Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Argument Yang Gak Mau Kalah
Pagi itu, langit Surabaya sudah kembali biru pucat setelah semalaman diguyur hujan. Udara terasa segar — langka untuk kota besar — dan lobby Arjuno Grand Hotel dipenuhi wangi kopi dan suara sepatu hak yang bergema di lantai marmer.
Liora Larasmita melangkah masuk dengan percaya diri seperti biasa. Blazer putihnya serasi dengan celana hitam slim fit, rambut bobnya disisir asal tapi keliatan rapih, dan di tangannya ada map tebal berisi laporan pembaruan data security integration dari PT Global Teknologi. Langkahnya cepat, ekspresinya serius — tapi itu sebelum matanya menangkap sosok seseorang yang berdiri di depan coffee counter lobby hotel.
Marvin Nalendra.
Pria itu berdiri dengan postur santai tapi berwibawa, mengenakan kemeja biru tua dan jas hitam gelap yang pas di bahunya. Di tangannya ada cangkir kopi hitam, dan tatapannya, seperti biasa — datar, sulit ditebak, tapi terlalu berbahaya untuk diabaikan.
Liora berhenti sepersekian detik. Otaknya berkata jangan, tapi hatinya entah kenapa sudah melangkah.
“Wah,” katanya, suaranya sedikit tinggi, “ternyata Pak Marvin bisa nongol pagi-pagi gini juga. Kirain cuma muncul malam-malam kayak vampir korporat.”
Marvin menoleh pelan. Pandangannya turun dari wajah Liora ke map yang ia bawa, lalu kembali ke matanya. “Vampir korporat?”
Liora tersenyum manis. “Iya, yang kerja terus, gak tidur, tapi masih kelihatan fresh — ngeselin gitu, lho.”
Marvin menatapnya beberapa detik, lalu menyeruput kopinya tanpa ekspresi.
“Dan kamu apa? Pemburu vampir yang datang bawa laporan buat nusuk aku pake data analitik?”
“Kalau perlu, iya,” balas Liora cepat. “Asal kamu jangan ngeluh kalo kena tembak balik pake presentasi berdurasi dua jam.”
Udara di lobby Arjuno Grand Hotel pagi itu terasa tenang tapi penuh denyut aktivitas. Lantai marmer putih mengilap memantulkan cahaya matahari yang jatuh dari kaca tinggi, sementara aroma kopi dan wangi segar bunga lily dari vas besar di meja resepsionis memenuhi udara. Beberapa tamu hotel lalu-lalang dengan langkah rapi, dan di tengah ruangan luas itu — dua sosok duduk berhadapan di area lounge, menciptakan kontras yang menarik:
Liora, dengan setelan blazernya dan rambut bob pendek yang rapi tapi tetap berkesan “I woke up fabulous”, dan Marvin — dengan jas hitam gelap, dua dua kancing dibiarkan terbuka, dan tatapan dingin yang selalu berhasil membuat siapa pun pengin banting meja.
Setelah pertukaran kata tajam barusan, Liora menatap Marvin dari balik gelas es kopinya, lalu bersandar santai ke sofa. Nada suaranya terdengar datar, tapi matanya menyipit menyimpan sarkasme halus.
“Pak Marvin yang terhormat,” ujarnya dengan gaya bicara yang terlalu sopan untuk bisa disebut tulus, “Emang, Bapak gak punya kantor ya? Pagi-pagi udah nongol di sini aja. Kantor sendiri gak cukup luas, atau sengaja nyari hiburan sebelum rapat?”
Marvin menurunkan gelas kopinya perlahan, lalu menatapnya — tenang, nyaris tanpa emosi, tapi sudut bibirnya sedikit bergerak.
“Hiburan?” ulangnya pelan. “Kalau iya pun, kayaknya aku udah dapet yang paling berisik pagi ini.”
Liora menaikkan alis. “Berisik?”
Marvin mengangguk, wajahnya masih datar. “Iya. Satu suara perempuan yang udah mulai berisik dari tadi tapi tetep duduk di sini, padahal kayanya cuma mau ‘nunjukin laporan penting’.”
“Excuse me, aku gak ngeluh, aku cuma nyebut fakta,” balas Liora cepat.
Marvin bersandar santai, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja marmer di antara mereka.
“Dan aku cuma nyimpulin data real-time dari perilaku narasumber.”
Liora mendengus kecil, melipat tangan di dada. “Data? Kamu pikir semua orang harus beroperasi kayak sistem yang bisa kamu analisis, ya?”
Marvin menatapnya, kali ini dengan nada lebih rendah dan sedikit berbahaya.
