Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya, masing-masing menyimpan ingatan, kekuatan, dan dosa. Dunia mengejarnya, menyebutnya iblis yang harus dihancurkan — tapi Wuyan punya rahasia yang lebih gelap: ia tidak hanya satu entitas, melainkan ribuan jiwa yang terperangkap dalam satu tubuh.
Jika ia menolak salah satu wajah, sisi itu bisa memberontak dan mencabik jiwanya dari dalam. Tapi jika ia menerima semuanya … ia bisa menjadi musuh terbesar dunia.
Kini Wuyan harus bertarung bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk mendamaikan semua sisi dirinya yang paling menakutkan — sebelum wajah-wajah itu membunuhnya dari dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 — Dunia di Luar Sekte
Kabut gunung bergulung seperti arus jiwa yang tak pernah tenang. Udara di luar tembok sekte terasa asing bagi Shen Wuyan—bukan karena dinginnya, tapi karena sunyi yang terlalu jujur. Tak ada suara mantra, tak ada langkah para murid di halaman latihan, tak ada lonceng penanda waktu meditasi. Hanya desir angin yang menyeret sisa-sisa daun kering di jalan setapak menuju dunia yang tak lagi mengenalnya.
Ia mengenakan jubah abu-abu polos, tanpa lambang sekte, tanpa warna. Kain itu menutupi luka di punggung yang masih terbakar bekas segel pemisah roh. Di dalam dirinya, sesuatu berdenyut pelan—napas lain, jiwa kedua yang tetap terjaga meski tubuhnya mencoba tampak manusia.
“Langitnya luas,” suara itu berbisik dari dalam pikirannya. “Kau bebas sekarang.”
Wuyan berhenti sejenak, menatap lembah di bawah sana. Dari puncak tempat ia berdiri, cahaya-cahaya kota kecil berkelip samar di antara kabut. “Kau menyebut ini kebebasan?” balasnya datar.
“Tidak,” bisikan itu menjawab, lembut namun dingin. “Kebebasan hanyalah bentuk lain dari pengasingan.”
Langkahnya berlanjut menuruni lereng. Setiap batu yang ia injak terasa seperti serpihan masa lalu yang enggan lepas. Ia pernah bermimpi tentang dunia luar—tentang kedai teh di tepi sungai, tentang orang-orang yang tertawa tanpa takut pada sekte, tentang hidup yang tak diukur oleh kekuatan jiwa. Tapi dunia di bawah kabut itu kini tampak suram, seolah seluruh bintang di dalamnya telah kehilangan cahayanya sebelum sempat terbit.
Ketika matahari tenggelam, Wuyan tiba di sebuah kota kecil yang disebut Zhaoling. Pintu gerbangnya sederhana, dihiasi papan kayu bertuliskan karakter yang pudar. Di dalamnya, suara pasar dan langkah kaki manusia bercampur dengan aroma debu dan dupa.
Ia berjalan di antara para pengembara, mengamati wajah-wajah yang tak peduli. Di tepi jalan, murid sekte kecil menjajakan jimat perlindungan, batu roh murah, dan pil pemulih spiritual yang tak lebih dari ramuan lemah. Dunia luar hidup dengan sisa yang ditinggalkan oleh para sekte besar.
Wuyan berhenti di depan warung kecil. Ia duduk, memesan semangkuk sup sederhana. Uap panas naik, tapi dingin di dadanya tak berkurang sedikit pun. Dua orang pemburu duduk di meja seberang. Pakaian mereka berlapis kulit binatang spiritual, dada mereka terukir simbol suci berbentuk roda cahaya.
“Dengar-dengar, iblis dari sekte Jingluo kabur,” kata salah satunya pelan, seolah menyampaikan rahasia.
Yang lain mengangkat alis. “Iblis? Dari sekte itu? Siapa namanya?”
“Tak ada nama pasti. Mereka menyebutnya Anak Laut Tanpa Dasar. Katanya ia menelan jiwa manusia tanpa darah tertumpah.”
Wuyan menunduk. Tangan kirinya yang memegang mangkuk bergetar ringan. Ia meneguk supnya pelan, seolah tak mendengar.
“Jika kabar itu benar,” lanjut pemburu itu, “para sekte besar akan bergerak. Dunia tak akan aman bagi yang berbau iblis.”
