangkan betapa besar perbedaan antara dunia tempat mereka berlatih dan dunia nyata ini. Angin lembut yang bertiup di luar gua kini terasa asing, seperti angin dari kehidupan lain.
“Lima tahun…” katanya pelan, menatap tangannya sendiri yang kini lebih kokoh, lebih matang, penuh tenaga dan luka-luka lama yang menjadi saksi perjuangan. “Tapi rasanya seperti seumur hidup.”
Boqin Changing memandang muridnya dengan tatapan yang tenang namun penuh arti.
“Itulah makna waktu di jalan kultivasi. Lima tahun di dalam, tapi perubahanmu cukup untuk mengguncang dunia luar selama seratus tahun ke depan.”
Gao Rui menatap gurunya lekat-lekat. Wajah Boqin Changing tampak sama seperti dulu, tenang, tak tersentuh waktu, tapi di balik matanya seolah bersembunyi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum sempat terucap selama mereka di Pagoda Serpihan Surga.
“Guru,” kata Gao Rui perlahan, “setelah ini… ke mana kita akan pergi?”
Boqin Changing menatap keluar gua, ke arah lembah yang diselimuti kabut pagi.
“Tentu saja ke sana,” ucapnya datar. “Aku akan mengantarmu kembali ke sektemu.”
Gao Rui menelan ludahnya perlahan. Ucapan gurunya terdengar ringan, tapi di telinganya terasa seperti dentuman halus yang menandakan datangnya badai.
“Ke... ke sekteku, Guru?” tanyanya dengan nada ragu.
Boqin Changing hanya mengangguk kecil, masih menatap ke arah lembah yang diselimuti kabut.
“Tentu saja. Aku ingin melihat seperti apa sekte yang membesarkan muridku.”
Kalimat itu seharusnya membuat hatinya lega. Tapi entah kenapa, yang muncul justru rasa dingin yang menjalar dari tengkuk sampai ke ujung kaki.
Nada suara gurunya… terlalu tenang. Tatapannya… terlalu datar.
Gao Rui mengenal baik sosok itu. Setiap kali Boqin Changing berbicara dengan ketenangan semacam itu, biasanya akan ada sesuatu. Sesuatu yang besar, tak terduga, dan kadang… menakutkan.
Firasat buruk mulai menjalari dadanya.
“Guru…” katanya dengan hati-hati, “apa maksud Guru benar-benar hanya akan mengantarku saja?”
Boqin Changing menoleh perlahan, sudut bibirnya terangkat tipis.
“Tentu saja. Hanya mengantar.”
Namun ekspresi itu… bukan senyum ramah. Itu senyum yang biasanya muncul sesaat sebelum sesuatu, atau seseorang hancur berantakan.
Gao Rui menelan ludahnya sekali lagi. Perutnya terasa mual. Ia bisa saja menanyakan lebih lanjut, tapi sesuatu di dalam dirinya menolak. Ia tahu, semakin banyak bertanya, semakin dalam pula ia akan terseret ke dalam arus pemikiran gurunya yang misterius itu.
Ia menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tapi di dalam hatinya, satu pikiran berputar terus-menerus.
“Kalau Guru benar-benar datang ke sekteku… apakah ia akan… mengacak-acak semuanya?”
Bayangan itu terlintas begitu jelas, Boqin Changing berdiri di halaman utama sektenya, dengan wajah datar dan tangan bersilang di belakang punggung, sementara para tetua dan murid sekte gemetar di hadapannya.
Gao Rui bahkan bisa membayangkan suara gurunya berkata dingin.
“Inikah sekte yang mengaku mengajar jalan kebenaran?” sebelum petir hitam menyambar dari langit.
Ia bergidik pelan.
Boqin Changing menatap muridnya yang tampak gelisah itu, lalu berucap dengan nada datar namun penuh ironi.
“Kenapa wajahmu pucat begitu, Rui’er? Apa kau takut sektemu tidak cukup sopan menyambut gurumu?”
Nada suaranya ringan, tapi setiap kata mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan, sesuatu di antara lelucon dan ancaman.
Gao Rui tertawa kaku, berusaha menenangkan diri.
“Tidak, Guru. Hanya… hanya terkejut saja. Aku tidak menyangka kau tertarik dengan tempat asalku.”
Boqin Changing tersenyum samar.
“Bagus. Nanti, kita akan buat mereka terkejut juga.”
Ucapan itu menegaskan firasat buruknya. Gao Rui hanya bisa menarik napas dalam-dalam, menatap gurunya yang sudah melangkah keluar dari gua dan membatalkan formasi perlindungan yang dibuatnya sebelumnya.
Dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa agar kedatangan gurunya tidak berakhir dengan sektenya menjadi reruntuhan.