“Kalau semua sistem secanggih mulutmu, Li, dunia bisnis udah gak butuh rapat.”
Liora menatapnya tak percaya, bibirnya terbuka tapi tak menemukan kata dalam satu detik. Lalu ia bersandar dengan ekspresi kesal yang nyaris lucu.
“Tahu gak sih, kamu tuh anomali. Manusia paling nyebelin yang pernah dikirim semesta ke radius sepuluh meter dari aku.”
Marvin hanya mengangkat bahu. “Tapi kamu tetap gak pergi.”
Ia melirik arlojinya santai. “Kayaknya, anomali ini cukup menarik buat kamu tahan hadapannya lebih dari lima menit.”
Liora memutar bola matanya keras. “Aku nunggu Mas Bhumi, bukan kamu!”
“Tentu saja,” jawab Marvin tenang. “Tapi Bhumi belum datang, dan yang ada cuma aku — jadi nasibmu sementara agak sial.”
Liora hampir saja menepuk dahinya kalau bukan karena mereka sedang di lobby hotel yang terlalu mewah untuk adegan banting kepala ke meja. Ia hanya menghela napas, berusaha menahan nada suaranya agar tetap stabil.
“Kalau kamu bukan sahabat Mas Bhumi, aku udah usir dari tadi,” gumamnya pelan tapi jelas.
Marvin tersenyum tipis, kali ini benar-benar terlihat menikmati reaksinya.
“Kalau aku bukan sahabat Bhumi, kamu gak akan punya alasan buat pura-pura sabar sekarang.”
Liora mendengus, menatap ke arah pintu masuk yang mulai terbuka — berharap Bhumi segera muncul dan menyelamatkan harga dirinya.
Tapi di dalam hati, ia tahu, setiap percakapan dengan Marvin selalu berakhir sama — bikin kesal, tapi entah kenapa, jantungnya gak pernah benar-benar tenang setelahnya.
Sekilas, sudut bibir Marvin naik — kecil banget, tapi nyata.
Liora menyipitkan mata. “Eh, itu barusan senyum, ya?”
Marvin menatapnya datar. “Enggak.”
“Enggak atau pura-pura enggak?”
“Enggak.”
“Yakin?”
“Yakin.”
“Yakin banget?”
“Liora.” Suara Marvin dalam dan tegas, tapi justru membuat Liora malah tertawa kecil.
Beberapa pegawai yang lewat sempat menoleh, heran melihat dua orang beradu mulut pagi-pagi di lobby hotel dengan aura CEO meeting energy tapi romcom chemistry.
Keduanya berlalu menuju ke lift, meninggalkan obrolan sengit dipagi hari. tapi bagi Liora rasanya belum puas kalo belum mengalahkan Marvin Nalendra. Marvin selalu bisa membalas semua ucapannya, seakan akan memang Marvin ditakdirkan untuk jadi lawan debatnya.
Lift berdenting lembut.
Marvin berjalan duluan, lalu menoleh sedikit. “Naik ke atas?”
“Lantai tiga puluh. Ruangan Mas Bhumi,” jawab Liora.
“Pas banget,” katanya pendek. “Aku juga ke sana.”
Liora mengerutkan kening. “Serius nih? Aku satu lift sama kulkas 12 pintu? Aku bisa beku, lho.”
Marvin menatapnya sekilas. “Jangan lebay.”
“Ya kalau kamu diem terus, aku beneran ngerasa kayak di freezer.”
Lift terbuka. Mereka masuk berdua. Musik instrumental lembut mengisi keheningan di antara mereka — tapi hanya sejenak, karena Liora, tentu saja, tidak tahan diam.
“Jadi, Pak Marvin…”
“Hm.”
“Semalam katanya rapat sama Pak Bhumi, ya?”
Marvin melirik singkat. “Iya.”
“Bahas kerjaan atau bahas cewek?”
Marvin menatapnya lurus. “Maksudmu?”
“Yaaa, aku cuma nanya, takutnya tadi malam meeting dua CEO yang lagi jatuh hati.”
Marvin menghela napas, tapi kali ini — tanpa bisa disembunyikan — sudut bibirnya kembali naik.
“Lucu kamu.”
“Makanya banyak yang bilang aku charming,” jawab Liora cepat.
“Tapi terlalu cerewet.”
“Itu bagian dari pesonaku.”
Marvin menatapnya datar. “Pesona yang bikin orang pengen cari tombol mute.”
Liora pura-pura terkejut. “Astaga, dia bisa bercanda juga ternyata.”