“Begitulah selalu,” sahut temannya sambil tertawa kecil. “Yang berbeda, selalu berakhir di ujung pedang.”
Suara mereka tenggelam di antara riuh pasar. Tapi di dalam diri Wuyan, suara lain kembali berbisik.
“Lihat? Dunia tak berubah. Mereka butuh musuh untuk merasa suci.”
Wuyan menutup matanya sejenak. “Aku tidak ingin menjadi musuh siapa pun.”
“Tapi mereka sudah memilihmu,” jawab Diri Kedua itu tenang.
Malam turun dengan cepat di Zhaoling. Wuyan menyewa kamar kecil di penginapan pinggir kota. Dinding kayunya tipis, lampion di luar berayun tertiup angin. Saat ia hendak memadamkan lilin, sesuatu membuatnya terdiam. Bayangan di dinding bergerak... sedikit lebih dulu daripada tubuhnya.
Ia menatapnya tajam. Bayangan itu menoleh—meski ia sendiri belum bergerak.
“Jangan takut,” bisik suara itu dari dalam. “Aku hanya dirimu yang lain.”
“Diriku?”
“Yang melihat lebih dalam dari yang kau berani hadapi.”
Wuyan menarik napas panjang. Ia duduk di ranjang kayu, memejamkan mata, mencoba menenangkan denyut jiwanya yang bergetar. Tapi setiap kali ia menenangkan diri, bisikan itu semakin jelas, semakin halus, seolah menyatu dengan napasnya sendiri.
“Kau tahu apa yang mereka takutkan dari iblis?” tanya Diri Kedua.
“Darah, kehancuran, kegelapan.”
“Bukan. Mereka takut pada cermin. Karena iblis adalah bentuk paling jujur dari manusia.”
Wuyan membuka mata. Dalam pantulan kaca kecil di dinding, ia melihat dua bayangan berdiri di belakangnya, keduanya adalah dirinya—satu dengan mata lembut dan lelah, satu lagi dengan tatapan tajam dan gelap.
Ia memecahkan kaca itu tanpa sadar. Retakannya menyebar seperti pola jaring di permukaan air.
Malam semakin larut. Di luar, suara hujan turun perlahan, menimpa atap-atap rumah kayu. Wuyan tidak bisa tidur. Setiap kali ia menutup mata, ia melihat wajah-wajah yang menatapnya dengan curiga di pasar tadi, mendengar suara tawa pemburu yang menyebutnya iblis. Dunia luar bukan tempat pelarian—itu jelas sejak langkah pertama.
Saat fajar hampir tiba, ia keluar dari penginapan. Kabut tipis menggantung di jalanan batu. Seorang anak kecil berlari melewatinya, membawa roti basi di tangan. Dari kejauhan, seorang wanita tua menunggu di depan rumah reyot dengan mata penuh harap. Anak itu menyerahkan roti itu, dan mereka tersenyum—senyum sederhana yang entah kenapa terasa lebih nyata daripada seluruh ajaran sekte manapun.
Diri Kedua berbisik lagi, suaranya kali ini nyaris terdengar seperti rasa iba.
“Itu manusia, Wuyan. Dunia yang kau ingin lindungi.”
Wuyan memandangi mereka dalam diam. “Mereka tak tahu siapa aku.”
“Mungkin justru itu yang membuat mereka tersenyum.”
Ia berjalan melewati mereka tanpa menoleh. Setiap langkahnya terasa berat, tapi juga jujur. Dunia ini rapuh, tapi begitu juga dirinya.
Ketika matahari terbit penuh, kabut perlahan menghilang. Di kejauhan, tampak gerombolan pemburu iblis memasuki kota. Simbol roda cahaya di dada mereka bersinar terang dalam pantulan matahari pagi.
Wuyan menarik tudung jubahnya, berjalan perlahan menjauh. Namun langkah mereka semakin dekat. Dalam udara yang tenang itu, ia bisa merasakan kehadiran mereka seperti bilah dingin yang menempel di tengkuk.
“Jangan gunakan kekuatanmu,” bisik suara dalam kepalanya, seolah memperingatkan.
“Kalau tidak?”
“Maka mereka akan tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Wuyan tidak menjawab. Ia hanya menatap tanah di depan, terus melangkah meski napasnya berat. Dunia luar tidak memberi ruang untuk kesalahan—satu getaran jiwa bisa mengundang maut. Tapi entah kenapa, di bawah tekanan itu, sesuatu di dalam dirinya mulai bangkit.
