NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:498
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 — Jalan yang Terbelah Dua

Langit di atas Sekte Langit Tenang tak pernah benar-benar cerah sejak hari itu. Awan menggantung rendah, hujan tipis turun seperti napas bumi yang letih. Di sepanjang jalan menuju Aula Inti, formasi penyucian jiwa berpendar redup, warnanya biru pucat, seperti mata tanpa cahaya.

Shen Wuyan melangkah perlahan di antara barisan batu doa. Suara gesekan air di pakaiannya menyatu dengan bunyi hujan, menciptakan irama yang nyaris seperti doa kematian. Ia tahu alasannya dipanggil; semua bisikan di sekte telah cukup lama menyiapkannya untuk momen ini.

Namun ketika pintu batu Aula Inti terbuka, yang menyambutnya bukan kemarahan. Hanya kesunyian.

Di tengah aula, Elder Ming Zhao berdiri tegak. Jubahnya putih tapi pudar oleh usia, matanya memantulkan api biru dari formasi penyucian roh di tengah ruangan. Di sekeliling mereka, simbol-simbol roh memancar lembut, menciptakan bayangan panjang di lantai giok.

“Shen Wuyan,” suara sang elder terdengar tenang tapi berat. “Kau tahu mengapa kau dipanggil.”

Wuyan menunduk sedikit. “Karena aku selamat,” jawabnya perlahan, “dan itu yang tak bisa mereka terima.”

Ming Zhao tak segera merespons. Ia menatap muridnya lama, seolah berusaha mencari sisa-sisa masa lalu di balik wajah itu. Api biru bergetar, menyalakan warna di matanya yang letih.

“Ada dua jalan di depanmu,” ucapnya akhirnya. “Pertama, menyerahkan jiwamu untuk dimurnikan di Altar Jiwa Langit. Kedua, meninggalkan sekte ini untuk selamanya.”

Wuyan tidak bereaksi. “Dan jika aku menolak keduanya?”

Ming Zhao menghela napas panjang. “Maka rohmu akan dihapus oleh dewan tetua. Aku tidak ingin sampai sejauh itu.”

Keheningan turun. Suara hujan di luar terdengar jelas, menetes di atap batu seperti hitungan waktu menuju keputusan.

“Guru,” kata Wuyan pelan, “apakah kau juga takut padaku?”

Ming Zhao menutup matanya sejenak. Ketika membuka, sorotnya bukan ketakutan, tapi kesedihan yang dalam, seperti seseorang yang tahu apa yang harus dilakukan, tapi membencinya. Ia tidak menjawab.

***

Wuyan menunduk, memandangi bayangannya sendiri di lantai giok. Bayangan itu bergetar samar, mengikuti napasnya tapi dengan ritme berbeda.

“Pemurnian,” pikirnya, “kata yang terdengar suci untuk kematian.”

Dari balik pikirannya, suara lembut menyusup.

"Mereka ingin menghapusmu, tapi mereka tidak tahu, bahkan jika tubuhmu lenyap, wajah-wajah itu tetap hidup di laut."

Wuyan menegakkan kepala perlahan. “Diam,” katanya dalam hati. Tapi suara itu tidak berhenti. Ia menyusup ke dalam setiap denyut darah, setiap tarikan napas.

Api biru di tengah aula menari, memantulkan kilau di mata Wuyan yang kini memerah samar.

***

“Guru,” ujarnya akhirnya, suaranya tenang tapi mengandung sesuatu yang patah. “Jika aku menerima pemurnian itu, apakah aku masih bisa disebut Shen Wuyan setelahnya?”

Ming Zhao memejamkan mata. “Tidak. Tapi sekte akan bebas dari penderitaan.”

“Dan jika aku pergi?”

“Kau akan dicap pengkhianat, dikejar oleh para penegak roh. Dunia takkan memberimu tempat.”

Wuyan tersenyum kecil, getir tapi tulus. “Jadi apa pun pilihanku, aku mati. Bedanya hanya tempat.”

“Tidak,” jawab Ming Zhao cepat, nadanya sedikit goyah. “Bedanya adalah dosa. Satu mati dengan damai, satu mati sebagai iblis.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara hujan yang terdengar, berirama pelan, seperti nadi bumi yang mulai berhenti berdetak. Api biru di tengah aula bergetar, seolah ikut menahan napas.

***

Dalam diam itu, suara lain muncul lagi, kali ini lebih dalam, lebih nyata.

"Lihatlah tatapan gurumu. Bahkan kasihnya mengandung ketakutan."

“Tidak,” bisik Wuyan. “Dia mencoba melindungiku.”

"Dia mencoba membunuhmu dengan cara yang bisa ia maafkan."

Api di tengah aula tiba-tiba menyala tinggi. Bayangan Wuyan di lantai menegang, lalu memanjang, melesak ke arah gurunya.