Lift berdenting lagi — lantai tiga puluh. Begitu pintu terbuka, keduanya keluar hampir bersamaan.
Tepat di depan ruangan Bhumi, Arsen — asisten pribadi Bhumi — sedang menumpuk beberapa berkas di meja kecil.
Ia mendongak, lalu langsung terpaku melihat pemandangan yang tidak masuk logika orang kantoran normal.
Liora Larasmita dan Marvin Nalendra. Berdebat kecil hampir sengit di depan ruangan Bhumi.
Dan… Marvin, si manusia dingin, si kulkas 12 pintu, benar-benar menimpali omongan Liora.
Arsen sampai harus memastikan dua kali apakah ini bukan efek kurang tidur.
“Pak Marvin… Ibu Liora…” katanya pelan, suaranya agak ragu. “Saya… hmm… nggak nyangka aja… bisa lihat pemandangan langka kayak gini.”
Liora memutar mata. “Apaan, pemandangan langka?”
Arsen tersenyum kecil. “Biasanya Pak Marvin kalau ditanya aja jawabnya satu kata. Tapi tadi saya liat… tiga kalimat penuh.”
Marvin menatap Arsen datar. “Arsen.”
“Iya, Pak?”
“Jangan ikut-ikutan Liora.”
Liora langsung terkekeh. “Lihat kan, Pak Arsen? Bahkan marahnya aja udah setengah bercanda.”
Marvin menatapnya sebentar, lalu menghela napas panjang, menatap ke arah pintu Bhumi yang tertutup rapat.
“Aku gak ngerti, kamu bisa ngomong sepanjang itu tanpa berhenti.”
Liora menatapnya lama, tatapannya naik turun sekilas. “Karena kamu dengerin.”
Marvin terbelalak kecil. “Dan kalau aku nggak dengerin?”
Liora langsung bersandar, senyumnya lebar. “Gampang. Tinggal aku cari cara biar kamu dengerin lagi.”
Untuk pertama kalinya hari itu, Marvin benar-benar kehilangan kata-kata. Senyumnya hilang, tapi bukan karena marah — melainkan karena Liora baru saja menampar egonya dengan cara paling halus yang pernah ia temui.
Ia menatap Liora beberapa detik tanpa bicara, mencoba membaca apakah perempuan itu serius… atau cuma sengaja mengganggu pikirannya.
Namun semakin ia memandang, semakin ia sadar:
Liora tidak menggoda. Liora menantang.
Marvin menghela napas pelan, menahan senyum kecil yang tiba-tiba muncul tanpa bisa dikontrol.
Bukan senyum sarkastik seperti biasanya, tapi senyum yang… kalah, namun menikmati kekalahan itu.
Ia menegakkan duduknya, mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
“Sombong banget kamu,” gumamnya rendah, suaranya hampir seperti bisikan.
Liora hanya menaikkan satu alis, puas. “Ya kan kamu yang nanya duluan, Pak.”
Marvin menunduk sesaat, jari-jarinya mengetuk pelan meja reseptionis — kebiasaan yang muncul hanya kalau ia sedang mencoba menenangkan diri. Dan kalau ada yang memperhatikan dengan detail, telinganya sedikit memerah.
Arsen menahan tawa melihat interaksi keduan, dia pura-pura sibuk dengan berkas yang ada didepannya.
“Wah, gawat, Pak,” katanya lirih. “Kayaknya Bu Liora udah tahu cara nyalain kulkas 12 pintu.”
Marvin menatap Arsen datar. “Arsen.”
“Ya, Pak?”
“Cuti seminggu mau?”
“Enggak, Pak.”
Liora tertawa keras kali ini. “Astaga, Mas—eh, maksudku Pak Marvin—kamu tuh gak seburuk yang orang kira, lho.”
Marvin menatapnya dengan mata yang sedikit melembut. “Dan kamu… jauh lebih berisik dari yang aku duga.”
“Berisik tapi ngangenin, kan?”
Marvin menatapnya datar, tapi kali ini matanya tidak sekaku biasanya. “Belum tentu.”
“Belum tentu itu artinya mungkin iya,” jawab Liora cepat, menatapnya dengan senyum tipis.
Arsen hanya bisa menggeleng pelan, menahan senyum.
Dalam hati ia berpikir, ‘kayaknya lantai 30 bakal makin rame mulai hari ini.’
**
Lobby Arjuno Grand Hotel pagi itu ramai tapi tertib. Beberapa staf hotel berlalu-lalang, dan di tengah keramaian itu — Bhumi baru saja keluar dari mobil, menatap ke arah pintu kaca utama tempat seseorang yang ia kenal sedang berjalan cepat sambil membawa tablet.