Bukan amarah. Bukan ketakutan. Hanya kesadaran bahwa tak ada jalan untuk benar-benar hidup sebagai manusia lagi.
***
Langkah-langkah para pemburu semakin terdengar jelas di belakangnya. Wuyan berhenti di persimpangan jalan berbatu. Angin meniup tudungnya ke belakang, menyingkap sebagian wajahnya yang pucat. Tiga orang pemburu mendekat, pedang spiritual mereka bersinar lembut dengan aura suci.
Salah satunya melangkah maju. “Kau, dari sekte mana?”
Wuyan menatap tanpa menjawab.
“Kami mencium aura roh dari Laut Tanpa Dasar,” ujar pemburu itu lagi. “Beri tahu siapa gurumu, atau kami akan memeriksa jiwamu secara paksa.”
Nada mereka terdengar biasa, tapi mata mereka menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar kecurigaan — ada kebencian, ada rasa puas dalam mencari iblis di balik wajah manusia.
Wuyan menunduk sedikit, mencoba menahan riak jiwanya yang mulai bergetar. Tapi saat salah satu dari mereka mengangkat jimat perak di tangannya, hawa spiritual itu menembus udara seperti bilah dingin.
Cahaya jimat itu berpendar ke arah Wuyan. Dalam sekejap, segel di tubuhnya bergetar, retakan hitam muncul di kulitnya, seperti bayangan air yang beriak di bawah sinar matahari.
“Dia bereaksi!” seru pemburu itu. “Tangkap dia!”
Mereka menyerang bersamaan. Cahaya suci memancar dari pedang spiritual, membentuk jaring energi di udara. Wuyan bergerak mundur cepat, namun satu serangan mengenai bahunya. Bau daging terbakar menguar, tapi matanya tetap dingin.
Dalam dirinya, suara itu berbisik lagi, kali ini lembut tapi menekan.
“Jika kau tidak bertarung, mereka akan membunuhmu.”
“Aku tidak ingin membunuh siapa pun.”
“Lalu biarkan mereka membunuhmu?”
Wuyan terdiam.
Dalam sepersekian detik, jaring energi itu meluncur ke arahnya. Ia mengangkat tangan, reflek yang tidak datang dari kesadarannya sendiri. Cahaya perak menyala dari telapak tangannya, dan dunia di sekelilingnya mendadak berhenti.
Air hujan yang jatuh tertahan di udara. Nafas para pemburu berhenti di tengah gerak.
Di mata Wuyan, semua itu bergerak lambat — lalu seketika pecah dalam semburan kekuatan.
Jaring cahaya itu meledak menjadi ribuan serpihan spiritual. Para pemburu terhempas beberapa langkah, terjatuh dengan tubuh membeku oleh kilatan perak yang membakar aura mereka. Salah satu dari mereka memuntahkan darah, menatap Wuyan dengan ketakutan.
“Dia... bukan manusia...”
Wuyan menatap tangannya sendiri. Ujung jarinya bergetar, masih memancarkan sisa cahaya dari Laut Tanpa Dasar — biru keperakan, berdenyut pelan seperti napas makhluk laut yang hidup di kegelapan.
“Apa yang baru saja kau lakukan?” tanya Diri Kedua itu pelan.
“Bertahan hidup.”
“Lihat? Kau tidak perlu menolak dirimu sendiri untuk tetap hidup.”
Ia menatap para pemburu yang tergeletak di tanah. Tidak ada rasa puas, tidak ada kemarahan. Hanya dingin yang semakin menebal di dadanya. Ia melangkah pergi tanpa menoleh.
Langit mulai mendung, dan hujan kembali turun. Wuyan berjalan menuju reruntuhan kuil tua di luar kota. Batu-batunya ditumbuhi lumut, dan patung dewa tanpa wajah berdiri di tengah, setengah runtuh oleh waktu.
Ia masuk, duduk bersandar di bawah patung itu. Suara hujan di luar terdengar seperti napas dunia yang kelelahan.
“Mereka akan terus mencarimu,” bisik Diri Kedua.
“Aku tahu.”
“Dan setiap kali kau melawan, bagian dari dirimu yang manusia akan hilang.”
“Kalau begitu, apa yang tersisa?”