Ming Zhao bergerak cepat, membentuk segel tangan. Cahaya formasi penyucian melonjak, menekan bayangan itu hingga kembali diam.

Dalam cahaya biru yang berkedip, suara dari dalam diri Wuyan berbisik lagi, lembut tapi kejam.

"Kau lihat? Bahkan saat kau hanya bicara, mereka bersiap menghancurkanmu."

***

Wuyan berdiri diam lama sekali. Ia menatap gurunya yang masih memegang segel dengan tangan gemetar. Lalu, perlahan, ia menunduk.

“Terima kasih atas semua yang telah kau ajarkan, Guru.”

“Wuyan…”

“Aku memilih jalan yang bukan milik siapa pun.”

Dan sebelum Elder Ming Zhao sempat bereaksi, Wuyan mengangkat tangannya, memukul dinding di belakang altar. Formasi batu suci retak, menyingkap jalur rahasia menuju lembah di bawah gunung.

Ledakan aura spiritual mengguncang aula, memadamkan api biru dan memadamkan cahaya seketika.

“WUYAN!” teriak Ming Zhao, tapi hanya gema yang menjawab.

Di tengah kegelapan, suara langkah perlahan menjauh, disertai bunyi hujan yang semakin deras.

***

Langit di luar seolah pecah. Hujan turun seperti tirai yang memisahkan dua dunia.

Wuyan berjalan menuruni tangga batu, tanpa payung, tanpa arah. Setiap langkahnya meninggalkan jejak air dan darah yang samar, meski ia tak terluka.

Bayangan di sampingnya tak lagi mengikuti di belakang. Ia berjalan sejajar, menatap arah yang sama.

“Kau akhirnya memilih,” bisik bayangan itu di sela bunyi hujan.

“Aku memilih hidup.”

“Tidak,” jawabnya dengan nada hampir lembut, “kau memilih menjadi dirimu.”

Wuyan menatap ke langit. Hujan menutup pandangannya, namun di balik dingin itu, ada sesuatu yang terasa bebas. Untuk pertama kalinya, ia tidak menyesal.

***

Di kejauhan, gong sekte berdentum tiga kali — tanda seorang pengkhianat telah meninggalkan gerbang.

Ming Zhao berdiri di pintu aula yang setengah hancur, jubahnya basah oleh air hujan. Ia menatap ke arah lembah yang diselimuti kabut. Dalam suaranya yang tenggelam oleh hujan, hanya ada satu bisikan, “Maafkan aku, muridku.”

Namun jawaban yang datang bukan suara manusia. Dari arah lembah, gema tawa lirih terdengar — samar, tapi nyata.

***

Wuyan terus berjalan menuruni jalan batu. Di sekelilingnya, kabut semakin pekat. Cahaya petir sesekali memperlihatkan bentuk bayangan yang kini semakin jelas — tidak lagi menyerupai dirinya, tapi sesuatu yang lebih padat, lebih hidup.

“Sekarang ke mana?” tanya bayangan itu.

“Ke tempat yang tidak memiliki nama.”

“Hm,” gumamnya, “mungkin di sanalah manusia berhenti membohongi dirinya sendiri.”

Wuyan tidak menjawab. Ia hanya berjalan.

Setiap langkah menjauh dari Sekte Langit Tenang membuat dadanya semakin ringan, tapi juga semakin kosong. Hujan menelan segala suara, kecuali tawa halus dari dalam dirinya sendiri — bukan dari wajah pertama, bukan dari bayangan, tapi dari sesuatu yang perlahan menjadi satu dengan keduanya.

***

Menjelang fajar, ia tiba di tebing yang menghadap ke lembah hitam. Langit di atasnya tampak seperti cermin retak, diselimuti awan rendah.

Wuyan berhenti di tepi jurang, menatap ke bawah — kabut menutupi segalanya.

Ia menutup matanya, menarik napas panjang. “Mulai dari sini, tidak ada lagi nama. Tidak ada lagi sekte. Tidak ada lagi manusia atau iblis.”

Bayangan di sampingnya tertawa kecil. “Kau akhirnya mengerti.”

“Tidak,” bisik Wuyan, “aku hanya berhenti menyangkal.”

Ia melangkah ke depan, membiarkan kabut menelan tubuhnya.

***

Di kejauhan, gong sekte berdentum sekali lagi, lebih lambat, lebih berat — tanda akhir bagi seorang murid yang telah lenyap dari daftar kehidupan.

Namun di lembah bawah sana, di antara kabut dan air hujan, langkah kaki tetap terdengar, berirama pelan tapi tegas.

Suara wajah pertama bergema lembut di kedalaman jiwanya:

“Kau akhirnya memilih menjadi dirimu.”

Dan di bawah langit yang pecah, dua bayangan berjalan berdampingan — satu manusia, satu sesuatu yang mulai melampaui itu.

1
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!