Rembulan Adreyna.
Ia mengenakan blouse biru muda dan celana bahan krem, rambutnya diikat rendah, wajahnya serius seperti biasa. Tapi langkahnya tergesa.
“Bulan” teriak Bhumi begitu turun dari mobilnya.
“Pagi, Mas Bhumi,” sapanya sopan saat Bulan menengok kebelakang dan mereka berpapasan. “Aku mau ke ruang IT di basement, mau cek hasil uji sistem.”
“Basement?” Bhumi mengangkat alis. “Nanti aja.”
Bulan menatapnya bingung. “Kenapa?”
“Karena Arsen baru ngasih laporan kalau dua orang tamu kita lagi bikin ruangan lantai tiga puluh bergetar.”
Bulan menatapnya, sudah punya firasat buruk. “Dua orang tamu? Kita?”
Bhumi menatapnya sebentar, sudut bibirnya naik tipis. “Marvin dan Liora.”
“Ya Tuhan…” Bulan langsung menutup wajah dengan tabletnya. “Jadi mereka—”
“—ketemu lagi,” potong Bhumi. “Dan Arsen bilang, suasananya lebih mirip debat calon presiden daripada rapat bisnis.”
Bulan menatapnya pasrah, lalu menarik napas panjang. “Baiklah. Aku ikut.”
“Pintar,” ujar Bhumi singkat. “Kalau nggak, Arsen bisa resign hari ini.”
Mereka berdua naik lift bersama. Dari pantulan kaca lift, Bhumi sesekali melirik ke arah Bulan — tampak tenang tapi matanya waspada, seperti tahu pagi ini akan sedikit lebih panjang dari biasanya.
Begitu pintu lift terbuka di lantai tiga puluh, suara itu langsung terdengar.
“—aku gak bilang itu salah, aku cuma bilang caramu itu gak efisien!” suara Liora, tinggi, cepat, dan berapi-api.
“Efisien itu relatif, tergantung siapa yang menilai,” balas Marvin, nada suaranya datar tapi tajam.
“Kalau gitu, berarti kamu gak objektif!”
“Objektifku berdasarkan logika, bukan ego.”
“Oh wow,” Liora melipat tangan di dada. “Jadi sekarang aku egois?”
Marvin menatapnya tanpa ekspresi. “Aku gak bilang gitu.”
“Tapi kamu maksudnya gitu.”
“Kalau kamu udah yakin, ngapain nanya?”
Arsen berdiri di dekat meja resepsionis lantai itu, wajahnya seperti orang yang sudah kehilangan harapan.
Begitu melihat Bhumi dan Bulan keluar dari lift, matanya langsung berbinar.
“Pak Bhumi! Tolong. Saya udah hampir undang HR buat mediasi, Pak.”
Bhumi menepuk bahunya pelan sambil menahan tawa. “Santai, Sen. Aku ambil alih.”
“Kalau bisa, Pak, sekalian bawa pemadam kebakaran,” bisik Arsen putus asa.
Bulan menatap ke arah Liora yang berdiri dengan tangan di pinggang, ekspresinya tajam tapi… pipinya agak merah. Sementara Marvin berdiri tegak, rapi, ekspresinya datar tapi matanya jelas menahan sesuatu — entah kesal, entah terpancing.
“Liora…” panggil Bulan dengan nada lembut tapi tegas.
Liora menoleh, dan begitu melihat Bulan di samping Bhumi, wajahnya langsung melunak sedikit. “Oh, hai, Bulan. Aku cuma lagi diskusi kecil.”
“Diskusi?” Bhumi menatap ke arah Marvin. “Atau sparring verbal?”
Marvin menatap Bhumi dengan santai. “Dia mulai duluan.”
Liora memutar mata. “Aku cuma ngasih masukan, bukan ngajak debat.”
“Masukan yang diulang tiga kali dengan nada meningkat,” timpal Arsen pelan, seperti reporter yang jujur.
Bhumi menahan tawa kecil, lalu menatap ke arah semuanya. “Oke. Kita ke ruanganku aja.”
Nada suaranya tenang, tapi semua langsung diam. Liora menegakkan tubuhnya, Marvin merapikan jasnya, dan Arsen menatap langit seolah baru saja diselamatkan dari medan perang.
Begitu mereka semua masuk ke ruang kerja Bhumi, suasana berubah total. Dari saling serang pakai logika jadi rapat korporat yang terlalu sopan.
Bhumi duduk di kursinya, menyilangkan tangan di depan dada.