“Yang jujur.”
Wuyan memandangi telapak tangannya lagi, menatap garis-garis halus yang terbakar samar. Cahaya Laut Tanpa Dasar masih menetes dari jarinya, berubah menjadi kabut tipis yang lenyap sebelum menyentuh tanah.
Ia menatap patung tanpa wajah itu, bertanya setengah pada dirinya sendiri, setengah pada sesuatu yang lebih jauh.
“Apakah dunia benar-benar membutuhkan iblis untuk merasa suci?”
Tak ada jawaban, hanya bunyi hujan dan petir yang menyambar di kejauhan. Tapi di dalam hatinya, Diri Kedua menjawab lirih, hampir seperti senyum.
“Tidak. Tapi mereka tak tahu cara hidup tanpa membenci sesuatu.”
Wuyan memejamkan mata, mencoba melupakan wajah para pemburu tadi, tapi yang muncul malah wajah para murid sektenya dulu, gurunya, dan saudara seperguruannya yang mengusirnya tanpa satu pun ingin mendengar alasannya. Dunia luar ternyata bukan tempat pelarian — hanya cermin lain dari sekte itu sendiri.
Saat petir terakhir mereda, ia bangkit dan meninggalkan kuil. Di kaki bukit, sebuah desa kecil tampak sepi. Asap tipis mengepul dari dapur-dapur, dan jalan tanahnya tergenang air.
Ia berjalan tanpa tujuan hingga mendengar percakapan di pinggir jalan. Dua pengelana duduk di bawah pohon, membicarakan sesuatu dengan nada serius.
“Pertemuan besar diadakan di ibu kota sekte Langit Tianji,” kata salah satu. “Para pemburu dari seluruh negeri dipanggil. Mereka akan memburu iblis yang disebut Anak Laut Tanpa Dasar.”
Yang lain menimpali, “Kudengar iblis itu masih muda. Wajahnya tenang, tapi jiwanya retak.”
“Retakan itu katanya memanggil Laut Tanpa Dasar itu sendiri.”
Wuyan berdiri tak jauh dari mereka, mendengarkan dalam diam. Kata-kata mereka terasa seperti pisau yang memotong kulitnya satu per satu. Ia menunduk, menarik tudungnya lebih dalam, lalu melangkah pergi.
Di dalam dirinya, Diri Kedua kembali berbicara pelan, nyaris seperti bayangan yang ikut berjalan di sisinya.
“Mereka mencari iblis, Wuyan. Tapi yang akan mereka temukan nanti bukan iblis.”
“Lalu apa?”
“Manusia yang menolak menjadi satu.”
Ia berhenti sejenak di tepi jalan. Di depannya, jalan panjang menuju utara membentang — arah menuju sekte Langit Tianji. Di sanalah para pemburu berkumpul, di sanalah perburuan akan dimulai.
Angin bertiup kencang, membawa suara petir dari kejauhan. Awan hitam berkumpul di langit, seolah menandai langkah pertama menuju badai yang lebih besar.
“Apakah kau benar-benar akan pergi ke sana?” tanya Diri Kedua.
Wuyan menatap awan itu lama. “Jika dunia ingin tahu apa yang mereka sebut iblis, biar mereka melihatnya sendiri.”
“Dan jika mereka menghancurkanmu?”
“Setidaknya mereka akan melihat bahwa yang mereka hancurkan bukan iblis — hanya manusia yang tak bisa mereka pahami.”
Petir menyambar, menerangi wajahnya sesaat. Dalam cahaya itu, bayangan di belakangnya tampak tersenyum.
“Akhirnya, kau mulai bicara seperti aku,” bisik Diri Kedua.
“Tidak,” jawab Wuyan pelan. “Aku hanya mulai bicara seperti diriku sendiri.”
Ia melangkah ke depan. Langit bergetar, petir menggulung di atas kepalanya, dan di antara dentuman itu terdengar gema suara Diri Kedua, seakan datang dari kedalaman laut.
“Sudah waktunya, Shen Wuyan. Dunia akan belajar bahwa wajah iblis hanyalah wajah manusia yang menatap balik terlalu lama.”
Langkahnya tak berhenti. Di belakangnya, kota Zhaoling tenggelam dalam kabut. Di depannya, dunia yang lebih luas menanti — bukan untuk diselamatkan, tapi untuk dipahami.