“Baik,” katanya datar. “Sekarang, sebelum aku bahas sistem keamanan, aku mau pastikan… debat kalian gak bakal berubah jadi trending di LinkedIn.”
Liora menatapnya, ekspresinya masih sedikit ngambek elegan. Marvin duduk di seberangnya, tenang, tapi sesekali melirik ke arah Liora.
“Jadi,” lanjut Bhumi, “masalah kalian apa?”
Liora cepat menjawab, “Dia bilang metode revisi integrasi dari Arjuno tim itu terlalu lambat.”
“Dan kamu bilang itu cara paling aman,” potong Marvin tenang.
“Lambat bukan selalu berarti gak aman,” balas Liora lagi, tapi suaranya kini lebih tertahan karena sadar Bhumi menatap.
Bulan duduk di samping Liora, pelan-pelan menyentuh tangannya di bawah meja.
“Udah, Li. Tarik napas dulu.”
Liora menghela napas panjang, menatap sahabatnya. “Aku cuma pengen hasilnya optimal, bukan asal selesai.”
“Dan aku pengen kamu gak terburu-buru,” timpal Marvin pelan, suaranya agak lebih lembut kali ini.
Untuk sesaat, ruangan itu hening — dan bahkan Bhumi sempat menahan senyum samar melihat dua orang itu akhirnya bisa bicara tanpa meledak.
Arsen dari sudut ruangan berbisik ke Bhumi, “Pak, ini ajaib. Mereka udah ngomong dua kalimat tanpa nada tinggi.”
Bhumi menatapnya sekilas. “Nikmati aja momen langka ini.”
Bulan menatap Marvin dan Liora bergantian, lalu berkata pelan,
“Liora cuma pengen hasilnya maksimal. Dia orang marketing, jadi pikirannya visual dan tepat. Terus Pak Marvin,” ia menatap Marvin, “orang lapangan— kamu lihat risiko duluan sebelum potensi. Dua-duanya gak salah.”
Marvin menatapnya dengan tenang. “Kamu selalu bisa netral, ya.”
“Bukan netral,” jawab Bulan lembut. “Saya cuma gak pengen kalian capek debat hal yang sama dari dua arah yang beda.”
Bhumi menatapnya lama, senyum kecil muncul tanpa sadar. Ia menyandarkan tubuh ke kursinya, memperhatikan Bulan yang tanpa sadar mengambil alih dinamika ruangan dengan tenang — suara lembutnya menurunkan tensi semua orang.
Di sisi lain, Marvin diam-diam memperhatikan Liora. Wajah gadis itu masih sedikit kesal lucu, tapi di mata Marvin, ada sesuatu yang berubah. Dari sekadar lawan bicara yang menyebalkan… jadi seseorang yang pikirannya menantang, matanya hidup, dan ucapannya jujur.
“Baik,” Bhumi akhirnya berkata, menatap semuanya. “Aku mau integrasi sistem tetap jalan sesuai rencana. Tapi mulai sekarang, revisi dan strategi komunikasi antara tim Arjuno dan Global Teknologi akan difokuskan di ruang meeting sebelah. Kalian berdua — Bulan dan Liora — setiap projek Arjuno grup kalian akan kerja diruangan itu. Dan lo, Vin. Setiap lo mau liat prosesnya lo bisa liat dan kerja dari sini juga”
Liora menatap Bhumi cepat sambil menunjuk Marvin. “Maksudnya dia juga ikut?”
Marvin menatap Bhumi datar. “Gue ngikut juga?”
Bhumi menautkan jari di depan meja, senyum tipis muncul. “Persis. Gue tau, Nalendra Property mau pake system yang sama kaya di Arjuno Grup jadi dari pada lo debat kusir yang gak ada habisnya, mendingan lo langsung liat aja proses kerja mereka. Simple kan?.”
Liora bersandar, mendecak pelan. “Ya Tuhan… Sabarkanlah hambamu ini.”
Marvin menatap ke depan, nada suaranya datar tapi ada senyum samar di ujung bibirnya. “Setidaknya gak akan membosankan.”
Bulan menatap sahabatnya dengan ekspresi ya ampun, sabar ya Li, sementara Bhumi cuma duduk diam — menikmati kekacauan yang kini berubah jadi harmoni tipis antara empat orang di ruangan yang sama.
Dan entah kenapa, di antara tatapan yang menantang, senyum yang tertahan, dan suasana yang masih hangat, semuanya tahu — minggu itu akan jadi awal sesuatu yang jauh dari kata “profesional biasa.”
*
tbc